Oleh: M. Faksi Fahlevi*
Ini sebuah risalah tentang hidup yang perlu kita selesaikan bersama. Apabila pemuka agama dari semua agama mengesampingkan persoalan humanisme sebagaimana diajarkan dalam kita suci masing-masing. Saya tahu, ini memang terasa sulit untuk kita hadapi sebagai musuh bersama, tapi saya yakin tuhan selalu bersama orang-orang yang lemah.
Sebagaimana diajarkan dalam kitab suci penulis, Q. S. Al-Qashash/28:5, bahwasanya: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” Secara konteks memang ayat ini ditujukan kepada Bani Isra’il yang ditindas dan diperbudak oleh Fir’un. Namun pesan yang disampaikan berlaku umum. Untuk seluruh umat manusia.
Tulisan ini bermula dari diskusi bersama kawan-kawan di Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS) dengan tema “Islam Kaffah, Islam Marxis” pada, Senin (21/03/2016), yang bertempat di Student Center UIN Sunan Kalijaga. Di mana mengambarkan tentang konteks ketertindasan muslim yang tertindas, baik di pabrik-pabrik, pertanian, serta politik sosial dan budaya. Sedangkan marxisme sebagai pisau analisis dalam konteks ketertindasan muslim pasca revolusi industri.
Jelas, dalam konteks hari ini kita tidak lagi bicara tentang wacana “teosentrisme” yang kerap kali melahirkan perdebatan “Teisme dan Mono Teisme” sebagai kebenaran. Melainkan lebih pada wacana “antroposentrisme”, dalam persaingan manusia yang bebas dalam konteks industrialisasi ekonomi, “Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan” sebagai penjajah gaya baru yang menjadi hantu masyarakat Indonesia.
Marxisme dan agama-agama mempunyai satu paham yang sama, yaitu sosialisme dan masyarakat tampa kelas. Di mana semua ajaran tersebut dengan tegas menolak kepemilikan pribadi. Kitab suci dari semua agama sepakat jika bumi ini milik “Tuhan”, oleh sebab itu kitab keluaran dalam injil memperlihatkan kepada kita: “Manusia membangun dirinya dengan kekuatan sendiri melalui perjuangan politik yang bersejarah.” Kitab keluaran itu juga merupakan contoh nyata bahwa penyelamatan bukanlah suatu upaya yang bersifat pribadi dan perseorangan, melainkan upaya komunal dan publik (Michel Lowy; Teologi pembebasan).
Bukan saatnya lagi agamawan anti komunisme dan jauh dari wacana marxisme-leninisme. Pemeluk agama yang baik adalah memegang teguh marxisme sebagai fenomena pengetahuan untuk melihat realitas yang kongkret, baik ekonomi, politik, dan budaya di mana dikuasai oleh kalangan kapitalis. Peserta dikontektualisasikan dengan pengertian dalam kita suci masing-masing. Semisal Islam memahami konteks “Mustadha’afin” atau” kaum tertindas” yang harus dilawan dan dibela.
Dalam Islam diceritakan seperti cerita ummat Nabi Nuh yang menentang perintah tuhan sehingga diazab tuhan dengan pedih (QS.al-Furqan/25:37). Kita paham Nuh tidak hanya menjadi sosok pemimpin, melainkan dia adalah realitas yang kongkret yang memahami realitas sosial, sama halnya dengan Nabi Muhammad. Ketika semua nabi sudah berakhir, nabi baru wajib datang dalam perubahan sosial dan memberantas ketidakadilan kapitalisme. Di mana masing-masing individu yang tertindas harus menjadi pemimpin dalam merebut kekuasaan oligarki kapitalistik yang tidak setara. Karena agama mengajarkan pada kita semua bahwasanya, semua orang adalah “pemimpin”.
Oleh sebab itu wajib untuk menentukan sejarahnya sendiri. Hingga Gustavo Guierrez mengkritik para agamawan (gereja) dalam bukunya “Liberation Theologi: Perspective“, bahwa: “Tidak ada dua kenyataan yang mereka pradugakan selama ini, yang satu bersifat “fana” (temporal), yang lain bersifat “rohani” (spritual); dan bahwa tidak ada dua wajah sejarah, yang satu “suci” (sacred), yang lainya “duniawi’ (profan). Hanya ada satu sejarah, dan itu terjadi dalam sejarah manusia yang fana, bahwa penebusan dan kerajaan tuhan mesti dapat diwujudkan kini dan di dunia ini.”
Majlis Ulama Indonesia (MUI) tidak lagi menjadi harapan kita umat muslim Indonesia untuk membangun kemegahan surga tuhan di dunia, kecuali kita generasi mudah. Lebih khusus gerakan mahasiswa yang dibentuk oleh belbagai agama: HMI, PMII, Pemuda Anshor, Pemuda Marhaenis, Pemuda Muhammadiyah, GAMKI, Pemuda Katolik, PSII, Perti, Parkindo, IPKI, dan Soski untuk meluruskan sejarah bangsa Indonesia, dan kembali kepada sosial kemanusian.
Dalam sejarah, gerakan mahasiswa dan pemuda tersebut tergabung dalam Kesatuan Aksi Penggayangan Gestabu (KAP Gestabu). Sebagaimana Singgih Nugroho melaporkan dalam tulisannya yang ditulis di majalah “Lentera” dalam edisi “Salatiga Kota Merah” judul “ Konversi Agama Pasca 1965” bahwa organisasi tersebut dibentuk pada tanggal 2 Oktober 1965 yang merupakan front aksi pertama yang dibentuk untuk menentang PKI, dan mempunyai peran penting dalam memobilisasi mahasiswa dan kelompok pemuda anti komunis. Milisi sipil itu menurut Greag Fealy (1998) dan Cribb( 2003) diperalat untuk membersihkan citra tentara dan keterlibatanya dalam pembantaian dan upaya tentara dalam mengontrol milisi. Situasi hari ini ormas dan gerakan yang saya sebutkan di atas wajib bertanggung jawab dan tegas menolak jaringan politik militer yang pro kapitalisme.
Peritiwa pembantaian tersebut merupakan pembantaian terbesar di zaman modern, dan menciptakan ketakutan anti paham marxis yang humanis dan agamawan terlibat kontra pada humanisme tersebut. Tak habis pikir? Kitab suci yang mana menjelaskan pemeluk agama menolak humanisme? Kecuali kita diajarkan untuk memerangi orang-orang kafir kapitalis yang memiskinkan.
Hari ini marxisme bukan lagi hantu yang menakutkan yang menebar teror sebagai anti Tuhan, melainkan anti terhadap prinsip atau ideologi yang tidak berpihak pada kemanusian, dan kitab suci sebagai pedoman kematian bagi mereka yang menjajah dan menindas yang miskin.
*Penulis mahasiswa jurusan Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Saat ini aktif di LeKFiS dan Arena.
Sumber foto: newah.org.np