Malam mungkin merupakan sebuah eskapisme. Yang dalam novel itu digambarkan situasi ketika kesadaran ingin membawa diri keluar dari tekanan hidup, lalu kemudian masuk ke dalam dunia fantasi yang imajiner. Malam juga sebagai tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri, karena saat siang kita sulit menjadi diri sendiri.
Malam, banyak hal yang bisa kita ungkap darinya. Saat orang-orang tertidur, ayam mendengkur, jangkrik terpekur, malam masih setia dengan kehidupannya. Dalam novel terbarunya “Malam-malam Terang” Tasniem Fauzia Rais (Ninim) mencoba memaknai arti malam.
Kisah ini dimulai dengan sebuah kegagalan yang sebagian besar siswa mungkin merasakannya: lulus EBTANAS dengan nilai ala kadarnya yang nilai itu tak bisa membawa seorang siswa melanjutkan di sekolah impian. Bagi siswa biasa, lulus dengan nilai biasa, mungkin biasa. Namun bagi Ninim mendapat nilai EBTANAS 44,73 merupakan bencana tak terkira yang ia kutuki dua hari dua malam di kamar. Karena nilai itu ia tak bisa masuk ke SMA favorit di Yogyakarta yang mensyaratkan nilai EBTANAS 48.
Dalam kesedihannya, Ninim pergi ke rumah neneknya di Solo. Dalam perjalanannya, Ninim bagai ditunjuki jalan pergi: ia melihat ada tiga orang sekeluarga memakai kaos Singapura, seorang ibu yang tak sengaja meninggalkan majalah tentang study in Singapore, dan cerita simbah tentang temannya yang kerja di Singapura. Tiga tanda semiotika itu lalu mengantar Ninim merantau ke Singapura dengan bekal sepetak tanah yang dijual orangtuanya untuk biaya.
Di Singapura, Ninim dengan keberaniannya melanjutkan SMA di Global College of Singapore (GC). Di sekolah inilah Ninim mendapakan banyak pelajaran hidup. Seperti ingin membalas dendam yang belum usai, Ninim belajar siang-malam. Prestasinya cemerlang, tiga tahun kemudian saat wisuda ia masuk menjadi The Big Ten dan menjadi juara pertama dan lulusan terbaik.
Persahabatan
Di GC Ninim bertemu dengan tiga orang sahabat yang sekelas, sekamar, sependeritaan yang saling memberi warna layaknya prisma ketika dikenai sinar. Tiga sahabat itu Cecilia Ng dari Shanghai (China), Aarin Mohanty asal India, dan teman setanah air Angelina Soemantri, Indonesia. Dari empat sekawan ini terlihat potret toleransi yang secara indah digambarkan oleh Ninim: Meja-meja kami jadi simbol kehidupan beragama yang rukun. Ada Al-Qur’an di atas mejaku, ada patung Budha dan kitab Tripitaka pada meja Cecilia, ada Injil dan kalung salib pada meja Angelina, dan ada patung Brahma serta kitab Weda pada meja Aarin, (Hal. 45).
Empat sekawan ini menjalin persahabatan, seperti kekonyolan Cecilia, Aarin, dan Angelina yang memberi Ninim kado ulang tahun di tanggal ulang tahun Ninim yang salah, kemajuan satu bulan. Juga kisah dramatis perjalanan empat sekawan ini ke Malaysia untuk menemui ayah Angelina yang sekarat. Yang sejak kecil Angelina tak pernah bertemu dengan ayahnya di alamat yang aneh tanpa kota, hanya jalan dan nomor, di Lorong Pelindung Ratu No. 6. Walhasil, beberapa distrik Malaysia pun dijelajahi.
Saat mengambil keputusan menemani Angelina, Ninim dilema karena ia juga ingin pulang ke Jogja, setelah sebulan bekerja di dua tempat sekaligus restauran cepat saji dan penjaga pintu hotel untuk mendapatkan biaya pulang dan membeli kado arloji untuk ibunya. Dalam dilemanya itu Ninim berkeyakinan bahwa sahabat yang baik selalu membawa keceriaan meski dirinya sendiri juga bersedih. Yang dialami Angelina lebih mendesak daripada keinginannya, meski dalam pencarian alamat itu Angelina ibaratnya menelan granat.
Atau juga tentang mimpi-mimpi empat sekawan ini di bawah patung merlion di masa depan. Ya, meski bersahabat, Ninim mengatakan mereka masih punya ruang pribadi yang tak saling mencampuri. Kata Ninim: “Aku sadar, terlalu banyak berharap dalam sebuah persahabatan adalah sebuah bom waktu, yang cepat lambat akan menghancurkan semuanya. Maka sesuatu yang tidak berlebihan akan jadi sesuatu yang tak lekang oleh waktu.”
Malam
Saat malam, sejak pukul satu malam Ninim mulai belajar. Baginya waktu itu sangat tepat digunakan untuk memahami sesuatu. Ia membutuhkan otak yang segar dan bugar. Saat malam juga digunakan Ninim untuk sholat tahajud, mendekatkan diri pada Allah, juga tradisi menjalankan puasa sunnah Senin-Kamis, dan puasa yang dicontohkan ayahnya puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak).
Kita juga bisa melihat bagaimana sistem pendidikan di Singapura berjalan. Seperti di asrama menerapkan Study Time (waktu belajar) dari pukul 5 – 7 PM. Atau aturan light out, mematikan semua lampu dan semua alat yang bercahaya mulai pukul sepuluh malam.
Dalam novel ini kita juga bisa melihat sisi unik dari seorang ayah Ninim, seorang agamawan, politikus Amien Rais dalam mendidik anak keempatnya ini. Sesosok ayah yang sibuk tapi tetap merindukan anaknya, melantunkan ayat suci untuk putrinya yang jauh, dan lain-lain.
Yang lainnya lagi, awal-awal novel alur sangat lambat dan terkesan membosankan. Bahkan mungkin jika orientasi pembacanya orang dewasa atau mahasiswa, terkesan kekanakan. Baru ketika di Singapura gejolak dimulai. Saya juga berharap jika Ninim melanjutkan ceritanya lagi, adegan dengan diksi menangis mungkin dikurangi, karena di sini berulang kali saya temukan adegan menangis—tapi gagal membuat saya menangis.
Yang agak sedikit mengganggu juga bagi saya di novel ini adalah kisah cinta yang sekelumit dan tidak utuh antara Ninim dan Ridho Rahmadi (Edo). Seolah kisah yang dihadirkan dalam empat akhir bab novel ini, saya merasanya seperti fragmen terpisah yang membuat alur seperti terloncat dan dipaksakan, jauh hubungannya dalam 17 bab sebelumnya. Terasa sekali di bab 18. Pun ketika penulisnya ada dua orang, di persimpangan ini saya kebingungan mana yang ditulis Ninim, mana yang Edo? Karena gaya bahasanya saya rasakan sama.
Juga penggunaan bahasa-bahasa asing yang bagi orang awam sulit mengartikan, seperti Bahasa Jawa, Bahasa Mandarin, Bahasa Jepang, dan bahasa sains ilmiah, meski penulis sudah berusaha menjelaskan. Ada baiknya diberi catatan kaki saja, karena saat saya sebagai pembaca dan sebagai orang Jawa mengartikan kalimat Jawa yang dijelaskan penulis masih belum bisa mengkaver. Teknis juga, ketiadaan daftar pustaka dan ketidaklengkapan katalog buku sedikit menyulitkan saya mensistematiskannya.
Dari tema sendiri, novel ini bukan tema yang baru karena sebelum-sebelumnya juga ada buku serupa yang terinspirasi dari kisah nyata penulis yang membahas mengenai perjalanan hidup dan perjuangan ketika bersekolah. Seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, atau kisah dalam film Mimpi Sejuta Dolar dari Merry Riana (yang juga mengambil latar di Singapura). Bedanya, selain penulisnya dan kisahnya berbeda, saya suka dengan filosofi dari judul “Malam-malam Terang” sendiri. Di mana setiap pribadi bisa menerangi malam-malamnya. Atau kita bisa belajar dari Ninim yang menerangi malamnya dengan terang belajar: aku belajar ketika kalian belajar, dan aku pun belajar ketika kalian tidur.
Judul Buku: Malam-malam Terang │ Penulis: Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahmadi │ Penerbit: Gramedia Pustaka Utama│ Cetakan: I, 2015 │ Peresensi: Isma Swastiningrum