State atau negara adalah organisasi terbesar dalam suatu wilayah yang dikelola oleh pemerintahan. Menurut Roger F. Soltau, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Para penguasa negara dipilih dari suara rakyat, yang digadang-gadangkan bisa menjadi pengayom rakyat. Berdasarkan asas demokrasi bahwa kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan kembali untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
Para elite negeri ini dalam kekuasaannya dibekali kekayaan Indonesia yang melimpah, dari sektor Sumber Daya Alam yang terdiri dari kekayaan laut juga darat─berupa pertanian, perkebunan, dan hasil tambang berupa gunung emas. Sudahkah rakyat merasakan kesejahteraan? Ditambah setiap tahunnya negara mendapatkan pemasukan dari rakyat, antara lain pembayaran listrik, pajak bangunan dan kendaraan. Sudahkah kebijakan pemerintah pro-rakyat ?
Menilik keadaan sosial, Indonesia masih menyandang negara berkembang. Banyak pengangguran, kemiskinan, anak-anak tak sekolah, dan banyak cendekiawan yang memilih untuk tinggal di luar negeri. Ironi bukan sebagai negara kaya, tetapi masih ada derai air mata dan jeritan akar rumput yang tak didengar suaranya. Suara rakyat bukan dijadikan hal yang utama dalam pembuatan kebijakan, yang ada mereka dikorbankan, sebagai objek dalam sebuah percobaan, merekalah orang-orang marjinal, orang-orang yang terpinggirkan.
Seorang Emha Ainun Nadjib, penyair yang memandang realita sosial secara riil dan nyata ada dan terjadi, yang mana ia tuliskan dalam sebuah karya tulis non fiksi berjudul “Gelandangan di Kampung Sendiri Pengaduan Orang-orang Pinggiran”. Buku tersebut menceritakan fakta sosial yang ada di dalam negeri, kisah orang-orang pinggiran yang diacuhkan oleh elite pemegang kekuasaan negara. Mereka yang diacuhkan menurut Emha, yakni: kepada orang-orang yang dianiaya, kepada orang-orang yang ditindas, kepada orang-orang yang dirampas kemerdekaannya, kepada orang-orang yang dimiskinkan, kepada teman-teman, sahabat, dan orang-orang yang tetap konsisten memperjuangkan keadilan dan hidupnya diperuntukkan orang kecil.
Salah satu kisah dari buku ini ialah cerita tentang seorang guru di sebuah desa yang aman, tentram, penuh kedamaian yang jauh dari peradaban kota, yang ramai dengan hiruk pikuk kepentingan bernama Mataki. Saat di rumah Pak Mataki hanya berpakaian kaus butut, celana pendek, ngempit sabit lalu merambat pohon kelapa, setelah itu kepala sawit dijual ke tetangga dan pasar. Berbeda kehidupannya ketika Pak Mataki di sekolah. Ia mengajari murid untuk mengumpulkan barang yang tidak dipakai lagi, kemudian dijadikan barang produksi rumah tangga. Hasilnya dipakai untuk memenuhi keperluan murid-murid di sekolah ekstranya.
Perilaku Mataki sering menjadi buah bibir di tempat tinggalnya. Namun, ia tetap menjalaninya dengan santai. Pandangan-pandangan konservatif seperti guru itu priayi yang statusnya lebih tinggi dari orang biasa pun pangkatnya juga tinggi, peringainya halus, hal demikian dienyahkan saja oleh Mataki. Ia berpandangan tak seperti guru-guru pada umumnya bahwa yang perlu ditanamkan pada manusia adalah mental kerja, bukan hanya pengetahuan-pengetahuan yang tekstual saja, yang hanya ada di dalam kelas dan belum tentu murid itu paham. Sebagian orang tua murid berterima kasih dan mendukung kegiatan Mataki.
Desa yang ditinggali Mataki sedang menerima mahasiswa-mahasiswa KKN setiap tahunnya. Seperti pada umumnya mahasiswa KKN membawa misi-misi untuk ditularkan kepada masyarakat, yang mana diharapkan mereka memberi sumbangsih kepada penduduk setempat. Program yang diberikan salah satunya berupa tradisi sarasehan serta kelompok diskusi.
Matakilah yang paling bersemangat, karena inisiatif yang diambil sangat tepat melihat keadaan subjek di desa tersebut yang selama ini dicekoki dan kurang mengasah kreatifitas berpikir, karena kurangnya ilmu dan informasi. Harapannya supaya masyarakat dapat merumuskan pikirannya dan makin matang untuk mengetahui pengetahuan dan lingkungannya. Konsep ini sesuai dengan ide Paulo Freire, filsuf asal Brasil, Amerika Latin bahwa: “Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri” (Paulo Freire: 2007).
Oleh karena itu adanya kelompok-kelompok diskusi ini membuat seseorang akan berpikir sistematis dan kritis. Alangkah baiknya apabila pola seperti halnya di atas bisa diterapkan dalam pendidikan Indonesia. Kebiasaan diskusi yang sering dilakukan ini menjadi kegiatan pembaharuan di desa Pak Mataki.
Di buku ini penggunaan bahasa yang digunakan dalam buku sifatnya persuasif. Selalu mengajak pembaca untuk membuka arah pandang kepada realita sosial. Bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti, ditambah penulis sering menggunakan bahasa yang sering digunakan dalam keseharian, namun mungkin ada beberapa kata yang menggunakan bahasa akademik.
Hal yang khas dan membedakan dengan buku lain adalah penulis selalu mencoba menjawab dan menawarkan pilihan alternatif untuk setiap permasalahan sosial yang dibahas. Penulis juga tak bosannya untuk mengajak pembaca untuk meningkatkan indra pendengaran dan penglihatan untuk mengetahui problematika sosial dan mengajak kita untuk menumbuhkan rasa sosial yang tinggi. Meningkatkan rasa simpati dan empati dan memingkatkan jiwa kemanusiaan antar sesama umat.
Judul buku: “Gelandangan di Kampung Sendiri Pengaduan Orang-orang Pinggiran” │ Penulis: Emha Ainun Nadjib │ Penerbit: Bentang pustaka │ Tahun: 2015 │ Jumlah halaman: 292 halaman │ Peresensi: Dewi Anggraini