Oleh: Daruz Armedian*
di hadapanmu, kepenyairanku mengabu
aku lihat di mata itu, mata yang setia berada di bawah alismu
seperti ada orang berbisik
memanggil-manggil namaku:
armedian, tak tahu lagi di mana kutaruh rindu
kata-kataku hancur, bahkan semasih berbentuk telur
seperti pintu, mulutku terkunci
kata-kata itu tak pernah lahir kembali
terkadang aku merasa gila sendiri
untuk apa kucabut rumput kecil tak salah
untuk apa pada langit aku tengadah
lalu menunduk kembali seperti meratapi bumi
sedangkan kamu, dengan segenap senyum itu
seperti menertawaiku, betapa penyair ini sangat lugu
puisi-puisinya lebih jantan dari dirinya sendiri
yang mengaku benar laki-laki
aku jadi geram pada matahari
kenapa juga ia tak segera tenggelam dalam lautan
biar malam datang dan aku pulang
menikmati puisi dan khayalanku:
tentang kapan kita bisa kembali bertemu
Oktober, 2015
*Penulis mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).