Oleh: Abdul Aziz*
Bicara tentang SIA (Sistem Informasi Akademik) memang tiada habisnya bak jamur di musim hujan. Berbagai sanjungan dam hujatan diberikan kepadanya, seperti mendapatkan serangan bertubi-tubi dari pihak lain, seperti yang dilakukan netizen membuat meme tentang SIA “petugas SIA kurang ngopi”. Dan tidak luput dari tulisan sebelumnya di lpmarena.com “KRS Lelet Kami Tidak Takut”. Berbagai aksi dilakukan sebagi bentuk protes terhadap sistem yang berlaku.
SIA bertjuan agar manusia kampus menjadi aktif atau subjek dalam memsaukan (input) datanya sendiri secara mandiri, tetapi dalam kenyataannya sistem yang agak modern ini malah meresahklan dan tidak menjadi manusia kampus sebagai subjek atas apa yang dilakukan pihak kampus. Dunia modern telah mengubah manusia secara praktis dalam segala bentuk kehidupan, termasuk di UIN Sunan Kalijaga, yang semula dilakukan manual hingga sok-sok’an memakai internet. Padahal dalam dunia modern ingin menjadikan manusia sebagai subjek, tetapi melihat produknya seperti SIA, manusia sebagai objek, objek yang terus terusan galau akan pengisian KRS.
Bagaimana ini bisa terjadi dan mengulang kesalahan yang sama dari tahun ke tahun? Masalah pokok yang perlu tanggapan serius dari pihak kampus. Meminjam kata dari Descartes “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) yang menandai awal dunia modern serasa tidak cocok bila dikaitkan dengan ke-modern-an di UIN SUKA tercinta ini, bagaimana tidak semakin berfikir tentang SIA menjadikan manusia kampus tenggelam dalam kegalauannya sendiri dan manusia kampus menjadi objek percobaan kampus.
Sistem informasi akademik telah mendapatkan perhatian khusus oleh pihak kampus, mereka maendapatkan gedung sendiri yang diberi nama PTIPD (Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data) guna memperlancar kinerjanya. Nmun apa yang terjadi selama bertahun-tahun telah membuat berbagai stigma negatif dari manusia kampus, dari ketidakbecusan pihak kampus dalam memenuhi kewajibannya sebagi pusat akademik.
Buat apa gedung semegah itu dibuat kalau kinerja tidak pernah memuaskan penggunanya, sia-sia kah? Lebih baik gedung yang sudah dibangun dijual saja guna kinerja SIA agar tidak menjadi sia-sia. Perlu mengundang investor untuk membeli gedung itu mungkin bisa digunakan caffe biar pegawai bisa ngopi dan tidak ngantuk lagi dalam bekerja. Hasil penjualan gedung bisa juga digunakan untuk mem-back up seluruh kebutuhan manusia kampus jikalau anggaran yang digelontorkan kampus tidak cukup dalam memenuhi kinerja sistem.
Kembali ke primitif
Tentunya sangat geram sekali melihat sistem yang terus menerus eror dan membuat manusia kampus gundah gulana. Menyikapi hal semacam ini pihak pegawai SIA agar tidak dikatan sia-sia lagi lebih baik kembali ke masa lalu seperti masa SMA. Manusia kampus membayar langsung ke bendahara sekolah dan hasilnya pun tidak ada kata eror.
Harusnya kampus bisa belajar dari instansi satu tingkat dibawahnya yaitu Sekolah Menengah Atas, masa SMA tidak pernah ada kata mengeluh untuk urusan akademik. Lebih baik manusia kampus disuruh mengisi KRS secara manual, nulis di kertas kemudian diserahkan kepada petugas. Itu lebih efektif daripada memaksan kehendak untuk sok-sok’an memakai internet dalam input data manusia kampus. Manusia kampus yang belum memenuhi persyaratan selalu ditunggu dengan batas waktu yang ditentukan, tetapi kalau ini, mereka yang yang berjanji mereka pula yang mengingkari.
*Penulis jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga, aktif di Keluarga Mahasiswa Pelajar Pati (KMPP).