Oleh : Mohammad Ma’sum Yusron*
Dikecam, ditolak keras, di pandang ngawur dan tidak takut mati. Ya, yang dimaksud adalah kawanan anggota serta pendukung Islamic State of Irak Syiria (ISIS). Jika dia takut mati, pastilah dia tidak akan diterima masuk dalam kelompok ISIS. ‘Militan’, seperti itulah kira-kira apresiasi yang pantas diberikan kepada mereka, anggota kelompok dan pendukung ISIS.
Kita bisa lihat dan dengar sendiri. Betapa semangat dan militannya mereka dalam setiap aksi yang dilakoninya. Tentara, polisi, birokrasi apalagi politisi di negara kita belum mampu ada yang menandingi militansi mereka. Jangankan militan, menepati janji dan menjalankan tugas serta wewenangnya saja, mereka masih amburadul. Maka jangan pertanyakan, mengapa rakyat kita hingga hari ini masih tertunduk pilu atas kondisi yang dialaminya. Lawong, mereka – politisi, birokrasi, polisi serta aparatur negara yang lainnya – masih perlu Technical Meeting dahulu seharusnya pra-menjalankan apa yang diembannya. Atau, mungkin juga perlu dilaksanakan semacam workshop organisasi sebelum mereka menjabat. Mangkel? Kami juga.
Ke-mangkel-an Kami
Dari Sabang sampai Merauke. Dari sawah hingga mesin pabrik yang super canggih. Dari assama’ (yang berarti langit) sampai sumber minyak. Seluruhnya berlumuran keringat, nanah dan darah rakyat yang dieksploitasi oleh mereka, orang-orang serakah. Jemaat serakah itu nyatanya tidak hanya orang-orang yang ber-KTP asing. Melainkan juga WNI (Warga Negara (innalillahi wa inna ilaihi roji’un) Indonesia). Persekutuan demit asing dengan asong, penegakan hukum yang sampai detik ini masih saja doyong merindangi para dedemit, ditambah permainan cakar-cakaran sesama dedemit mengantarkan rakyat kita kedepan pintu kemelaratan materiil, fisik bahkan juga mentalitas diri. Jiwa-jiwa merdeka yang saat itu di deklarasikan, senyatanya tenggelam dalam lautan penjajahan model kekinian.
Memang sih, memimpin dan mengurus kelas negara itu tidak mudah. Namun setidaknya, janji-janji yang telah disampaikan kepada rakyat pas kampanye politik direalisasikan dong! Jangan sekedar PHP (Pemberi Harapan Palsu) saja. Apa nggak takut, andai kata suatu saat kami –rakyat Indonesia– sudah tidak percaya lagi pada negara, kemudian seluruh rakyat dari bayi yang masih di dalam rahim ibunya hingga nenek-kakek yang mendekati ajalnya minta bubarin negara, ‘nggak perlu ada negara’?
Cukup sudah rakyat dibuat menderita selama penjajahan era monopoli VOC, cultuur stelsell, politik etis, hingga indiistelsell orde baru. Buat orde yang lebih baru lagi dong!. Katanya sudah reformasi, kok watak-watak orde-orde yang telah usang masih saja terformasi? Atau jangan-jangan, reformasi memang maksudnya itu – membangun ulang penjajahan-penjajahan baru bagi rakyat Indonesia? Masya Allah, Indonesia.
Meniru Militansi ISIS
Jika si A adalah anggota ISIS, pasti dia sibuk mencari tempat sembunyi. Soalnya, jika ketahuan oleh aparat, pastilah dia ditahan di sel bak burung yang dikurung dalam keranjangnya. Akan tetapi, sungguh seharusnya kita ini iri hati terhadap anggota-anggota ISIS. Militan, tidak takut mati, cinta tanah air dan ideologi, bahkan rasa berkorbannya pun tidak lagi memperhitungkan keselamatan diri dan famili. Keren beneran mereka.
Tapi mereka juga kurang kerjaan. Atau mungkin pula, mereka perlu diajak pembacaan situasi dan perencanaan STRATAK (Strategi Taktik) yang relevan untuk diturunkan dalam bentuk praksis. Mati konyol, katanya “ini jihad saudaraku”!. Itu namanya bunuh diri bung!. Di sini bukan tempatnya main gitu-gituan. Memangnya Indonesia ini negara Irak atau Suriah? Indonesia itu, jihadnya ada cara tersendiri. Maka, jangan samakan atau kasih tahu caranya berjihad di negeri kami!.
Satu kata yang beda-beda tipis dengan landasan ISIS – jihad – dalam melakoni drama ngeri-nya. Bukan lain adalah ‘nasionalisme’. Sejak bangsa ini di proklamirkan, semangat yang menggelora adalah nasionalisme sebagai bangsa Indonesia yang merdeka. Anti Nekolim saat itu digelorakan oleh founding father kita kepada seluruh isi Indonesia. Sebab Nekolim adalah babak sekaligus monster baru penjajahan di atas tanah dan air manusia. Maka, mengapa tidak bilamana kita iri dan tiru ISIS dalam dan dengan cara prespektif yang kita bangun atau miliki sejak bangsa ini berdiri? toh, yang jelas, lahir dan berdiri sampai aksi-aksi ISIS adalah respon terhadap kondisi objektif yang dialami masyarakat di negaranya sana. Akan tetapi, mereka malah keberangas hingga sampai sejauh ini.
Indonesia memang sudah terbentuk dan terstruktur menjadi sebuah negara selama 70 tahun lalu. Namun senyatanya, negara ini krisis akan orang-orang yang memiliki sikap, karakter, sifat dan tindakan yang negarawan. Negarawan yang bermodalkan kedewasaan berpikir dan keteguhan tindakan menyangkut sejarah bangsa secara merdeka, hingga hari ini sukar dan belum diketemui. Negarawan yang memiliki jiwa nation, merdeka, kaya akan kapasitas di segala aspek – sosial, intelektual, juga finansial – serta satu lagi yang menempel pada sang negarawan, yakni tidak gampang tergoyahkan oleh sogokan.
Jika saja jiwa militansi yang mencakup dan sekaligus berlandas dari esensi jiwa negarawan tadi menempel pada kita – rakyat Indonesia – khususnya pengurus negara, betapa ramainya bangsa ini dengan sekian kerja sosial masyarakat untuk mengukir sejarah bangsanya yang merdeka. Mau tidak mau, bila ingin yang namanya revolusi nasional maupun sosial, gemuruh yang berupa militansi seluruh elemen rakyat Indonesia harus muncul ke permukaan. Terdengar atau tidak terdengar, terlihat atau tidak terlihat, gemuruh itu harus kita siapkan.
*Mahasiswa anggota Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KeMPeD)dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ‘Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga’.
Gambar: voanews.com