Negro adalah padanan untuk keras kepala, pembangkang, penjahat. Karena alasan-alasan itulah budak-budak Negro dihargai sangat murah di pasaran. –Alejo Carpentier.
Penindasan rasa-rasanya akan terus menjadi topik yang tak pernah usai. Sebuah novel satir nan tragis karya penulis Kuba, Alejo Carpentier yang bercerita tentang pemberontakan budak-budak Haiti. Ini kisah tentang orang-orang Negro yang menyedihkan. Mereka tinggal di Prancis dan menjadi budak para tuan tanah di kota Cap Francais. Adalah Ti Noël seorang budak Negro yang bekerja di perkebunan Plaine du Nord milki tuan Leonormand de Mezy. Ti Noël memiliki sahabat yang sering memberinya cerita-cerita heroik bernama Macandal yang juga seorang budak Negro. Diceritakan oleh Macandal bahwa raja-raja Negro perang dengan kuda, gagah berani melawan musuh. Sedang raja kulit putih menjadi penguasa hanya ketika di panggung teater. Suka mendengar biola daripada mendengar gertak meriam.
Suatu hari terjadi kecelakaan di perkebunan, tangan Macandal tergilas alat penggiling yang mengakibatkan tangannya diamputasi sehingga ia hanya bertangan satu. Di deritanya itu Macandal tiap hari melihat budak-budak Negro diperlakukan tak adil oleh para tuan pemilik tanah. Lalu Macandal mengasingkan diri sambil terus mempelajari aneka tanaman di sekitar perkebunan hingga ia lari ke hutan. Novel ini tak lepas dari misitisisme saat Macandal menemui Maman Loi, wanita tua yang dianggap orang penyihir. Macandal lari ke sebuah goa, Ti Noël tak lagi dapat menemuinya.
Tiba-tiba kota Cap Francais terkena wabah yang mengerikan yang dialami seluruh kota. Tanaman gagal, ternak pada mati, manusia pada penyakitan. Orang-orang kulit putih bilang ini adalah perbuatan Macandal karena racun jamurnya. Lalu dicarilah rebel bunting tangan itu. Dengan sihirnya Macandal mampu melarikan diri, tapi naas, ia tertangkap dan dibakar.
Setelah kematian Macandal, berpuluh tahun kemudian pemberotakan kaum kulit hitam tak berhenti. Lahir singa baru sosok budak Jamaika bernama Bouckman. Pemimpin baru Negro ini laksana orang yang membunyikan terompet berbentuk keong raksasa pada para budak untuk menjarah para tuannya. Yang amarah ini lebih ditenggarai karena perlakuan golongan kulit putih yang sewenang-wenang pada kulit hitam. Mereka melakukan hal-hal biadab dengan motif balas dendam. Namun, tindakan reaksioner ini kalah dengan cita-cita revolusi sesungguhnya yang harusnya menumbuhkan kemajuan baru. Alhasil, Bouckman pun jadi cacing empuk yang dilindas lars serdadu kulit putih.
Karena hura-hura Bouckman kota menjadi tidak aman dan pindahlah orang-orang ke Santiago de Cuba. Di kota itu Ti Noël yang tua pindah bersama tuannya de Mezy dan tuannya kalah taruhan judi sehingga Ti Noël jadi taruhan dan pindah ke majikan baru. Ti Noël tak betah dan memberontak, ia ingin kembali ke kota lamanya Cap Francais. Di sana ternyata sudah dipimpin oleh penguasa baru, raja pertama kulit hitam di daerah itu bernama Henri Christophe. Istana nan megah bernama Sans Souci didirikan di atas bukit.
Yang lebih menyesakkan lagi si Henri lebih kejam dari perlakuan kulit putih. Ia membudakkan kaumnya sendiri dalam membangun kerajaannya. Diceritakan oleh Carpentier: …lebih parah, karena di sini orang-orang menanggung hinaan yang tak kepalang akibat dipukul sesama Negro, sama-sama berbibir tebal, sama-sama memiliki kepala berkutu, sama-sama berhidung pesek; sama-sama dilahirkan nista; dan barangkali juga sama-sama diperjualbelikan (hal. 112). Tragis, pemimpin segolongan yang harusnya memberi kehidupan baru malah mengkhianati kaumnya sendiri. Hingga di Sans Souci ada pemberontakan lagi yang mengakibatkan si tiran Henri dengan rezim brutalnya ini bunuh diri. Ternyata jiwa pemimpin besar ini tak lebih besar dari si budak hitam Ti Noël.
Sangat kompleks, novel tipis ini memperlihatkan kita tentang banyak hal. Terlebih masa dark age-nya kaum Negro di Prancis bersama orang-orang transmigrannya. Senada dengan realisme magis yang juga ditawarkan oleh tulisan-tulisan Marquez atau pemberontakan dalam teks-teks Borges, di novel ini juga diterangkan tentang kemistisan dan tradisi Negro yang kental dengan animisme dan dinamismenya. Juga tentang bangsa Voodoo, sebuah komunitas kepercayaan marjinal. Yang tak masuk akal lagi ketika Ti Noël bisa menjelma menjadi hewan dari burung, semut, sampai angsa. Tapi dalam penjelmaannya itu ia tetap saja ditindas oleh sesama angsa. Suku angsa yang katanya menolak keunggulan individual antar sesamanya, tetap saja layaknya kaum ningrat.
Aneka pemberontakan para kulit hitam dikisahkan Carpentier seperti menguliti bawang merah yang berlapis-lapis. Misalkan, apa yang dilakukan Macandal merupakan bentuk pemberontakannya akan dirinya dan kaumnya. Tak peduli warna kulit sesesorang, jika kemanusiaannya terusik dan ia marah ia bisa menjadi monster apa saja. Macandal dengan semua keterbatasannya digambarkan Carpentier sebagai salah seorang tokoh revolusioner: si lelaki bertangan satu, pembaharu dan pembawa angin perubahan.
Ditulis dengan sebuah kejujuran akan respon Carpentier pada peristiwa yang terjadi di masanya, tema besar yang ingin dikatakan oleh Carpentier adala soal revolusi. Rasa-rasanya memang benar jika tiap pembangkangan dibungkam dengan darah dan kematian. Lalu orang siap dengan jiwa Phoenix-nya yang bangkit dari abu kematiannya. Novel ini menyisakan pertanyaan Carpentier: “Apa yang diketahui orang kulit putih tentang masalah orang kulit hitam?”.
Judul: Negeri Kaum Budak (terjemahan dari The Kingdom of This World)│ Penulis: Alejo Carpentier │ Penerjemah: Jimmi Firdaus │ Penerbit: Olongia │ Tahun: 2007 │ Tebal: 172 halaman │ Peresensi: Isma Swastiningrum