Oleh: Habiburrahman
1/
Aku suka menjadi orang ketiga. Suka pula sering menanyakan apakah memilih posisi orang ketiga sama dengan kompleksitas nasib Dunia Ketiga. Maksudku peristiwa dan tegangan di dalamnya. Dan aku tidak tahu, tubuhku yang kian mengecil dalam batuk dan kepesimisan memandang hidup apakah akhir dari orang ketiga atau begitukah cara Dunia Ketiga berakhir.
Aku tidak bisa bangkit. Sendirian di kamar. Kepenatan menempel di dinding, melingkar-lingkar dalam mimpi burukku. Pastinya hidup jalan terus dengan terus berubah. Di sini aku butuh diriku dalam diri orang lain. Tetapi di kamar yang tertutup aku tidak bisa melihat keluar. Hanya dinding berwarna putih, serta jendela yang selalu terdesak. Tidak. Aku masih bisa melihat keluar. Aku bisa melihat keluar. Aku bisa menciptakan bayangan di luar kamarku: Rumah yang ditinggali saudagar tua menyebelah di kanan rumahku dan adegan-adegan hidup yang berlangsung di dalamnya maupun di gudang toko milik saudagar itu. Bahkan, adegan di pasar yang letaknya lumayan jauh di pusat kota. Bagiku, setiap peristiwa adalah buatan manusia dan hanya dapat berisi apa yang manusia isikan.1 Aku telah menciptakan peristiwa di luar kamarku dengan pikiranku, dan sekarang aku melihatnya terang benderang.
Aku melihatnya. Jalan setapak menyambung ke rumah saudagar tua itu. Tidak semua orang tahu, di toko si saudagar tua ada seseorang yang sedang berpikiran sama dengan yang kupikirkan. Ayuna, putri saudagar tua, bersembunyi di sana. Mengurung diri dalam pikiran-pikiran buruk yang ia sebut pikiran baik. Ia mengatakan telah pergi jauh, menjelajah ke suatu tempat di pedalaman yang tak seorang pun boleh tahu. Padahal ia tidak ke mana-mana selain sembunyi di sana selama tiga bulan kurang beberapa hari.
Dengarkan percakapan dari ruang keluarga saudagar tua itu: “Kita harus mencarinya, Pak.” “Biarkan saja, Bu. Lagi pula kepergiannya tidak akan jauh dari pertanyaannya tentang cinta.” “Bapak orang tua macam apa sih membiarkan anak sendiri hilang?” “Bu, aku cuma mau bijaksana saja.” Kudengar kegusaran suara mereka berakhir lamat-lamat. Kamu harus tertawa mendengarnya. Saudagar tua memang ayah yang bijaksana. Namun dalam definisi umum masyarakat pedesaan, aku bersumpah, kebijaksanaannya tidak akan membuat ia tahu kalau di gudang itu putrinya menciptakan mimpi buruk, dunia yang terbuat dari cemburu dan iri hati pada suatu pagi yang silam.
2/
Di kamar ini aku sedang berjuang menegaskan pilihan politikku, sebagai orang ketiga yang baik atau sama sekali gagal.
Beginikah Dunia Ketiga berakhir? Selalu begitu aku berpikir. Karena, sungguh, berpendar jelas di mataku, akhir telah datang. Dari dalam atau dari luar, mendadak ia mendekat, lalu mendorongku ke titik nadir. H sudah jarang muncul dalam mimpiku. Ia menjauh, menyeberang ke dunia lain yang tidak bisa kuraba, dan meninggalkan malam-malam berdinding besi karat. Aku mengatakan kepadanya, kau lupa pada janji kita? H tidak menjawab. Lihatlah: Jelas sekali. Pelan-pelan Ayuna merasakan tubuhnya menipis. Kulitnya mengering digerus udara hampa yang menguap dari dadanya.
Kecemburan membakar, dan gudang itu penuh gejolak. Aku mencerap itu sampai tubuhku melayang di kamar. Ayuna cemburu, aku tahu. Ia keras hati, aku tahu. Merasa Arman lebih nyaman dengan dirinya, ia yakin posisi orang ketiga lebih menguntungkan dari orang pertama. Ayuna merasa lebih baik daripada Siti, pacar Arman. Mungkin ia lebih pengertian, lebih cantik, lebih manis daripada Siti, di mata Arman. Sehingga di dada Arman ada satu lubang buat Ayuna. Dan di dada Ayuna juga ada lubang buat Arman. Tetapi karena orang ketiga ibarat Dunia Ketiga, kebahagaian di dalamnya selalu ambigu. “Kau lebih nyaman denganku. Tapi kenapa kamu tidak berani putus dengan Siti?” tanyanya berkali-kali dan ketidakpastian tiba berkali-kali. Ayuna mau menampik kalau cemburu alamat cinta, semacam tanda bagi kepastian yang menanti. Maka cemburu berdengung kemudian menggigitnya seperti nyamuk menggigit kulit. Terus-menerus tidak bisa dihindari.
3/
“Bagaimana ayah jatuh cinta kepada ibu?”
Ayahnya menjawab karena ibumu menggoda. Ayuna merasa ayahnya berbohong. “Apa arti cinta tanpa diawali cemburu.” “Tapi arti hidup tanpa godaan?” Ayahnya balik menyanggah. Di dunia ditemukan makhluk baru bernama godaan, kata saudagar tua itu. “Ia tidak berbentuk tapi ada dan selalu hadir sebagai awal segala ihwal. Kejahatan mungkin, karena ada godaan berbuat jahat. Cinta ada, ya, karena ada godaan buat bercinta. Apa yang terjadi andai tiba-tiba godaan dicabut?” Aku tidak tahu tanggapan Ayuna yang sebenarnya. Ia hanya menganggap sang ayah pasti habis mabuk setelah berjudi, dan omongannya ngelantur.
Asumsi Ayuna, kecemburuannya reinkarnasi dari pengalaman salah satu dari mereka—kedua orang tuanya—yang niscaya berulang di lain ruang-masa dalam kehidupan Ayuna. Karena kejadian yang menimpa Ayuna ini aku menduga-sangka begitulah kecenderungan mental orang ketiga. Beban sakit hati yang menumpuk ia katakan sebagai gema kesalahan masa lalu ketika ia belum ada. Ibuku istri simpanan seorang mantri di kota, aku meloncati banyak peristiwa yang banyak ditapaki orang lain, dan aku terus terbedakan. Mirip dunia ketiga yang mandek sebagai dunia berkembang. Selalu dikatakan bahwa ketidakmajuannya disebabkan trauma yang disebabkan sejarah panjang kolonialisasi yang terjadi pada masa lalu. Padahal menurutku, sejarah atau masa lalu tidak melulu determinan. Itu hanya apologia atau bagian dari teknik menghibur diri saja jika bukan keputus-asaan.
“Mikir dikit, pengalaman cinta tidak masuk daftar warisan orang tua,” kata ibunya tersinggung sebelum Ayuna menghilang pada satu hari.
Aku pun menimbang-nimbang lagi, mungkin aku sedang putus asa. Aku hanya tahu di luar kamar adalah pikiranku, sementara orang lain akan berpendapat di luar dinding peristiwa terserah kepada kemungkinan.2
4/
Aku makin terkepung oleh dinding kamar yang kian nakal. Rasanya tak penting lagi apa yang pikiranku ciptakan. Tabir kukuh berlapis-lapis menghalangiku. Jika aku mengatakan aku melihat peritiwa di luar kamarku, bukan lantaran ada peristwa di luar kamar, melainkan karena kuciptakan peristiwa itu seolah terjadi di sana. Kalau mau tahu, Ayuna baru mengalami rasa cemburu ketika jalan-jalan di pasar pada suatu pagi. Ia pernah mendengar mitos—atau katakanlah keyakinan—anak membawa karma orang tua. Kalau orang tua nakal, anaknya pasti juga tidak becus. Kalau dulu sering membuat sakit hati pasangan orang lain, anaknya pasti akan sering dibuat sakit hati. Ia cuma ingin tahu apakah ayahnya suka membuat orang lain cemburu sehingga kini Ayuna sering dibikin cemburu.
Pagi itu ia menjumpai Arman di pasar. Terpaksa ia bergegas mengubah arahnya ke jalan sempit yang lebih cepat bisa menyesatkannya ke mana saja ketika melihat Siti menggandeng Arman. Dan ia sering melihat mereka berdua, di sekolah, di pertandingan bola kasti di samping balai desa, bahkan di acara pengajian yang diisi ceramah hati-hati dengan pergaulan bebas masa remaja. Ayuna memergoki mereka bedua duduk di posisi paling buncit, mendekati gelap. Itu wajar karena mereka memang pacaran. Namun Ayuna ingin mereka tidak berduaan setidaknya ketika ada Ayuna. Arman juga dekat dengan Ayuna dan terlibat hubungan ambigu. Dari hubungan ambigu itu Ayuna menciptakan dunia lain lewat dugaan bahwa sisi dalam Arman telah menjadi milik Ayuna sepenuhnya tapi sisi luarnya tidak. Dan mimpi buruk hadir dari kepemilikan yang tidak lengkap. Ayuna ingin tak sekedar titik terdalam Arman yang menyatu dengannya, melainkan keseluruhan Arman. Namun ia bimbang jika Arman dimiliki luar–dalam olehnya, nanti ia tidak benar-benar memiliki Arman kecuali sisi luar yang tanggung dan sisi dalam yang tak sempurnya serta selamanya menjadi misteri. Betul, ini semacam perdebatan dikotomi badan-jiwa. Aku ingin menyerahkan perasaanku kepada orang lain sepenuhnya, tapi tidak pikiranku! Apa itu mungkin? Di mana letak pikiran dan perasaan sehingga aku begitu yakin aku bisa membagi perasaanku sementara pikiranku tidak demi aku nyaman dengan orang lain? Atau sebaliknya, demi aku bebas, aku tidak mau memasrahkan pikiranku kepada orang lain kendati perasaanku boleh ia rawat penuh kasih.
Aku ingin berciuman dengan H, tetapi apa ciuman itu menjamin bahwa H telah menjadi milikku? H berkata kepadaku, kamu yang diam-diam membuat sekujur tubuhku tegang ketika kamu bilang aku bahagia dengan begini. Kurasa belum cukup memperoleh kepastian kata-kata—sedalam apa pun—tanpa ciuman-ciuman pendek. Sebaliknya, ciuman atau bentuk pertemuan tubuh lainnya, juga bukan jaminan H memagutkan sepenuh jiwa padaku. Ia sering bercinta dengan kekasihnya, aku tahu, dan ia bilang itu dilakukan bukan karena cinta. Aku tidak goblok, karena itu aku cemburu. Dikotomi jiwa-badan, perasaan-pikiran, tidak sesederhana itu, kukira. Ketika aku sembuh total dan bisa masuk kuliah, aku berjanji akan mengajak kambing tetangga masuk kelas untuk belajar filsafat jiwa badan supaya aku sering tidak salah paham.
5/
Lihatlah, betapa yang kukatakan benar. Bermalam-malam Ayuna bermimpi Arman berdua dengan Siti sembari mengejeknya yang sendirian. Sementara tiap kali mimpi itu datang, bangunnya ia meletakkan ingatan tentang Arman pada tiap laki-laki yang diperhatikan diam-diam di kampus. Hasilnya adalah makhluk aneh. Lelaki berjiwa Arman, sedangkan di matanya terkadang bertampang kambing yang tak memuaskan. Itu dilakukan lantaran Ayuna mengira jiwa seseorang bisa dipindah sejauh ia suka, tinggal ia masukkan jiwa Arman ke dalam lelaki yang melintas dan Ayuna akan merasakan kehadiran Arman di tubuh lelaki itu. Tentu, ia selalu gagal mengingat Arman dengan baik.
“Pasti gara-gara ayahku yang nakal aku kena karma ini!” ia berkata.
Namun intinya karena ada godaan, Bagaimana andai segala ihwal didasarkan kepada godaan? Bukan hasrat, tapi tantangan yang menjadi jantung dugaan itu sendiri. Tantangan dan godaan akan membawa kita melampaui realitas yang ditawarkan oleh prinsip kesenangan dimana kerja hasrat terdorong karena prinsip kesenangan itu,3 ia teringat kata-kata ayahnya, yang kadang terkesan mempermainkan kata. “Kalau cuma hasrat, kamu bisa tidak mengindahkan hasrat itu. Ini soal godaan, Ayuna. Godaan yang datang membangkitkan hasrat, hasrat lalu membangkitkan kecemburuan. Bagaimana jika tidak ada godaan? Tidak ada cinta, tidak ada rasa cemburu yang kamu katakan sebagai alamat cinta itu,” Ayuna mengulang kata-kata ayahnya.
Tidak. Tidak. Tidak. Ia tetap tidak percaya, dan tidak mau diobark-abrik oleh permainan kata ayahnya. Oleh sebab itu Ayuna bilang akan pergi jauh untuk mencari dunia yang cocok dengan pikirannya: Bahwa cinta yang ideal ialah yang bergerak dari dalam dan ketika kamu cemburu itu artinya kamu jatuh cinta. Apa yang didapat? Yang didapat selama tiga bulan digudang adalah mimpi buruk ketimbang ingatan indah. Oh, beginikah menyayangi seseorang yang menjadi milik orang lain, katanya. Dan ibunya gundah dengan menghilangnya Ayuna yang tak terendus. Hanya sang ayah yang bersikap tenang dengan berkata: “Sudahlah, Ayuna pasti baik-baik saja karena kita tidak mewariskan sesuatu yang salah.”
Itu tidak lucu menurutku. Tapi aku tertawa di kamar. Menertawakan bahwa pilihan ini tidak jelas. Mengumpamakan orang ketiga sama dengan Dunia Ketiga merupakan perumpamaan yang ceroboh. []
Catatan:
- Diubah seperlunya dari Milan Kundera dalam esai Tempat Tersembunyi.
- Subagio Sastrowardoyo dalam sajak
- Dicopot dari Ekstasi Komunikasi Jean Baudrillard.