Oleh: Willly Vebriandy[1]
Istilah anarkis/anarkisme menjadi sebuah kosakata yang asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kalaupun istilah anarkisme diperbincangkan, anarkisme akan dimaknai secara negatif sebagai sebuah tindakan kekerasan, tanpa aturan, urakan, atau kriminal. Hal ini dapat terlihat ketika terjadi kerusuhan antar kelompok masyarakat, media massa dan aparat pemerintahan biasanya akan mengkambinghitamkan anarkis atau anarkisme sebagai nama yang cocok menggambarkan peristiwa tersebut.
Memahami anarkisme hanya sebatas pada persoalan kerusuhan, kekerasan, dan berbagai citra negatif lainnya menunjukan kecelakaan berpikir yang fatal. Sebab jika dipahami lebih jauh, anarkisme adalah sebuah gagasan/cita-cita yang menghendaki terciptanya masyarakat yang merdeka, adil, setara dan hidup tanpa penindasan atas nama apapun.
Secara historis paham anarkisme berkembang di Eropa pada abad 18-19 Masehi, dengan tokoh-tokoh awal seperti Piere Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin.[2] Anarkisme muncul sebagai reaksi atas menguatnya peran negara dan kapitalisme di Eropa kala itu. Patut diingat di Eropa pada abad 18-19, sedang berkembang pemikiran Hegel tentang “roh absolut” yang menurut Hegel menjelma dalam bentuk negara. Selain itu berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme di Eropa waktu itu, juga menjadi satu pondasi kuat munculnya anarkisme.
Anarkisme sendiri berasal dari kata “anarki” dengan imbuhan –isme yang berarti suatu paham/ideologi.[3] Anarki berasal dari bahasa Yunani, awalan an (atau a), berarti “tidak”, “ketiadaan”, atau “kekurangan”, ditambah archos yang berarti “suatu peraturan”, “pemimpin”, “kepala”, atau “kekuasaan”.[4] Maka anarchos/anarchein berarti tanpa pemerintahan. Pemerintahan ini yang kemudian oleh kaum anarkis direpresentasikan oleh negara. Anarkisme sendiri memiliki prinsip-prinsip dasar yang membimbing kaum anarkis dalam tindakan, prinsip tersebut seperti kesetaraan, dan keadilan. prinsip ini yang nantinya dijadikan semacam pedoman untuk membaca realitas.
Untuk melihat mekanisme kerja dari beberapa prinsip anarkisme, kita bisa berkaca pada cara kaum anarkis membaca negara. Penolakan anarkisme terhadap pemerintahan/negara didasarkan pada banyak argumentasi. Salah satu argumentasi tersebut adalah karena pemerintahan/negara memiliki struktur hirarki yang bergerak dari atas ke bawah. Hirarki di sini penulis maknai sebagai tingkatan-tingkatan dalam sebuah struktur sosial. Hirarki ini biasanya akan dikuasai oleh segelintir orang yang cenderung otoritatif kepada orang yang ada di bawahnya. Ketika ada struktur hirarki demikian, maka akan terjadi dominasi antara struktur negara dan rakyat. Hal ini bertentangan dengan semangat kesetaraan dan semangat kemerdekaan seorang manusia. Mengapa? Karena manusia secara prinsip adalah makhluk yang setara, walaupun berbeda ras, suku, bangsa, dan agama hal itu tidak kemudian menjadi alasan untuk menutup prinsip dasar seorang manusia yang sama dan setara di muka bumi. Gagasan kesetaraan dan keadilan ini tidak hanya bergerak pada tataran politik dengan objek kritik terhadap negara, namun meluas kepada kapitalisme sebagai sistem ekonomi politik dominan di dunia hari ini.
Dalam beberapa hal anarkisme terkesan mirip dengan marxisme, kemiripan tersebut mencuat selain karena kemunculan keduanya yang hampir berbarengan. Juga karena anarkisme dan marxisme memiliki cita-cita yang serupa akan terciptanya masyarakat yang adil, merdeka, setara, dan tanpa penindasan. Persamaan lainnya juga terlihat pada cara pandang membaca kapitalisme sebagai sistem yang menindas manusia. Sepengetahuan penulis, kaum anarkis dan marxis tidak memiliki perbedaan dalam melihat kapitalisme. Perbedaan fundamental keduanya keduanya ada pada cara melihat negara. Marxisme memaknai negara sebagai supra-struktur dari basic-struktur yang direpresentasikan oleh faktor ekonomi –kapitalisme. Artinya menurut kaum marxis, negara berposisi di bawah kapitalisme dalam mekanisme kerjanya. Apa yang dilakukan negara, sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari sistem kapitalisme. Negara diibaratkan sebagai sesuatu yang netral, ketika negara pro pemodal daripada rakyat miskin, hal itu disebabkan karena negara dikuasai oleh pemodal. Untuk itu negara akan menjadi pro rakyat miskin ketika kekuasaan negara ada di tangan rakyat.
Anarkisme berbeda pendapat pada persoalan ini, menurut penulis anarkisme memaknai negara sebagai sebuah lembaga yang tidak berposisi di bawah kapitalisme. Artinya negara dan kapitalisme dimaknai sebagai dua struktur sosial yang terpisah namun saling mempengaruhi. Negara bisa mempengaruhi kapitalisme, dan kapitalisme bisa mempengaruhi negara. Pandangan ini yang di kemudian hari membuat anarkisme dan marxisme berpisah dalam proses perjuangannya. Karena bagi kaum anarkis, negara bukan hanya tempat relasi kekuatan ekonomi-politik, tapi juga tempat alienasi manusia karena ada struktur hirarki atas-bawah yang membelenggu manusia.
Proses perjuangan anarkisme sangat berbeda dengan proses perjuangan ideologi revolusioner lain seperti marxisme-leninisme. Salah satu contohnya begini, marxis-leninis mengandaikan proses terwujudnya revolusi akan tercapai ketika kaum proletar (buruh) merebut alat-alat produksi dengan dipimpin oleh partai revolusioner. Ketika partai berhasil merebut kekuasaan dari para borjuis (pemilik modal) maka akan tercipta kediktatoran proletariat yang akan memerintah dan membawa masyarakat masuk pada masyarakat tanpa kelas (komunis). Masyarakat komunis juga merupakan cita-cita utama kaum anarkis, hanya saja kaum anarkis tidak sependapat ketika ada kediktatoran proletariat dan keharusan revolusi yang dipimpin partai revolusioner. Mengapa karena hal tersebut melanggar prinsip kesetaraan dengan adanya hirarki.
Kaum anarkis berpandangan bahwa revolusi tidak perlu dipimpin partai revolusioner, cukup dengan kaum buruh, petani, dan kaum tertindas lain yang tergabung dalam serikat-serikat atau federasi rakyat yang mengorganisasi revolusi. Ketika revolusi harus melalui partai revolusioner, proses perjuangan akan dikooptasi oleh segelintir elite dan kaum tertindas hanya akan menjadi pendukung revolusi, bukan subjek revolusi. Mengapa elite bisa menguasai proses revolusi? Karena dalam kepartaian revolusioner ada struktur hirarki dari atas ke bawah. Di mana pimpinan partai memiliki otoritas untuk menyuruh struktur di bawahnya, sehingga proses revolusi akan terwakilkan oleh elite partai bukan kaum tertindas itu sendiri. Revolusi yang terjadi di Uni Sovyet, Vietnam, Laos, dan Korea Utara kiranya bisa dijadikan pelajaran. Revolusi di berbagai negara tersebut terkooptasi oleh elite-elite birokratis, sehingga membuat kaum buruh dan kaum tertindas lain bukannya berdaulat secara ekonomi dan politik, namun justru kembali ditindas oleh elite-elite mereka sendiri yang berubah menjadi diktator baru seperti Stalin atau Pol Pot.
Awalnya anarkisme adalah gagasan yang sempat mendominasi Eropa pada abad 18-19 mengalahkan marxisme. Benedict Anderson dalam buku Di Bawah Tiga Bendera secara panjang lebar menggambarkan hal tersebut. Kondisi ini menurut Ben, disebabkan kaum anarkis tidak menempatkan hanya kaum buruh yang mampu menciptakan revolusi, tapi kaum petani dan kaum tertindas lain juga memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan revolusi. Fakta ini berbanding terbalik dengan marxisme di abad 19, yang memandang revolusi hanya bisa terjadi ketika kaum buruh melakukan revolusi. Kaum petani dan kaum tertindas lain haruslah dipimpin kaum buruh dalam melakukan revolusi. Fakta ini yang membuat gagasan anarkisme hampir mewarnai sebagian besar Eropa kala itu.
Kita pasti ingat bahwa 1 Mei (Mayday) adalah Hari Buruh sedunia. Patut diketahui 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh karena dulu pada tanggal tersebut terjadi eksekusi mati terhadap beberapa orang anarkis yang melakukan demonstrasi melawan penindasan kapitalisme dan negara. Kaum anarkis yang meninggal, menjadi martir atas perjuangan mewujudkan keadilan di muka bumi. Kematian mereka yang hingga hari ini diperingati dalam bentuk Mayday.
Fakta bahwa anarkisme pernah mempengaruhi sebagian besar Eropa, berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Anarkisme seakan dicampakkan ke keranjang sampah oleh berbagai kalangan. Anarkisme direduksi hanya sebatas pada tindakan kekerasan, tanpa aturan, atau kriminal semata. Menurut penulis realitas demikian terjadi karena adanya pengaruh politik dari berbagai pihak untuk membenamkan gagasan anarkisme ke dalam tanah. Meredupnya anarkisme sebagai sebuah gagasan, semakin terlihat ketika Uni Sovyet yang berhaluan marxis berdiri. Kaum anarkis yang berbeda pandangan dengan Uni Sovyet dicap reaksioner, atau kiri kekanak-kanakan. Bahkan kaum anarkis juga dikejar-kejar, disiksa hingga dibunuh oleh rezim Uni Sovyet. Tindakan ini secara tidak langsung memberi pukulan telak kepada kaum anarkis sedunia, walaupun di beberapa tempat anarkisme masih dapat berkembang sebagai sebuah gagasan dan tindakan revolusioner. Tidak heran jika kemudian pemaknaan masyarakat akan anarkisme juga ikut terpengaruh seperti sekarang ini.
Menghidupkan Gagasan Alternatif
Fakta bahwa gagasan anarkisme terkubur ke dalam tanah adalah kenyataan politik hari ini. Kondisi tersebut tidak bisa ditutupi atau disembunyikan. Terkuburnya gagasan anarkisme bukan berarti membuat ia mati tak berbekas. Anarkisme baik sebagai gagasan maupun tindakan masih banyak dijumpai diberbagai belahan dunia, seperti kelompok Rojava di Suriah, atau Zapatista di Meksiko. Kedua kelompok ini yang hingga sekarang dianggap sebagai representasi gerakan anarkis dunia.
Menurut penulis ke depan berbagai gerakan sosial akan dihadapkan pada beberapa persoalan pelik. Dunia yang dibayangkan Bakunin, Marx, atau Lenin ratusan tahun lalu akan berbeda jauh dengan kenyataan di masa depan. Ambil contoh kapitalisme, menurut Marx, kapitalisme akan runtuh karena kontradiksi di dalam dirinya. Kontradiksi yang dimaksud adalah bahwa kapitalisme mengkhendaki adanya akumulasi keuntungan yang berlipat, akumulasi ini tidak dibarengi oleh pemerataan pendapatan dengan kaum buruh/pekerja, sebab akumulasi keuntungan hanya dimiliki oleh segelintir pemilik modal. Ketika tidak terjadi pemerataan, maka akan terbentuk kesenjangan sosial. Semakin tinggi kesenjangan sosial, semakin besar kemungkinan kaum buruh untuk berontak menghancurkan kapitalisme. Prediksi ini dalam realitasnya berkali-berkali dipatahkan karena kapitalisme berhasil merekontruksi dirinya untuk disesuaikan dengan kondisi zaman. Gagasan ekonomi-politik semacam welfare-state, atau neo-liberal merupakan bukti nyata kemampuan kapitalisme mengatasi kontradiksi di dalam dirinya.
Selain itu, dunia ke depan akan terpetakan kedalam tiga poros utama, antara pasar, masyarakat, dan negara. Di mana di antara ketiga elemen ini akan memiliki hubungan yang cenderung dominatif dan eksploitatif. Negara bersama pasar akan menjadi kekuatan dominan yang mengendalikan dunia. Tanda-tanda akan realita ini sudah bisa dirasakan ketika berkali-kali terjadi konflik antara masyarakat dengan negara dan korporasi. Seperti yang terjadi di Rembang, Lumajang, atau Kebumen. Berbagai kasus ini sebenarnya menunjukan kolaborasi antara negara dan pasar (korporasi) untuk mendominasi dan mengeksploitasi masyarakat umum.
Tantangan-tantangan di atas, berdampak pada kebuntuan berbagai elemen gerakan untuk mewujudkan agenda gerakannya. Sebut saja gerakan sosial berbasis marxis-leninis. Pasca keruntuhan Uni Sovyet, kaum marxis seperti kebingungan membaca realitas yang semakin kompleks dan berbeda dengan kondisi awal gagasan tersebut dicetuskan. Perjuangan melalui partai revolusioner tidak memiliki dampak yang signifikan. Masyarakat cenderung apolitis terhadap partai, karena melihat sepak terjang partai-partai mainstream saat ini. Hal tersebut menyulitkan kaum marxis yang menggunakan metode perjuangan melalui partai.
Di tengah-tengah kebuntuan ini dibutuhkan gagasan alternatif untuk dapat menyadarkan rakyat akan pentingnya perjuangan melawan dominasi dan eksploitasi. Pada titik ini, anarkisme sebagai gagasan politik untuk terciptanya masyarakat yang adil memiliki posisi tawar yang kuat. Mengapa? Karena dibanding kaum marxis-leninis yang sangat mengidealkan perjuangan melalui partai, anarkisme lebih menekankan pada subjek revolusi itu sendiri. Artinya revolusi tidak perlu menggunakan partai atau organisasi yang serba struktural dan cenderung menitik beratkan pada peran elite. Anarkisme berpandangan revolusi akan terwujud cukup dengan serikat-serikat buruh, tani, atau kaum tertindas lain. Di mana peran sentral revolusi berada pada buruh itu sendiri, bukan pada segelintir orang apalagi elite borjuis.
Gagasan politik alternatif seperti anarkisme menurut penulis akan mampu memberi warna dan varian tersendiri sebagai upaya membendung laju kapitalisme dan melawan segala bentuk penindasan dimuka bumi. Ketika terjadi kebuntuan dalam membaca, memetakan, dan menentukan strategi perjuangan paling ideal hari ini, maka perumusan ide-ide baru bagi terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan merdeka patut dilakukan. Dan anarkisme adalah satu dari sekian juta ide-ide baru tersebut. Untuk itu stigma miring terhadap anarkisme yang berkembang saat ini harus mulai dikubur dalam-dalam, karena tidak sesuai dengan substansi dasar anarkisme itu sendiri. []
[1] Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, anggota Kelompok Belajar Anarkisme.
[2] Mikhail Bakunin adalah seorang Anarko-Sindikalis asal Rusia. Ulasan sederhana tentang sosoknya silahkan buka https://id.wikipedia.org/wiki/Mikhail_Bakunin
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme
[4] Artikel dalam Anarkis.org, “Seputar Anarkisme Bagian A”.