Oleh: Khairul Amri*
Rangkaian proses panjang terlebih dahulu harus dilalui calon mahasiswa sebelum akhirnya ia berhak mengantongi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Bermula dari tahap perencanaan, meminta restu orang tua, berlayar ke Pulau Jawa—atau pulau-pulau lain—, mengikuti tes masuk berkali-kali hatta dinyatakan lulus.
Kuliah perdana terkesan menarik di benak mahasiswa. Saya bahkan sudah pernah membayangkan bagaimana rasanya kuliah, diajar dosen-dosen hebat dan bertemu kawan-kawan baru. Bayangan awal penulis ternyata tidak sepenuhnya ditemui di ruang kuliah. Lama kelamaan ruangan itu menjadi sedemikian menjemukan. Ruang kuliah didominasi oleh dosen, mahasiswa lebih banyak duduk berdiam diri menunggu kuliah berakhir, proses kuliah berjalan kurang dialektis, materi-materi kuliah dibahas secara dangkal, bahkan saya pernah mendapati mata kuliah yang tidak memiliki cukup literatur, alhasil, kuliah berjalan apa adanya.
Mensiasati keadaan ini, saya dan beberapa kawan memutuskan ikut berorganisasi, sebagian lainnya memilih tetap setia dengan rutinitas perkuliahan saja, meski suasana perkuliahan seringkali membosankan tanpas dialektika yang berarti. Mahasiswa yang ikut organisasi seringkali dapat cibiran di ruang kelas. Konon, mahasiswa yang aktif organisasi hancur kuliahnya: nilai anjlok, jarang masuk kelas, durasi kuliahnya lama hingga terancam dropt out (DO).
Lantas, siapa yang mesti disalahkan atas terjadinya tragedi ruang kuliah ini? Hemat saya, mahasiswa dan lembaga pendidikanlah yang mesti dijadikan tersangkanya.
Absennya wacana emansipasi di ruang kuliah
Dalam dunia kemahasiswaan, Gerakan Mahasiswa-lah yang seringkali menjadi sorotan menarik banyak penulis seperti dalam artikel-artikel Harian Indoprogress. Namun, kali ini saya tidak akan ikut membahas gerakan itu tetapi mencoba mengulas dinamika ruang kuliah beserta aktor yang ada di dalamnya.
Tidak semua mahasiswa tertarik ikut organisasi. Bahaya jika subjek ini diabaikan. Nantinya merekalah yang akan bermasyarakat, menduduki posisi strategis dan non-strategis di lembaga pemerintahan dan swasta. Abai pada kondisi ruang kuliah yang absen wacana emansipatif pada akhirnya menghasilkan intelektual-intelektual yang apatis akan persoalan kemanusiaan.
Menyematkan harapan emansipasi kepada organisasi mahasiswa jelas bukan langkah bijak. Melibat-sertakan mahasiswa non-organisasi lebih memperkuat blok perlawanan. Sulit kiranya memperjuangkan proyek-proyek emansipasi jika tidak dilakukan bersama mengingat mahasiswa yang ikut organisasi hanya sedikit jika dibandingkan dengan seluruh jumlah mahasiswa di setiap kampus.
Mahasiswa sebagai subjek parsial, bukan sekumpulan subjek seperti halnya dalam organisasi mahasiswa, pada dirinya terdapat potensi emansipasi. Terlebih lagi mengingat ruang gerak mahasiswa yang memungkinkan mengakses instrumen pengetahuan yang tidak dimiliki oleh subjek lain.
Namun, kehadiran subjek ke dalam kondisi tertentu tidak bisa menjamin bahwa subjek itu dengan sendirinya memahami kondisi yang sebenarnya. Tingkat kepekaan nyatanya tidaklah seragam. Penghadiran stimulus, secara gradual, dapat membantu subjek memahami hakikat fenomena sosial.
Terkadang kemampuan untuk memahami itu berusaha ditutupi bahkan kesadarannya diarahkan kearah fatalis. Bayangkan saja kala seorangan dosen berusaha mematahkan kesadaran mahasiswa dengan ancaman “hati-hati nanti bisa kafir ”.
Atau mungkin ada yang beranggapan suasana kuliah saat ini memang sudah demikian halnya, tidak perlu dipersoalkan alih-alih berusaha merubahnya. Barangkali imajinasi mahasiswa yang terlampau tinggi menghendaki hadirnya ruang kelas yang dialektis dan mendiskusikan wacana emansipatif. Tetapi jika dipikir-pikir lagi, bukankah imajinasi itu memang tak terbatas? Bukankah imajinasi mampu melampaui realitas saat ini? Hemat saya, imajinasi dibarengi dengan usahalah yang dapat mentransformasikan realitas ke arah yang lebih baik.
Sejauh yang dapat saya pahami, lembaga pendidikan itu berdiri atas dasar pengembangan sumber daya manusia yang berimplikasi pada pembebasan manusia dari jerat kemiskinan. Cita-cita pembebasan itu tampaknya sulit dicapai jika kita melihat kembali ruang pembentuk subjek. Ruang kuliah seperti ini tidak mendukung lahirnya subjek emansipatoris justru ia menciptakan subjek mekanis.
Mahasiswa yang hanya dicekoki hal-hal teknis semata lama kelamaan akan mempengaruhi mental mahasiswa ketika ia terjun langsung dan bergaul dengan masyarakat. Fenomena sosial akan dilihat dan diatasi melalui kacamata teknis-prosedural. Mahasiswa hukum akan memaknai keadilan menurut prosedur-prosedur yang berlaku tanpa berusaha menggali keadilan yang menguntungkan semua pihak terutama bagi kelas tak berpunya. Mahasiswa ekonomi akan menilai kemiskinan sebagai akibat dari rendahnya etos kerja seseorang.
Padahal, jauh dari itu semua, yang perlu dikaji adalah hal-hal yang mendasari persoalan-persoalan itu. Ranah teknis-prosedural bukan tindak penting. Tataran teknis-prosedural tidak lebih sekedar instrumen yang dapat membantu realisasi hal-hal substansial. Ini berarti, ketika hal-hal teknis-prosedural tidak lagi bisa mewadahi hal substansial ia harus dilawan dan diganti dengan yang baru.
Sekilas pemaparan ini sepertinya hanya sesuai dengan disiplin ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik dan keagamaan. Bagaimana halnya dengan ilmu-ilmu eksakta? Apakah di situ ada ruang menghadirkan wacana emansipasi? Selalu ada jalan alternatif. Ilmu-ilmu eksakta tidak lebih sebagai hasil usaha manusia rasional dalam mengkaji fenomena dan potensi alam. Ia tidak terlepas dari unsur manusia. Sensitifitas kemanusiaan inilah yang bisa menjadi pintu masuk. Di tataran kurikulum, tidak semua materi kuliah bersifat tehnis. Hampir semua kampus menyediakan mata kuliah umum.
Penting dicatat bahwa, ruang kuliah memang tidak sepenuhnya mampu mewadahi kompleksitas pengetahuan, tetapi paling tidak di ruang kuliah mahasiswa bisa memperoleh perangkat analisis plus wacana yang mendasarinya.
Lagipula, posisi dosen bukanlah subjek yang mengetahui setiap hal terkait mata kuliah, boleh jadi hasil pembacaan dosen akan jauh berbeda dengan pembacaan yang nantinya dihasilkan oleh mahasiswanya lewat perangkat analisis yang telah ditawarkan di ruang kelas. Tolak ukur keberhasilan kinerja dosen adalah seberapa mampu ia mendorong mahasiswa untuk memperdalam sendiri materi yang telah ditawarkan.
Epilog
Sulit kiranya menemukan mahasiswa kritis yang semata berasal dari ruang kuliah. Mahasiswa kritis justru lahir dari rahim organisasi-organisasi, atau paling tidak dari hasil pembacaan otodidak mahasiswa. Ini menandakan bahwa ruang kuliah belum mampu menghasilkan pribadi kritis-emansipatoris
Pihak kampus, atau paling tidak dosen sebagai saksi, mesti menyadari penyebab ketidak-aktifan mahasiswa kala perkuliahan dilangsungkan. Boleh jadi mahasiswa bersangkutan lebih bergairah mengikuti agenda-agenda organisasi ketimbang mengikuti perkuliahan yang dianggap tidak lagi bermutu.
Padahal jika kita berpikir dangkal, lebih nyaman duduk di ruang kelas mendengar kuliah sarjana tingkat satu sampai tiga sembari menikmati hembusan kipas angin, atau dengan aktifnya mahasiswa mengikuti perkuliahan, paling tidak mereka akan mengantongi jaminan modal kerja, meskipun bersifat sementara dan relatif, daripada sibuk mendiskusikan dan mengurusi kepentingan umum.
Jika demikian halnya, berarti tarikan organisasi lebih kuat dibanding tarikan ruang kuliah. Kurang rasional jika lembaga pendidikan yang memiliki sumber daya manusia dan sumber dana kalah bersaing dengan organisasi-organisasi yang setengah mati mendidik dan mempertahankan kader serta terseok-seok meminimalisir anggaran belanja.
*Mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.