Lpmarena.com, “Mei Berdarah,” demikian Maman Suratman menyebut peristiwa perlawanan represi dan perjuangan demokratisasi di kampus Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) dalam bukunya Kesaksian; Kisah Perlawanan Mahasiswa UTY yang baru saja diluncurkan dan dibedah, Sabtu (2/1) di aula DPRD kota Yogyakarta.
Sebelum peristiwa itu, beberapa mahasiswa UTY yang menganggap ruang kuliah tidak lagi bisa mewadahi aspirasi mahasiswa, sepakat membentuk wadah diskusi diberi nama Forum Kajian Mahasiswa (Forkam).
Lambat laun, Forkam aktif mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus yang dianggap merugikan mahasiswa, mulai dari naiknya biaya pendidikan yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan hingga pelarangan organisasi ekstra di lingkungan kampus.
Tidak lama berselang, melalui serangkaian rapat konsolidasi, terbentuklah BEM UTY meski tanpa mengantongi legalitas dari pihak rektorat. Rektorat beranggapan, keberadaan BEM belum dibutuhkan dengan alasan masih ada HMJ dan UKM.
Perjuangan memperoleh legalitas terus berlangsung dibawah bayang-bayang ancaman sanksi akademik. Puncaknya, 31 Mei 2011, ketika mahasiswa UTY, tergabung dalam Aliansi Pejuang Demokratisasi Kampus (APDU) melakukan aksi tiba-tiba diserang oleh Satpam.
Pasca Insiden itu, pihak kampus memberikan sanksi keras, beberapa mahasiswa kena skorsing kuliah, bahkan dua diantaranya di D.O. dari kampus.
Menanggapi praktik represi kampus, Dikson Ringo, Wasekjen DPP KNPI 2015-2016, menilai konsekuensi pelarangan ruang-ruang diskusi mahasiswa kemungkinan akan memunculkan mahasiswa apatis dan pada akhirnya mematikan gerakan-gerakan mahasiswa.
Eko Prasetyo, Direktur Eksekutif Social Movement Institute, mengkategorikan perguruan tinggi yang seringkali menekan dan memangkas aktifitas mahasiswa sebagai konservatif-reaksioner. Ia juga menilai, kampus yang hidupnya bergantung pada iuran mahasiswa cenderungan berusaha mendapatkan mahasiswa sebanyak mungkin. Tak jarang usaha itu diwarnai aroma persaingan yang sangat kuat terutama melalui serangkaian cara seperti memasang spanduk di segala penjuru, humas kampus bekerja dengan canggih, hingga memamerkan akreditasi kampus. “Hidup kampus dipertahankan dengan cara-cara brutal,” tegasnya.
Ia menambahkan, populasi mahasiswa yang semakin banyak sulit dikendalikan kecuali melalui peraturan dan sanksi mengikat, D.O. Salah satunya. Langkah ini menurutnya sangat merugikan mahasiswa. “Langkah itu menghancurkan cita-cita mahasiswa sekaligus menghancurkan mimpi orang tua,” tegas Eko di depan puluhan peserta peluncuran dan bedah buku.
Pihak penyelenggara, Kelompok Jogja dan HOPE Institute, awalnya mengagendakan pewakilan rektorat UTY hadir dalam acara ini mendapingi Eko Prasetyo dan Dikson Ringo sebagai pembedah. Namun, tanpa alasan jelas, pihak rektorat absen.
Aries Atok, Mahasiswa jurusan Sastra Inggris UTY angkatan 2011, mengutarakan pengalamannya. Aries membenarkan adanya tindakan represi dari kampus. “Apa yang ditulis itu nyata,” kata Aries. Menurutnya, represi ketat dari kampus masih berlangsung hingga saat ini. “Bahkan sampai pemasangan tulisan di mading pun harus ada persetujuan dari kampus, harus di stempel dulu,” kata Aries kepada ARENA, sesaat setelah acara usai.
Lain dengan Aries, mahasiswa Sains dan Teknologi Industri UTY angkatan 2013 bernama Muhdor mengungkapkan dirinya pernah menanyakan keberadaan BEM di UTY. Akibatnya, nilai yang ia peroleh anjlok hingga nol koma.
Reporter: Khairul Amri
Redaktur: Isma Swastiningrum