Setelah Altar
Tak hanya serbuk kopi mengendap di cangkir,
Juga Sabda yang tak mudah kumengerti
Khotbah-khotbah dari altar tidak menjelaskan apa-apa,
Selain kepongahan seorang rabbi,
Yang jubah putihnya menyembunyikan buah-buah terlarang
Ingin kujelajah khotbahnya yang menguarkan kalimat beku
Agar tak sekedar kumpulan kata bisu
Maka kubawa pulang Sabda yang mengendap dalam piala
Almariku kian penuh
Sabda-sabda dalam piala bagai kuncup bunga dari negeri tropis
Kelopaknya siap mekar oleh sentuh cinta-Mu,
Hingga keindahan Sabda menjelma di dalam aku
Kelak jika Sabda tak cuma hafalan di kepala,
Akan kupakai sebagai kalung,
Dengan hiasan liontin kristal biru
: pijar mata-Mu
2013
Ngopi Bareng Tuhan
Ngopi bareng Tuhan sungguh tak nikmat
Ia tolak ajakanku ngopi di cafe mahal di pinggir pantai
“malu,” katanya.
Maka beginilah, Tuhan dan aku berhadapan
Di kedai kecil di pinggir jalan
Secangkir kopi pahit untuknya,
Secangkir kopi manis untuknya
Kopi manisku serasa sampah,
Apalagi kopi pahitnya tanpa gula
Tapi kenapa ia tersenyum juga?
Ngopi bareng Tuhan tak terasa bebas nikmatnya
Selalu ada gangguan untuk hanya berdua
Aku dan Tuhan,
Tuhan dan aku,
Tak bisa berdua saja
Mengapa selalu menyelinap makhluk bersayap berwajah cahaya?
Berebut menyodorkan begitu banyak keranjang pesan
Permohonan-permohonan
Umpatan-umpatan
Secuil syukur
Semua bertanda mendesak
Semua minta diperhatikan oleh Tuhan
Tuhan yang sedang ngopi denganku,
Di kedai kecil di pinggir jalan
Alangkah sibuk ia. Kopi pun dingin diminum juga pahitnya sampai ke ampas-ampasnya
Pada setiap teguk terminum getir dunia,
Getir yang tak pernah diciptanya, tapi yang harus ia telan
Karena cinta
Karena cinta
Ngopi bareng Tuhan!
Hei… mau mencoba?
2011
Perempuan yang Kalah
Perempuan itu menggendong anaknya,
Tak lagi bernyawa
Ingin ia meratap, atau memuntahkan amarah,
Tapi pada siapa?
Sepanjang malam ia bergulat melawan maut
Maut dengan jari-jari gurita yang bergerak ke arah anaknya
Terus bergerak antara tangis bulan
Yang menahan lapar dan dahaga
Ia dekap anak semta wayang berlari menembus malam,
Segera mengetuk hati dokter
Diketuknya, tapi dokter kehilangan kunci menuju cinta
Barangkali terjatuh di antara jubah putih,
Yang tak putih benar warnanya
Bergegas ia ke puskesmas
Napas anaknya datang dan pergi,
Berbunyi bagai gesekan biola
Mendesirkan darah ke ubun-ubun yang terasa nyeri
Dokter jaga menggelengkan kepala
Obat tak memadai, peralatan tak lengkap
Ke rumah sakit anak itu mesti dibawa
Di UGD nasibnya teronggok menjadi sampah
Tanpa jamkesmas mesin rumah sakit tak bisa digerakkan,
Dan jari-jari maut gurita, semakin liar menuntaskan tugas
Perempuan itu menggendong anaknya,
Tak lagi bernyawa!
Telunjuknya lurus dibidikkan ke angkasa: Engkaukah di sana?
2012
Sajak untuk Drupadi
(dan para perempuan yang dihinakan)
Sang Dewi,
Singkirkan jemari dari wajahmu,
Tak perlu kau tutupi!
Keringkan lelehan air dari matamu,
Tak perlu kau tangisi
Siapa semestinya menanggung malu?
Bukan kau, bukan!
Para lelaki suamimu,
Mestinya mengerat sendiri kemaluan mereka,
Menaruhnya di pinggan perak di meja judi
Katakan:
Batang lingga hanya pantas bagi sejatinya lelaki,
Bukan untuk pecundang yang hancurkan harkat diri
Jangan takut, Drupadi
Aku Sang Hyang Wenang,
Membalut tubuhmu dengan selendang pelangi
Panjanganya dari kutub bumi hingga puncak Swargaloka
Mata jalang Kurawa tak mampu tembus kulitmu yang tembaga
Walau Dursasana melenguh dan basah oleh peluh,
Tak kan sanggup ia menggulung selendang kehormatanmu
Mencibirlah Sang Dewi, tatap dengan sinis!
Katakan pada para lelaki yang kehilangan nurani :
12×12 purnama 12×12 bulan mati,
Kalian kan dicambuk di hutan-hutan tergelap
Istana Astina merintih diinjak-injak kaki raksasa
Sementara para kawula mengaduh,
Melata dengan lapar mendera
Dan kau Dursasana!
Para lelakiku saat ini bukan tandingmu
Mereka bahkan bersekongkol,
Mengira perempuan sepertiku cuma pembangkit nafsu
Tunggulah Dursasana!
Tanganku sendiri yang dibalur dendam,
Akan melemparmu ke kawah kematian,
Sebab aku perempuan, pantang dihinakan!
2012
Dhenok Kristianti, lahir di Yogyakarta, 25 Januari 1961. Karya-karyanya banyak dipublikasikan di media massa, seperti Sinar Harapan, Berita Nasional, Minggu Pagi, Basis, dan Suara Karya. Beberapa puisinya juga menyemarakkan antologi puisi Penyair 3 Generasi, Menjaring Kaki Langit, Tugu, Tonggak 4, Akulah Musi, dan Sauk Saloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI).