Jam masih menunjukkan pukul 05.24. Matahari belum juga muncul. Empat anak kelas VI, IV, I SD dan TK terlihat bermain balap-balapan menggunakan sepeda pagi itu. Mereka tertawa, saling memanggil, saling mengejar dengan lincah. Mereka tak menghiraukan para pejalan kaki yang juga ikut beraktivitas jogging di lapangan sprint Stadion Mandala Krida Yogyakarta. Seorang ibu berpakaian warna cokelat serasi dengan warna kerudungnya dan seorang bapak berkaos putih serasi dengan warna celananya tampak mengawasi empat anak itu sambil ikut berputar-putar memakai sepeda onthel.
Seperti itulah potret keseharian suami-istri Andri Setyawan dan Dewi Widyastuti berserta empat buah hatinya mengawali hari dengan bersepeda. Keluarga harmonis yang tinggal di Semaki Gede, Umbul Harjo ini memprogramkan sepeda sehat sebelum bekerja atau pergi ke sekolah. “Diprogramkan habis subuh bersepeda. Biar anak-anak sehat. Pengennya tiap hari, tapi kadang realisasinya lihat situasi kondisi,” kata Dewi saat ditemui ARENA, Rabu (27/1).
Perempuan yang juga berprofesi sebagai guru ini menceritakan, ia menyukai sepeda karena keluarganya juga menyukai sepeda, terlebih Andri, suaminya. “Dia kan penjelajah naik sepeda. Ya dulu pas SMA itu ke Wonosobo, Purworejo, Jogja naik sepeda,” kenang Dewi bernostalgia. Andri tersenyum-senyum dan berceletuk, “Karena awalnya suaminya cinta sepeda, makanya suka sepeda.” Mendengar ini Dewi pun ikut tertawa.
Sepeda yang masuk dalam alat transportasi tertua ini menjadi kendaraan alternatif di zaman modern seperti sekarang. Keberadaannya yang kini telah menjadi minoritas mendapat nasibnya sendiri. Pemerintah Kota Jogja telah mengkonsepkan beberapa program yang sudah dijalankan bagi pesepeda. Golkari Made Yulianto, Ketua Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Dinas Perhubungan Yogjakarta berujar di Pemkot memiliki program “Sego Segawe” yang merupakan akronim dari kalimat Jawa: sepeda dinggo sekolah lan mergawe (sepeda untuk sekolah dan bekerja).
“Sego Segawe itu kan global ya, tiap hari Jumat itu ada kebijakan untuk PNS yang berdomisili kurang dari lima kilo dari kantor, itu wajib pakai sepeda,” ujar Golkari saat ditemui di kantornya Dinas Perhubungan Yogyakarta, di Jl. Imogiri No. 1.
Dinas Perhubungan mendukkung program itu dengan melakukan konsep-konsep pembangunan. Di antaranya membuat perhentian ruang tunggu sepeda di simpang-simpang yang dicat hijau, serta penambahan jalur. “Kemudian setiap tahun kita juga menambah jalur sepeda yang di marka berwarna kuning. Terutama jalur yang potensial untuk pesepeda kita buat jalur sepeda,” ujar Golkari.
Dalam perkembangannya, Pemkot juga memelihara ruang tunggu sepeda. Ruang tunggu ini berintegrasi dengan Trans Jogja agar berkesinambungan. Di shelter atau halte Trans Jogja dipasangi tempat parkir sepeda. Ada yang warna putih, kuning, ada yang diberi atap.“Itu untuk memfasilitasi mereka agar merasa aman. Kemudian dikunci, kemudian naik Trans Jogja ke kantor,” ulas Golkari.
Tempat parkir sepeda dekat shelter Trans Jogja
Selain jalur, ada juga beberapa petunjuk arah terkait dengan jalur alternatif sepeda. Petunjuk jalan tersebut diletakkan di depan gang-gang agar pesepeda bisa memotong jaraknya.
Golkari menyampaikan, sementara menyangkut kondisi jalan, masalah ruang di kota Jogja menjadi persoalan yang susah untuk dipecahkan. Hal ini dikarenakan wilayah kota Jogja yang memang sempit. Bahkan angkutan seperti Trans Jogja yang harusnya punya koridor sendiri tidak bisa punya koridor sendiri. Jalan campur aduk dengan segala macam angkutan. Baik bermotor maupun tidak bermotor jadi satu.
“Dari segi keamanan dan kenyamanan untuk sepeda memang masih memprihatinkan, karena semua masih menjadi satu. Makanya kita hanya bisa untuk meminimalkan. Karena untuk menambah, saya sulit membayangkan melakukan pelebaran jalan itu bagaimana,” kata Golkari.
Selain itu, masalah parkir liar juga menjadi soal tersendiri. Jalur yang mestinya digunakan untuk sepeda digunakan untuk motor atau mobil berhenti di situ dan sepedanya tak bisa lewat. Padahal jika mengacu Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 tahun 2009, semua tepi jalan umum tidak diperbolehkan untuk parkir, kecuali tempat-tempat yang diperbolehkan dengan rambu-rambu. Tandanya bisa telihat dengan palang “P” biru, bukan “P” merah lalu disilang.
“Ada parkir gitu kan parkir liar namanya. Penegakkan hukum di sini penting. Cuma memang kami di Dishub tidak dapat berbuat terlalu banyak, karena mejadi ranah kepolisian,” ucap Golkari.
Ruang tunggu sepeda yang dipakai motor
Di lapangan, misalnya di sekitar Stasiun Lempuyangan, tepatnya di Jalan Lempuyangan. Jalan yang sempit semakin sempit karena digunakan untuk parkir. Tak jarang kemacetan sering sekali terjadi di kawasan ini. Salah satu petugas parkir, Wahyu (52) yang telah mejalani profesinya sejak 18 tahun di Jalan Lempuyangan mengaku sudah mendapat ijin dari Dinas Perhubungan. Padahal beberapa meter ke arah utara ada palang P silang merah yang berarti dilarang parkir.
“Izinnya sama Dinas Perhubungan. Ini resmi. Kalau sepeda lewat ya lewat aja,” kata Wahyu yang juga tergabung dalam Paguyuban Parkir Stasiun Lempuyangan. Sehari-harinya ia bekerja dari pagi sampai jam tiga sore, lalu shift-shitf-an dengan anaknya.
Suara Komunitas
Di Jogja, ada begitu banyak komunitas sepeda. Di antaranya, perkumpulan sepeda onthel, sepeda BMX, sepeda fixie, sepeda siput, dan lain-lainnya. Bahkan setiap hari Jumat di akhir bulan ada komunitas sepeda se-Jogja mengadakan temu bersama di kawasan Stadion Kridosono. Komunitas besar ini menyebut mereka dengan nama Jogja Last Friday Ride.
Komunitas YLRI saat sedang kumpul 0 Km
Salah satu komunitas sepeda yang ARENA temui adalah komunitas Yogyakarta Low Rider Indonesia (YLRI). Komunitas yang berdiri sejak 5 Mei 2014 ini telah memiliki anggota sekitar 60-an orang. Komunitas tersebut memiliki kustom original dengan motto low speed- high face. Muhammad Ardi selaku ketua komunitas YLRI mengapresiasi salah satu program dari pemerintah yang bernama Car Free Day, di mana setiap hari Minggu di kawasan tertentu bebas kendaraan bermotor, hanya pesepeda dan pejalan kaki.
“Di sini Minggu lalu ditutup jalannya buat pesepeda dan pejalan kaki, sekarang malah gak ada,” kata Ardi saat diwawancari di kawasan 0 Km, Minggu (17/1).
Bagi Ardi, parkir masih menjadi kendala. Di tempat-tempat tertentu sangat susah sekali mendapat tempat untuk parkir sepeda, kebanyakan parkir motor. “Parkirnya agak kurang. Kebanyakan parkirnya motor, sepeda malah gak ada ruang buat parkir. Kalau di Malioboro susah banget buat parkir sepeda,” ucap Ardi yang juga bersama komunitas sepedanya pernah mengadakan sepedaan bareng ke Pantai Parangtritis, Pantai Baron sampai Candi Ijo.
Masalah parkir juga diresahkan oleh Andri Setyawan. “Jalur sepeda kadang untuk parkir,” kata pria yang juga tergabung dalam Paguyuban Onthel Jogjakarta (Pojok).
Wacana Pemkot
Di tahun 2017 nanti, dari penuturan Golkari, Dinas Perhubungan mencanangkan kawasan Malioboro menjadi kawasan semi pedestrian. Artinya tak boleh lagi ada kendaraan bermotor selain kendaraan massal Jogja yang melewati Jalan Malioboro hingga Titik Nol.
Di Tahun 2016 ini Dinas Perhubungan merencanakan pemindahan parkir sepeda motor Malioboro ke Taman Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali yang sudah dibuat tiga lantai. “Parkir motor, mobil di sana. Malioboro dibuat semi pedestrian. Ke sana gak usah khawatir kesempret motor. Sepeda masih boleh, karena bukan motor,” ucap Golkari.
Langkah ke depan dari Pemkot Jogja agar pesepeda mejadi lebih nyaman, akan dibuat lampu pengaturan khusus untuk pesepeda. Lampu ini nantinya dijadikan satu dengan rambu lalu lintas. Pada saat lampu hijau, nanti yang menyala duluan itu yang untuk sepeda, “Jadi sepeda nyala hijau, sementara yang motor masih merah. Sekian detik kemudian baru yang kendaraan motor nyala hijau,” ujar Golkari. Rencana ini dibuat Pemkot dengan maksud melihat agar sepeda bisa berjalan dahulu, dari sisi kesehatan lebih terjamin.
Rencananya juga ke depannya nanti Dinas Perhubungan mengupayakan ada semacam sepeda gratis yang boleh digunakan oleh masyarakat di sepanjang Malioboro, seperti yang saat ini diterapkan di UGM.
Bagi Dewi Widyastuti, kesadaran di masyarakat memang belum tinggi dalam bersepeda. Padahal menghemat energi, menghemat biaya. Serba cepat inginnya.“Fasilitasnya memang sudah disediakan, meski belum optimal. Meski memang yang mau bersepeda itu masih jarang atau masih suka naik motor,” kata Dewi.
Sedangkan bagi Golkari menurutnya fasilitas yang disediakan Pemkot bagi pesepeda sudah memenuhi, malah baginya sebenarnya masih banyak fasilitas yang disediakan belum digunakan secara maksmimal. Seperti di ruang tunggu, kalau dilihat dan dicermati masih banyak yang belum ditempati.
“Kalau menurut kami sudah cukup. Tinggal bagaimana masyarakat memanfaatkannya. Perlu peran serta semua masyarakat, tidak bisa kemudian ini dibebankan di pundak pemerintah tanpa partisipasi masyarakat. Tak akan bisa jalan,” ujarnya. Golkari berharap agar masyarakat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang telah dibangun, sehingga bila nanti masyarakat meminta fasilitas yang lain Pemkot siap melayani.
Reporter: Isma Swastiningrum
Redaktur: Lugas Subarkah