Lpmarena.com, Jam 20.30 WIB, hawa dingin usai rintik hujan seorang penyair muda dari UIN Suka, Nurul Ilmi El Banna membacakan puisinya berjudul Kematian Tuhan di DC Milk Caffe and Bar Nologaten, Minggu (29/11). Puisi ini sebagai kritik atas masyarakat dan mahasiswa yang perlahan membunuh Tuhannya sendiri dengan teknologi.
Ilmi bersama sastrawan muda lain dari berbagai kampus di Jogja (UGM,UNY, UPY, UST, UAD) membacakan karya mereka dalam bincang-bincang sastra edisi 122 yang diadakan oleh Studi Pertunjukan Sastra (SPS).
Mengambil tema “Sastra, Kampus, dan Kafe” acara ini dihadiri oleh beberapa pembicara yakni Aly D. Musyrifa (sastrwan), Drajat T. Jatmiko (direktur Ngopi Nyastro), Ardy Suryantoko (dari kelompok sastra Jejak Imaji).
Melihat fenomena Jogja yang dipenuhi kafe dan tempat nogkrong, Aly menjelaskan kafe menjadi tempat alternatif dalam bersastra. “Esensi kita berkafe di situ, terjadi perbincangan dan proses kreatif,” katanya. Ia mencontohkan Kafe Blackstone di Papringan menjadi salah satu referensi yang bagus.
Lebih lanjut Aly menjelaskan Indonesia tak punya tradisi literer yang kuat. Masih ada percampuran antra sastra lisan semisal dongeng dan buku-buku sastra yang ada. Aly yang pernah tinggal Kanada juga mencontohkan perayaan karya sastra lebih apresiatif di luar negeri. “Di Amerika ada kafe yang khusus untuk pembaca. Menu-menunya pun karya sastra,” ujar Aly.
Penyastraan kafe yang diceritakan Aly tersebut sering dilakukan Ngopi Nyastro yang notabene sering mengadakan acara-acanya di kafe dan warung kopi. “Ingin memasyarakatkan kafe. Sastra bisa dinikmati semua orang, mahasiswa, baik dari psikologi, matematika, dan lainnya,” ujar Drajat.
Dan ketika kampus tak memberi ruang untuk mengembangkan sastra, usaha yang bisa dilakukan adalah membuat kelompok sastra sendiri. Seperti yang diceritakan Ardy dari Jejak Imaji UAD. “Jejak Imaji merupakan usaha lepas dari kampus, ketika kampus tak memberi tempat. Tak cuma menulis, tapi juga menjelajahi sastra,” tuturnya.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum