Oleh Hilful Fudhul*
Pertanyaan dalam judul tulisan ini muncul sebagai bentuk ketidakpercayaan mahasiswa terhadap organisasi kemahasiswaan (Ormawa). Tidak mengagetkan bagi kita saat melihat kenapa muncul krisis kepercayaan terhadap kehadiran ormawa. Ormawa sendiri merupakan wadah bagi mahasiswa mengekspresikan diri serta media bagi mahasiswa untuk belajar berorganisasi, pergantian pengurus ormawa bukan menjadi jaminan akan adanya kepercayaan untuk kepengurusan selanjutnya. Melihat kondisi ini, persoalan terpenting yang harus kita jawab bersama adalah mekanisme yang mengatur pemilihan pengurus ormawa di sisi lain menjadi sangat politis melalui mekanisme kepartaian. Lebih substansial adalah apolitis-nya kehidupan mahasiswa di kampus, menjadi kendala terbesar hadirnya ormawa yang lebih dinamis dan kritis.
Berbagai kondisi tersebut, perlu kita cari dulu apa penyebab munculnya krisis kepercayaan terhadap ormawa. Melihat dinamika kepengurusan sebelumnya, ormawa hanya menjadi ajang bagi kelompok tertentu atau hanya di kuasai oleh kelompok tertentu. Sehingga, logika yang terbentuk adalah logika penguasa yang mengkoordinir kegiatan tanpa melihat substansi dan tidaknya bagi keberlangsungan proses pendidikan di kampus. Ormawa sebagai organisasi intra kampus, memiliki legalitas mengadakan acara dan kegiatan apapun di kampus, memiliki kebebasaan di banding dengan mahasiswa yang membentuk komunitas atau organisasi ekstra kampus lainnya.
Ormawa seperti DEMA-U, SEMA-U serta DEMA-F, SEMA-F dan HMJ-HMJ memiliki potensi lain di banding dengan organisasi kemahasiswaan di luar dari tanggung jawab institusi kampus. Tingkat universitas sampai tingkat jurusan, struktur ormawa ada di masing-masing kebutuhan mahasiswa, di tingkat universitas mahasiswa memiliki DEMA-U sebagai badan eksekutif mahasiswa, SEMA-U sebagai legislatif mahasiswa, sedangkan pada tingkat fakultas DEMA-F, SEMA-F dan di tingkat jurusan ada Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ormawa ini, memiliki anggaran tetap dari kampus untuk mendanai setiap kegiatannya. Manfaat ini, bagi setiap kelompok atau komunitas yang memiliki hasrat untuk menduduki kursi di ormawa di berbagai tingkatan, berebut untuk menguasai ormawa.
Memanfaatkan potensi ini, di lihat dari kepengurusan ormawa yang sebelumnya, kegiataan yang menjadi tontonan yang di suguhkan kepada mahasiswa hanya berbentuk seminar. Menghadirkan tokoh-tokoh politik nasional maupun regional Yogyakarta, dengan pembicaraan melalui tema-tema yang di hadapi oleh para politisi bangsa, ormawa menghadirkan itu kepada mahasiswa. Pertanyaannya adalah pentingkah itu bagi mahasiswa ? melihat subtansi ormawa sebagai intitusi wadah ekspresi bagi mahasiswa, juga melihat kebutuhan mahasiswa yang harusnya hidup dengan hal-hal yang ilmiah, kritis, solutif bagi persoalnya kerakyatan dan itu tidak didapatkan oleh mahasiswa di kelas masing-masing. Harusnya, ormawa mengambil ruang ini, dengan mengadakan kegiatan pendidikan alternatif sebagai kritik atas pendidikan di kelas, lewat diskusi-diskusi, kajian yang bersifat kritis.
Saat ini, yang di hadapi oleh mahasiswa adalah persoalan mahalnya biaya kuliah lewat Uang Kuliah Tunggal serta di renggutnya ruang-ruang demokrasi di kampus seperti pelarangan diskusi ilmiah tentang Syiah di fakultas Ushuludin, penyelenggaraan bedah film Senyap yang di lakukan oleh LPM Rhetor menuai larangan dari pihak pimpinan kampus. Ormawa harusnya lebih progresif dalam mengambil isu-isu kerakyatan yang di hadapi oleh mahasiswa saat ini. Sebelum adanya pemilihan pengurus ormawa, mahasiswa UIN SUKA lewat Aliansi Mahasiswa UIN Suka (AMUK) telah melakukan aksi demontrasi memprotes nominal UKT yang memberatkan, gerakan ini sampai pada kesepakatan bersama anatara pimpinan rektorat dengan massa AMUK untuk membentuk tim revisi UKT. Hal ini, bisa di tindak lanjuti oleh ormawa sebagai organisasi yang memiliki potensi lebih di banding organisasi mahasiswa lainnya, dengan melanjutkan misi ini karena di anggap belum selesai.
Kini, dengan terpilihanya kepengurusan ormawa yang baru, bisakah mereka ini membawa misi yang lebih progresif, kritis, ideologis dan tidak elitis serta birokratis? Kritik yang sering dilayangkan oleh mahasiswa terhadap ormawa juga perlu di perhatikan oleh kepengurusan tahun 2015 yang terpilih baru beberapa bulan lalu adalah kondisi ormawa yang saat ini hanya mengadakan kegiatan seminar dengan isu elitis dan tidak berkaitan dan bersentuhan langsung dengan kehidupan mahasiswa, juga keluar dari subtansi ormawa sebagai wadah pendidikan alternatif bagi mahasiswa. Jangan sampai kondisi ini, terus berlanjut sehingga tidak ada wajah baru yang menjadi karakter berbeda dari kepengurusan sebelumnya, hanya ada kepengurusan baru dan sama saja bentuk kegiatannya.
*Penulis adalah anggota AMUK.