Oleh Wulan Agustina Pamungkas
Inilah gairah seorang perempuan
Pada masanya tumbuh besar dan berkembang
Bicaranya penuh ragam mimpi surga
Sebab tiada dirasa, dunia ini bukan miliknya
Bila sebuah tirai turun bagi kebebasannya
Mengikat dalam segala perbuatan
Ia tegak dan mengangkat tangan
Sebab tiada dirasa, dunia ini bukan miliknya
Demikian perempuan sepanjang umur
Mimpinya sedalam laut
Harapan yang manis akan segala kebebasan hati
Hingga suatu kali benar dirasanya
Dunia ini bukan miliknya!
Dalam puisi yang dituliskan Toto Sudarto Bactiar dengan judul “ Dunia Bukan Miliknya” di atas menggambarkan realitas perempuan yang tidak pernah menjadi manusia utuh, independen, dan otonom. Perempuan bukan dianggap manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi, dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Hal serupa juga tertuang dalam puisi WS. Rendra dengan judul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”:
Sarinah
Katakan kepada mereka!
Bagaimana kau dipanggil ke kantor Menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu,
Tentang perjuangan nusa bangsa,
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal,
Ia sebut kau inspirasi revolusi,
Sambil ia buka kutangmu.
Dan kau, Dasima
Kabarkan kepada rakyat!
Bagaimana pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu,
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai di sampingmu
Ototnya keburu tak berdaya.
Para kepala jawatan
Akan buka kesempatan
Kalau kau buka membuka paha
…
Kedua puisi tersebut dapat menggambarkan pandangan dunia terhadap perempuan. Pandangan paradoks, ambigu, sekaligus penuh dengan nuansa-nuansa yang merendahkan perempuan memperlihatkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis. Perempuan hanya dipandang sebagai benda atau barang dan “kesenangan”. Perempuan seolah hanya dibutuhkan ketika laki-laki membutuhkan penyaluran seks. Pandangan semacam itu jelas sudah menafikan jiwa, pikiran, dan energi dalam sosok seorang perempuan. Menghilangkan segala potensi besar kemanusiaan yang ada dalam tubuh perempuan. Layaknya manusia berjenis kelamin laki-laki, perempuan memiliki otak dan hati nurani dengan tingkat kecerdasan dan kepekaan yang relatif sama dengan laki-laki. Energri fisik perempuan juga tidak lebih lemah dari energy fisik laki-laki . Fakta yang ada sesungguhnya memperlihatkan realitas ini dimana perempuan banyak berperan dalam dunia pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, profesi, budaya, dll.
Perlu kita ketahui, perempuan berasal dari kata per-empu-an. Per yang berarti makhluk, Empu berasal dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung, Menurut Epistimologi “Empu” juga berarti tuan, pokok. Jadi kata perempuan bisa diartikan “yang dipertuan”, “yang dihormati”, atau “yang dipentingkan”, “yang diutamakan”. Jadi, pandangan-pandangan yang bersifat merendahkan perempuan jelas menghilangkan esensi dari kata “perempuan” yang sebenarnya. Bila kita lihat peran perempuan pada saat ini, jelas tidak kalah dengan kaum laki-laki. Realitas di lapangan membuktikan telah banyak perempuan yang berhasil melaksanakan tugas yang selama ini dianggap sebagai tugas laki-laki. Telah banyak juga perempuan yang sukses dalam kepemimpinannya, dalam lingkup domestik maupun publik.
Tidak dapat kita pungkiri, masih banyak perempuan yang “pasrah” dan “nrimo” stereotip yang berkembang di masyarakat, berapa pun tinggi sekolahnya, urusan perempuan cuma sebatas “Dapur,Sumur, Kasur”. Padahal, wanita diciptakan bukan hanya untuk membuat anak atau sekedar “alat pemuas” nafsu laki-laki. Masih banyak kerja-kerja lain disamping sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Kalau perempuan mau berfikir maju, sekedar kebebasan dan persamaan tidaklah banyak artinya, yang terpenting bagaimana menggunakan dan mengembangkan potensi yang perempuan miliki. Menempa diri dengan kemampuan dan keahlian yang mumpuni, berani unjuk gigi, dan ikut berkompetisi dengan kaum laki-laki untuk meraih peluang yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dengan tekad ingin melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Jika segenap potensi perempuan dapat teraktualisasikan secara maksimal, bisa jadi akan terjadi perubahan besar dan penting dalam peradaban manusia. Sudahkah perempuan kita melakukan hal-hal demikian? Mungkin dari tiap personal sendiri yang mampu menjawabnya. Mewakili perempuan, semoga saja kita bukan lagi sekadar makhluk biologis dan objek seksual, bukan sekadar makhluk penghias dengan alis tebal, lipstik merah dan tubuh sensual. Lebih dari itu, karena kita per-empu-an.