Oleh: Faksi Fahlevi*
Jika Benjamin Constan berkata: Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen, dan LPM Arena akan menjadi hantu para diktator parlemen.
Selamat ulang tahun Sang Maha Pelihat (Lpm Arena), panjang umur dan semoga selalu bermanfaat untuk orang lain. Umurmu yang kini sudah menginjak ke 41 tahun membuatku bingung, kado istimewa apa yang kirannya bisa membuatmu bahagia. Bisa selalu tegar dan bugar seperti anak muda. Karena bagiku, umurmu yang sudah tua, tidak menunjukkan akhir dari pemikiran kritis persma, melainkan kelahiran untuk mengubur kenangan. Arena bukan kenangan yang pantas untuk dikenang, melainkan lonceng kematian bagi para penjilat dan penjahat.
Dari 1975-2016, ternyata persoalan tetap saja abadi. Musuh Arena adalah ketidakadilan, intimidasi kemanusiaan, penjajahan ekonomi, serta state aparatus sebagai detalizing factor juga bagian dari ancaman. Tak ada salahnya jika kita mengenal prinsip kerja dan ideologinya yang terus diwarisakan untuk anak dan cucuhnya, yakni “pembebasan kemanusiaan” sebagai prinsip utamanya.
Mari kita mengenali saja prinsip dasarnya, bukan kalimat yang sering kita dengar dan didengungkan ketika ketemu para senior yang hidup dimasanya. “Saya Dulu Arena, demonstran yang mengulingkan rezim otoriter (Baca, Gerakan mahasiswa 98).” Melainkan persmawa (sekarang ganti nama persma) yang mempunyai fungsi sebagai suara alternatif kerakyatan, dan tanggung jawab sosial yang besar, karena persmawa adalah keperpanjangan tangan dari masyarakat bawah/cakrawala pemikiran masyarakat.
Bahkan ia menjadi sandaran atas keluhan yang dirasakan setiap masyarakat, serta menjadi guru untuk memberikan petunjuk bagi mereka yang tersesat. Karena dasar nilai-nilai humanistik dengan orientasi penyadaran melalui kritik ideologi yang mampu menempatkan dirinya dalam “konflik” antara realitas empirik dengan ide-ide (baca; kongres persmawa, 1991 UGM) maka penting kita mengetahui.
Karena sejarah tidak selamanya salah. Anak yang lahir di masanya juga patut untuk kita kenang sebagai pelaku sejarah, walaupun, sekedar pengetahuan epistemologis. Namun, kita generasi baru harus lebih cermat “memahami dialektika keseharinya yang nampak pada dirinya, bukan nampak pada kehidupan nenek moyangnya.”
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bung Jamaludin (Pemimpin Umum 2014/2015), diharap bung jangan terlebih dahulu mengklaim saya orang yang penuh romantisme. Kenapa harus mengulas manis sejarah yang saya sebutkakn di atas. Bung sering ngomong, “organisasi akan menjadi ancaman bagi orang-orang yang tidak bisa move on dari masa lalunya” karena ideologi toh selalu dibenturkan dengan realitas aktual. Itu juga tidak salah, tapi sekarang saya mau beralasan, yang menurut saya logis, diterima atau tidak itu belakangan. Anggap saja ini bungkusan ”kado ulang tahun buat Arena”. Buat Bung Jamal dan bung-bung yang lain sebagai pelaku sejarah, diharap untuk menikmatinya, walaupun pahit dirasa.
Di sini saya perjelas, sejarah yang saya maksud tidak berdiri tunggal sebagaimana Alain Badio juga menyebutnya. Ada sejarah perjuangan dan sejarah pemikiran. Sejarah perjuangan adalah seajarah di mana melibatkan individu dalam proses dialektis antara realitas dengan kesadaran ideologinya. Di situ, ada kehidupan pahit, keluh kesah dalam belbagai hal yang meruang dan mewaktu di masanya. Oleh sebab itu saya tidak pengen tahu kerja romantis, selain “rekonstruski” kesalahannya, atas dasar yang saya amati dalam kehidupan kesaharian. Maaf bung, terlalu Haidegerian.
Berikutnya adalah sejarah pemikiran. Sejarah di mana kita bisa selalu bersentuhan, bersua, bertutur sapa. Entah di meja makan maupun di kafe-kafe. Bukan atas panggilan perjuangan yang telah usai diperjuangkan, melainkan ideologi “humanistik” yang terus menyejarah yang selamanya akan menjadi prinsip pula setelah saya. ”Bung Jamal, aku tidak peduli raga dan jasadmu terkubur terlunta-lunta oleh banyak wanita, tapi daya kritismu tetap menjadi semangat Arena yang meniduriku setiap waktu”. Mungkin itu sebuah analogi lebaiku, betapa aku tak bisa move on atas sejarah pemikiranmu, bukan pada apa yang bisa kamu perbuat pada Arena di masa lalu, tapi kamu yang telah memikat ideal moralku untuk paham siapa “aku”.
Ternyata aku adalah Arena yang terpisah, juga mempunyai tugas menghapus sekat pemisah antara masyarakat dengan mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi golongan elite di menara gading. Bahkan ideologi Arena yang kami interpretasi pada kerja, tidak membebaskan pada manusia, saya tidak akan menutup diri untuk dikritik. Tapi gunakanlah kritik itu dengan cerdas, seperti prinsip Hegemoni Ernesto Laclau, dengan mengunakan epistimlogi pada tiga dasar filsafat. Analitis, strukturalis, dan fenomenologi. Karena Arena 41 dipersembahkan untuk situasi sosialnya, tidak menghamba pada tuan-tuanya.
Saya pertegas sebagai penutup. Arena akan lari dari kebebasan, sebagimana kebebasan yang sama dengan alasan Erich Fromm bicara “Mekanisme Pelarian Diri,” bukan lari dari kenyataan, melainkan “pelarian diri dari kebebasan yang akan saya hadapi adalah kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri seorang sendiri dan untuk melebarkan dirinya dengan seorang atau di luar dirinya agar mendapatkan kekuatan yang dirasa kurang dari dirinya.”1 Saya adalah ego yang akan mengabdi untuk Arena, spesial aniverseri. []
NB: 1Erich Fromm, Otoritas.
*Riwatat penulis: anggota Taat LPM Arena yang sekaligus menjadi pegiat Lembaga kajian Filsafat Sosial (LeKFiS).