Home - Menyikapi Pemilwa dengan Cerdas

Menyikapi Pemilwa dengan Cerdas

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Ahmad*

Besok, 3 Desember 2015, Pemilwa UIN Suka akan dilangsungkan. Artinya, kita akan segera kembali disuguhi tontonan tentang pesta demokrasi kampus. Jika kita ikut terlarut dalam pesta itu dan tidak cerdas menyikapi, maka sama halnya dengan mempertontonkan kebodohan.

Untuk itu, maka mari kita nalar. Tidak perlu penalaran filosofis, cukup teknis saja.

Pertama, rasionalisasi waktu dan suara

Mahasiswa UIN Suka kira-kira jumlahnya lebih dari 16.000 orang. Per tahun 3.500 mahasiswa yang masuk, berarti 3.500 x 4 = 14.000 mahasiswa. Yang 2.000 mahasiswa adalah dari angkatan yang lebih tua dan belum lulus. Maka, kalau dirata-rata per fakultas adalah 16.000/8 = 2.000 orang. Mungkin ada fakultas yang 4.000 (fakultas gemuk) ada yang 1.000 (fakultas kurus).

Anggaplah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga antusias sekali, sehingga yang ikut Pemilwa diandaikan sampai 60%. Berarti KPU (sekarang diganti PPUM – Panitia Pemilihan Umum Mahasiswa) harus mengadakan lembar suara untuk 1.200 pemilih (2.000 x 60%) perfakultas alias per TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang terdiri dari lempar untuk partai, capres, calon ketua BEM/HMJ.

Andaikan per-orang untuk proses nyoblos (absen, antri, nyoblos, masukin kotak, nyelup jari ke tinta) itu butuh waktu 3 menit, maka waktu keseluruhan yang dibutuhkan adalah 1.200 x 3 (menit) = 3.600 menit. Atau 3.600/60 = 60 Jam. Jika per TPS tersedia tiga bilik (paling optimal), berarti 60/3 = 20 Jam!

Jika TPS buka 8 jam perhari, dan peserta (pemilih) selalu full desak-desakan dari buka (pagi) sampai tutup (sore) karena sangat antusias, berarti butuh waktu dua hari setengah. Tapi TPS rencananya cuma buka satu hari. Maka, rasionalisasinya per hari daya tampung TPS cuma mampu menampung maksimal 1.200/20 x 8 = 480 suara!

Hitung saja nanti. Jika TPS buka cuma satu hari dan tidak ada 8 jam, dan itu pun terlihat lengang (karena tidak mungkin berdesak-desakan dari pagi sampai tutup), maka surat suara secara rasional kurang dari 480. Artinya, jika hasilnya laporan per TPS adalah lebih 480 suara berarti ada kecurangan secara sistematis yang dilakukan oleh PPUM sendiri.

Kecurangan itu biasanya meliputi: 1) PPUM memberi surat suara lebih dari satu pada masing-masing pemilih jika itu adalah konco-nya dalam kubu politik; 2) Sebagian surat suara sudah dicoblosi dari kos, atau dari sekretariat organisasi, lalu dimasukkan kotak dan ikut dihitung waktu perhitungan.

Kedua, netralitas PPUM sebagai pelaksana

Dalam tiap Pemilwa, PPUM sebagai panitia pelaksana harus netral. Secara legal formal, Pemilwa di UIN Suka juga melakukan hal itu. Tapi apa benar?

Kita tahu bahwa hanya sebagian kecil mahasiswa UIN Suka yang antusias terhadap politik kampus. Karenanya maka mereka juga malas (atau malah tidak tahu) untuk mendaftar jadi pejabat PPUM.

Karena itu, pejabat-pejabat PPUM, pasti sebenarnya adalah orang suruhan dari golongan atau partai tertentu. Masuk PPUM bukan tujuannya sendiri, melainkan mengemban tugas untuk memenangkan konconya.

Cek saja kalau tidak percaya, orang-orang penting di PPUM nanti pasti akan dapat posisi (kursi). Biasanya kursi Senat Mahasiswa (SEMA), baik tingkat universitas maupun fakultas, atau di BEM. Memang ada sih orang-orang yang berjuang dengan ikhlas demi konconya, tapi hanya segelintir.

Maka, jika terjadi kecurangan, tidak perlu kaget atau marah-marah. Seolah-olah mereka telah membunuh demokrasi. Itu tidak perlu. Sebab kecurangan adalah keniscayaan, adalah bagian dari hukum perang atau strategi pemenangan.

Kesimpulannya, antusias dalam Pemilwa, baik partisipasi aktif maupun menjadi pengawas atas nama mengawal demokrasi (biasanya anak pers), tapi tidak cerdas dalam menyikapinya, maka sama halnya dengan semangat mempertontonkan kebodohan belaka. Mending kalau nanti setelah Pemilwa usai ikut kecipratan kuenya. Lha kalau tidak? Alangkah kasihan.

Yuk, ngopi wae lah. Gitu aja kok repot.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Blandongan Society.