Home SASTRAPUISI Penjahit Waktu

Penjahit Waktu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Penjahit Waktu

:41 Tahun Arena              

 

tahun telah berganti baju

melepas ngilu berkerak di tubuh

tanggal-tanggal ingatan terlipat ke dalam museum residu

gerimis kembang api dari langit

dera dingin angin menggigit

 

aku hari ini bukanlah aku yang baru

hanya jutaan bau waktu bertarung melawan kesendirian

menyaksikan matahari tak pernah terlambat datang

meski gelap selalu kuasa atas malam

aku hari ini bukanlah aku yang utuh

hanya ribuan detik cahaya melewati kekejaman dan kediktatoran

yang menyamar menjadi begawan

 

aku hari ini bukanlah aku yang utuh

hanya pecahan kata yang mengawetkan rasa serakah sampah istana

berlembar-lembar tulisan menjadi singa di hadapan mereka

aku hari ini bukanlah aku yang utuh

melainkan anak zaman lahir dari segumpal malari

kini yatim piatu dalam pusaran alegori

aku hari ini bukanlah aku yang utuh

sukmaku dibesarkan Orde Baru

pembredelan mengajariku rasanya punya musuh

kepingan tubuh Udin yang dibunuh

bara mulut Marsinah yang disumpal karena menyimpan gelegar guruh

 

hari ini, sungguh pun baru

ia hanya angan dan mimpi yang kambuh

potongan janji dan ambisi

bersiap tertusuk jarum penuh lelatu

 

langkah jam memburu nafas

siang dan malam, yang acuh hanya waktu

tak ada yang bisa dieja

kecuali sesal berguguran

membisiki para pendatang cara bertahan

sambil lupa kalau detik pandai melarikan diri

angka-angka sebatas bayangan alienasi

 

perca masa lalu kadang datang meminta dikenakan

lantaran ia tahu, hari akan mengabu

dan kita beterbangan tamsil silalatu

 

aku hari ini bukanlah aku yang utuh

hanya saksi dari orde baru hingga reformasi yang sama-sama angkuh

 

Yogyakarta, 2016

 

Orang-orang Buangan

:Orang-orang ARENA

 

kita seolah terlempar begitu saja dalam gerak dunia

tak pernah tertarik meraba-raba mimpi sendiri

karena mimpi bersama aduhai beratnya

 

kita hanya terbuang dengan benar di sudut gelap wacana

tidak pernah malaikat berbisik mencari cahaya

sebab kita tidak butuh surga

bila deretan orang-orang lapar semakin memanjang di depan restoran mewah

 

orang-orang Arena, orang-orang buangan dari riuh dunia

merawat Marx hingga Nietzsche dalam kepala

karena kita tahu neraka tak mampu menampung dosa penguasa

 

orang-orang Arena, orang-orang yang masih percaya arus kata-kata

di tengah arus gelombang yang memburu kota-kota

 

Yogyakarta, 2016

 

Nurul Ilmi El-Banna: bukan penyair, hanya menulis puisi.