Lpmarena.com, Peristiwa 65 merupakan sejarah kelam Orde Baru (Orba) yang menyisakan beberapa warisan, salah satunya adalah ketakutan. Ketakutan-ketakutan tersebut diimajinasikan dan dikonsumsi oleh generasi setelahnya. Seiring berjalannya waktu, munculah sebuah kesadaran bahwa ketakutan-ketakutan tersebut harus dilawan.
Hal inilah yang dipaparkan oleh Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid dalam bedah buku Memoar Pulau Buru karya korban pengasingan Pulau Buru, Hersri Setiawan. Mengambil tema “Memoar Pulau Buru: Sejarah Kemanusiaan dan Melacak Pengetahuan bagi Generasi Muda”, dikskusi dilaksanakan di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM, Minggu (11/03).
Dalam sambutannya Hilmar mengungkapkan bahwa penerbitan dan bedah buku Hersri merupakan bentuk gerakan yang menerobos ketakutan-ketakutan yang diciptakan Orba. “Ini adalah kontribusi untuk mengikis ketakutan-ketakutan itu,” ungkapnya.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Arie Sujito selaku moderator. Ia mengatakan untuk mendiskusikan hal semacam ini termasuk hal yang mahal dalam sebuah gerakan. “Termasuk mendiskusikan pembuangan di Pulau Buru,” tambah dosen Sosiologi Fisipol UGM tersebut.
Roichatul sebagai pembicara juga mengungkapkan Pulau Buru menjadi salah satu lokus kajian pelanggaran HAM kasus 65. Sampai saat ini jumlah total korban di Pulau Buru masih belum jelas. Kejahatan tersebut memang dilakukan secara sistematis. Juga mendapatkan legalitas dari pimpinan negara yakni Soeharto dengan ditemukannya surat-surat perintah untuk melakukan kejahatan 65. “Seluruh pucuk pimpinan yang berperan sudah meninggal, kita kehilangan waktu,” tambah komisioner HAM tersebut.
Reporter: Mujaeni
Redaktur: Isma Swastiningrum
Sumber foto: goodreads.com