Oleh: M. Faksi Fahlevi*
Merasakan denyut kehadiran iman dalam jantung praksis revolusioner mengizinkan kita untuk bermanfaat berhubungan badan dengan marxisme. Oleh sebab itu saya membelah moral, bukan etika kelompok yang perlu dibelah.
Apakah menjadi Marxis harus tidak moralis? Seolah menjadi Marxis jauh dari konsep moralitas. Manusia yang terdefinisikan secara ideal kecenderungannya adalah bebas dan bereksistensi atas bebasnya sendiri dalam menentukan nasib. Bagaiamana dengan nasib yang lain?
Ada yang menarik dari pernyataan kawanku Bung Rifai Asy’ari, setiap kali bertatap muka dengan beliau, bahkan kritiknya pada anak-anak asuhnya sendiri di Lpm Arena, bahwasanya: “Marxis menolak otoritas moral dalam perjuangan kelas”. Artinya menjadi Marxis harus tidak moralis, radikal dan tidak kompromis pada konsepsi ideologi yang lain. Tapi bagi saya selaku orang awam akan Marxis menggugat hal demikian, karena sejauh pengatahuan penulis, perjuangan kelas yang revolusioner dari Marxis adalah memperjuangkan moralitas itu sendiri. Moral kemanusian dan moral perjuangan ketidakadilan oleh kaum borjuis. Sebagaimana termaktub di dalam Manifesto Komunis dari bab I-IV.
Bahkan argumentasi penolakan akan moralitas tergambar jelas dalam editorialnya yang terakhir: “Gerak Kepatuhan dalam Kampus” di mana manusia yang bernama mahasiswa hanya menjadi subjek mati dalam sistem yang dibangun kampus. Ia berharap mahasiswa sepenuhnya aktif dan berpartisipasi terkait kebijakan kampus. Bagi penulis, konsep anarkisme dalam fisik menandakan orang lemah dalam perjuangan kelas.
Jangan sekali-kali bermain api pada tetangga sebelah, SEMA dan DEMA-U Bung. Seolah Bung tidak percaya dan tidak yakin akan keberadaan beliau-beliau sebagai orang tua kita. Sebab karena tulisannya Bang Hilful “Wajah Baru Ormawa, Adakah ?” yang tidak percaya diri menjadi pemimpin dan semangat pesimistisnya ia. Tapi setidaknya kita harus berapresiasi beliau telah sadar diri.
Bang Hilful sepakat jika demokrasi kita adalah demokrasi perwakilan yang sifatnya main-main. Proses pembelajaran demokrasi, kurang lebih seperti itu yang ia katakan dalam tulisanya: “Ormawa sendiri merupakan wadah bagi mahasiswa mengekspresikan diri serta media bagi mahasiswa untuk belajar berorganisasi”. Jadi tidak akan ada manusia yang otentik jika kata pembelajaran menjadi prioritas dalam mendefinisikan persoalan, seolah-olah persoalan kampus, seperti Senyap, diskusi syi’ah, dan UKT tidak nyata. Sebab demo dan bakar-bakar ban adalah proses pembelajaran demo, dengan seolah-olah ada persoalan, hingga tidak bisa menghasilkan apa-apa sampai sekarang.
Bagi kaum Marxis atau mahasiswa yang belajar mazhab kritis, ketertindasan adalah suatu hal yang nyata. Hal itu telah merenggut moralitas kemanusian, maka harus dibela dengan serius bukan dengan main-main. Keikutsertaan publik dalam persoalan ini harus dilibatkan dengan ruang konsensus yang sifatnya sentralisasi, yang dimpimpin DEMA dan SEMA. Persoalan pemaknaan rapi sepihak, seperti kasus di Fakultas Dakwah yang Rifai contohkan, yang perlu di kritik adalah perwakilan mahasiswanya yang menjadi representasi mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komisi Penyiaran Islam, kenapa kebijakannya harus demikian? Ini sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi perwakilan, ia harus bertanggung jawab. Atau jangan-jangan DEMA/SEMA-F, tidak tahu sistem demokrasi yang ia jalankan sekarang? Atau masih main-main.
Pesismisme Hilful dan Anggota DEMA/SEMA-F jika masih belum mengerti pengertian ketertindasan secara moral ala Marxis, bisa pinjam ke kantor DEMA-U ada buku yang menarik yang dipajang rapi sekali yang berjudul: Negara Marxis dan Revolusi Proletariat yang dikarang oleh Nur Sayyid Santoso Kristeva dan bukunya Syed Ameer Ali: The Sprit of Islam. Keduanya bicara sejarah moral yang menyejarah, satu, marxisme dan satunya, Islamisme.
Buat Bung Rifai yang menolak moralitas, bahkan kita sudah mengajinya baru kemarin tentang “Teologi Pembebasan; Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis” yang ditulis oleh Michael Lowy. Di mana antara agama dan marxisme mengandung nilai spritualitas moral yang tinggi bicara tentang “orang-orang yang tertindas.” Karena marxisme itu sendiri adalah moral Bung, bukan etika sosial.
Perlu Bung ketahui, tidak ada manusia yang bebas seperti yang dimimpikan oleh Herman Hesse yang menjadi landasan epistimologis dalam tulisan yang Bung tulis, apalagi manusia Zharathustra. Semua manusia diikat oleh hukum moral sebagai mahluk sosial, kecuali kita hidup di dunia lain, bersama “Jin dan Jun” atau yang sering kita tonton ditelivisi semasa kita kanak-kanak “Jinni”.
Sudah dulu Bung, saya mau kuliah, masih punya tugas makalah yang belum selesai saya kerjakan, persoalan kampus urusan pemimpin kita. Jika tidak bisa, mereka suruh turun saja. Belajar dulu teori politiknya Jurgen Habermas yang dianggap orang neo-marxis yang paling moralis minimal “Ruang publik”. Jangan disuruh belajar eksistensialisme, yang hal itu akan menyuburkan perkembangan politik kapitalime.
*Penulis mahasiswa Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga.
Sumber gambar: news.bbcimg.co.uk