Kepada Diri
kepada embun dan yang menyerupai dingin
kembalilah pada tanah, pada asal mula
di mana bunga-bunga hendak rekah
lalu dari arah timur yang jauh
bara seperti lemparan batu-batu
ke dada burung-burung
tapi di sini, kita masih saja menjadi manusia
yang mencoba lupa jalan keluar menuju pintu
membekukan ingatan pada dinding
dan mendiamkan diri pada gelap
“Dingin masih terus menyerbu,” ucapnya
oh, kepada kupu-kupu dan rerumputan
bumi ini terlalu lugu
menerbitkan pagi di kepala manusia
ingatan pada ketakjuban semesta
masih dikalahkan oleh lelap
dan derap nafas yang lelah
maka aku ingin lekas selesai menjadi manusia
pergi dari diri, melepas segala keduniaan
dan seperti sepi itu yang setia menghampiri puisi
aku kekal bersama ketiadaan.
Cabeyan, 2014
Solilokui
I/
Seperti air matamu, sungai ini mengalir membawa kesedihanku
Hidup yang gelap, mata yang penuh kesangsian
Menempatkanku di balik dunia yang asing dan sunyi
Perpisahan kita adalah kekekalan daun luruh kemudian busuk,
Tak ada yang perlu diperbincangkan
Kenyataan waktu yang mengutuk senja lengser ke balik gunung
Adalah kemuakan mulutku mengucap selamat tinggal
Pada benda-benda yang pernah kita sepakati sebagai simbol kebahagiaan
II/
Baju kita hangus dibakar kepedihan
Langkah kita lapuk ditikam kengerian
Lalu kita sama melupakan ranjang dan sepreinya
Di mana kulitku dan kulitmu pernah membuka rahasia
Yang mampu menurunkan hujan,
Bagaimana kita memulai hidup dengan kesangsian ini
–Sesuatu yang lebih ngeri ketimbang neraka?
Bila kita adalah api yang membakar diri dan di dalam panasnya,
Kenangan berdiam untuk menghargai ingatan
_Untuk selalu meninggalkan kesalahfahaman
III/
Ana, bacalah kembali riwayatku
Sebagaimana sungai yang membawa kesedihanku
Sebagaimana daun yang luruh dan busuk
Atau angin yang begitu dingin
Dan sunyi yang mengendap di dinding-dinding kota,
Demikianlah aku saksikan suaramu di langit kelam
Di awan yang tandang, lalu aku tulis ke dalam sajak-sajakku
Di mana hidup telah membuat kita lebih bodoh dari anjing-anjing hutan
:Berharap sesuatu yang sebenarnya telah hilang
Tapi sudahlah, biarkan semua menempati takdirnya
Kini kita tak memiliki dunia sekedar duduk bersama—menghirup udara yang sama
Kata-kata di dalam mulut kita telah hangus dibakar kesangsian
Dan menangislah Ana, menangislah
Sebagaimana sungai ini mengalir membawa kesedihanku entah sampai di mana
Dan di antara kekosongan jiwa aku berdiri
Menatap segala hidup yang telah sia-sia.
Jogjakarta, 2014
Di Tanah Kesepianku
di bukit-bukit yang hijau
di ladang-ladang yang panjang
di jalan setapak yang berliku dan
penuh kerikil, kusimpan perihku
kubangkitkan tabahku di rumah-rumah tanpa pintu
di halaman tanpa mobil dan tiang listrik
kulempar senyumku pada lumut-lumut di tembok
pada daun-daun yang gugur
dengan nyali semoga kau tak bosan
menghirup udara tanah kesepianku
adakah matamu masih bara?
di mana-mana ada kesepian
di mana-mana ada kegundahan
ke langit aku titip segala
gang-gang sempit, kaca pecah
plastik-plastik, dan ranting patah
di bumi aku tetap simpan kesepianku
hingga aku buta Ana, menyaksikan
perputaran kemarahan di matamu
dan orang-orang muslihat yang memperpanjang khianat.
Kutub, 2015
Riwayat Perjalanan II
“entah sampai kapan kita meriwayat perjalanan ini
terasing dari rumah sendiri, dari pintu dan jendela yang terbuka tiap hari”
aku ingin kembali meniduri gundukan tanah, angin yang panjang dan batu-batu itu
menciumi rerumputan, kepul asap tungku dan cinta.
tahun-tahun yang membakar pundakku, perjalan ini telah aku lupa berapa lama
udara memisahkan tanahku dan rindu ini.
kiranya, lumut-lumut telah berani berdiri sendiri, awan telah membuka
corong langit
mempersilahkan suaraku bertengger di pusat semesta.
tapi ini hati masih bingung menatap selatan, mengejar utara
barat dan timur selalu mendesak nasib mimpi yang lain.
“entah sampai kapan kita meriwayat perjalanan ini
mengakhiri perburuan dan menatap kekal bumi ibu-bapak”
beri aku senjata, parang atau apalah
memangkas riwayat ini jadi potongan-potongan bukit kecil
sampai aku kembali menggulung cinta di gundukan tanah
menciumi angin yang panjang di bumi yang permai
di tangan ibu-bapak.
Kutub, 2015
Anwar Noeris, lahir di Sumenep, Madura. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan bekerja sebagai tukang sampul buku di Taman Baca Masyarakat (TBM) Hasyim Asy’ari. Selain itu sehari-harinya bolak-balik dari Bantul ke Sleman untuk menghormati nasib sebagai mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Puisi-puisinya terbit di media lokal dan nasional, seperti Jawa Pos, IndoPos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, dan lain-lain. Tinggal di Jl. Parangtritis KM 7,5. No 44 Cabeyan, Sewon Bantul, Yogyakarta.