Oleh: Yuditeha
Di tanah pekuburan yang cukup luas ini, meski tidak seragam warna dan bentuknya, nisan-nisan berderet dan berjajar rapi. Setia berdiam pada nasibnya.
Hening, yang membuatku suka pada tempat ini, dan kematianlah yang mengantarkannya kepada keheningan itu. Kematian membuat bisu segalanya, dan kisah kematian jugalah yang membuat keheningan dalam hidupku. Hidupku kesepian. Aku hidup di antara orang-orang yang mati.
Semula hidupku sebatang kara di dunia, hingga suatu hari aku mendapatkan seorang anak di pekuburan ini. Dia seorang bocah yang ditinggal mati kedua orangtuanya karena pembunuhan. Tak mempunyai kerabat lagi. Hidupnya sebatang kara, sama denganku. Meskipun peristiwa itu tidak mempengaruhi hidupnya, tapi aku tahu sejak saat itu hidupnya sepi. Kesepian itu kelak akan terpupuk di tempat ini dan tiap hari kian menebal.
Saat bapak-ibunya meninggal, dia tidak mau berpisah dengan jasad keduanya. Ketika jenazah akan dimakamkan, seakan dia hendak menemani untuk masuk ke liang lahat dan ikut dikebumikan. Aku masih ingat, selesai pemakaman anak itu enggan pulang ke rumahnya. Sejengkal pun dia tidak ingin jauh dari kuburan orang tuanya, bahkan ketika semua pelayat telah pulang. Akhirnya, bocah itu tertidur di kuburan. Sebelumnya aku sudah menyampaikan kepada para pengantar jenazah untuk menjaga bocah itu selama di pekuburan. Hari-hari selanjutnya, meski tidak lagi menekuri kuburan orang tuanya, tetapi anak itu tetap tidak ingin pulang.
Begitulah awal cerita, hingga akhirnya anak itu kurawat dan mulai memanggilku bapak. Danu namanya, kini menjadi anak yang tidak banyak bicara, cerdas, dan punya semangat kerja, seringkali semangatku ikut berkobar jika melihatnya sedang bekerja. Sepulang sekolah, usai ganti baju dan makan, biasanya dia langsung menyusulku ke pekuburan. Dia membantuku menjadi penjaga dan pembersih kuburan, serta membantu para peziarah. Kadang ia membawa serta buku-bukunya untuk belajar di tempat ini. Kami sering tidak pulang hingga larut malam. Kupikir tidak ada bedanya jika kami pulang. Tidak ada yang menanti di rumah. Tidak ada yang kami harapkan di rumah.
Rumahku hanyalah sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari bambu. Mungkin lebih tepat jika disebut gubug. Aku tidak dapat membuat yang lebih baik. Penghasilanku hanya mengandalkan keikhlasan para peziarah.
Aku bangga pada Danu. Kuanggap ia sebagai anugerah indah dari Allah. Aku yang tak punya siapa-siapa dan bukan siapa-siapa, kini telah dikaruniai anak cerdas dan berbakti. Sepuluh tahun telah lewat, tapi rasanya peristiwa itu seperti baru kemarin terjadi. Sekarang, Danu kelas tiga sebuah SMA.
Satu hal yang membuat hidupku diliputi rasa was-was. Danu masih menyimpan rapi peristiwa tersebut, bahkan kisah itu masih terjaga baik dalam benaknya. Dulu rumahnya musnah terbakar dan ia tidak bisa melupakan peristiwa pembantaian atas kedua orangtuanya sebelum kebakaran terjadi. Pembunuhan terjadi di depan matanya. Aku khawatir suatu kali niat jahat dapat saja muncul karena dendam itu masih ada di hatinya. Dendam ingin menumpas sang pembunuh kedua orang tuanya.
Berkali-kali aku berusaha memupus kenangan itu, tapi aku belum merasa yakin Danu melupakannya. Dugaanku, dia pandai menyimpan rasa. Jika sampai semua itu terjadi, anak cerdas dan bersemangat hidup ini kelak harus terpuruk karena dendam kesumat. Namun, apalah kekuatanku? Meski kini aku telah menjadi bapaknya, tapi siapakah yang berhak sepenuhnya atas diri seseorang? Meskipun aku menjadi bapaknya, tapi aku tidak lantas bisa memilikinya, apalagi aku sekedar bapak angkat saja. Yang pasti, aku sangat memaklumi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Segalanya kuserahkan pada nasib, seperti halnya yang terjadi di kehidupanku sebelumnya. Aku berharap semoga kelak, rantai kejahatan akan terputus oleh sebuah pengorbanan.
Tidak terasa hari sudah gelap. Danu masih sibuk membaca di pos penjaga. Pos penjaga itu tidak jauh berbeda dengan rumahku. Kami sering membicarakannya, mengapa tidak pindah ke sini saja? Memang, banyak orang merasa takut harus tinggal di dekat kuburan, tapi bagi kami kuburan sama hal nya dengan tempat-tempat lain. Jika dibandingkan dengan tempat tinggal di sebuah pemukiman atau sebuah kota, tempat ini justru akan lebih aman karena aku yakin tidak akan ada yang berani mengganggu.
Kulihat anak-anak kecil mulai pulang ke rumahnya setelah seharian bermain di sekitar pekuburan ini. Mereka bersenandung lirih sambil memunguti bunga-bunga kamboja. Sedangkan di pojok pekuburan sebelah barat, sebuah mobil merah berhenti di sana. Sudah sekitar empat hari mobil merah itu selalu di sana saat menjelang malam. Pertama kali mobil itu di sini, kukira mobil kepunyaan dari salah satu kerabat yang meninggal, karena waktunya hampir bersamaan dengan peristiwa pemakaman empat hari yang lalu.
“Sudah larut, Pak. Kita pulang sekarang?” tanya Danu mengejutkanku.
“Sebentar lagi, Nu. Bapak mau memeriksa mobil siapa itu. Sudah empat hari selalu ke sini setiap menjelang malam,”
“Perlu ditemani, Pak?”
“Biar tidak mencolok, kamu di sini saja,”
“Kalau ada apa-apa, panggil aku ya, Pak!”
Malam pekat. Bulan dan bintang tiba-tiba mati. Angin hanya sesekali bernafas, tapi hawa dinginnya semakin menusuk kulit. Kukenakan jaket, aku menyusuri tanah di sela-sela nisan menuju mobil yang berwarna merah itu.
Mobil merah di pojok kuburan
Menderam-deram menyambut malam,
Lampu dinyalakan, klakson dibunyikan.
Di remang sunyi kembang jebun berguguran.**
“Tuan memerlukan bantuan?”
“Oh, maaf. Saya hanya ingin istirahat.”
“Tuan, sedang ada masalah?”
“Memang, akhir-akhir ini saya suka berada di sini. Saya tidak tahu, apakah saya harus minta izin atau lapor dulu? Lalu kepada siapa?”
“Paling tidak saya mengetahuinya. Saya Wiryo, penjaga makam di sini.”
“Oh maaf, saya tidak tahu. Kalau begitu sekalian saya lapor, ya Pak. Saya Sudrajat, berasal dari Kampung Maja, sebelah timur Perumahan Permata Hijau. Sudah empat hari, tiap malam menjelang saya selalu ke sini. Mungkin, kelak saya akan menceritakan alasannya, mengapa saya sering datang ke sini. Tentu saja jika Bapak berkenan mendengarkannya.”
“Tentu, Tuan. Tapi bukan hal yang membahayakan, bukan?”
“Hmm… tidak. Ini hanya kisah masa lalu. Oya, ini kartu identitas saya, Bapak bisa bawa.”
“Baik, kita bisa berteman di sini. Kesehariannya saya selalu di pos jaga itu, tapi jika telah larut, saya pulang. Seperti saat ini, sebenarnya sudah waktunya pulang tapi karena Tuan datang, saya ingin tahu.”
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama. Saya mendahului pulang ya, Tuan.”
***
Malam ini gelap gulita, bahkan deretan nisan-nisan di tanah pekuburan ini pun tidak tampak oleh pandangan. Hanya siluet pohon-pohon kamboja yang masih terlihat. Namun gelap yang ada tidak sehitam masa lalu Sudrajat. Ada sebuah rahasia di masa lalunya yang sampai kini tersimpan. Kisah yang selalu menghantui, terlebih di masa sekarang, saat usia tak lagi muda. Sepuluh tahun lalu, dia melakukan aksi pembunuhan terhadap sepasang suami istri yang dianggap dapat mengancam harta kekayaannya.
Mariman beserta istrinya, suatu hari mendapati sebuah dokumen dari leluhurnya. Dokumen tentang bukti hutang piutang beserta jaminan surat-surat berharga. Dokumen itu menerangkan, leluhur Sudrajat telah berhutang kepada leluhur Mariman. Dasar Mariman dari keluarga kecil dan tak terdidik, dia langsung menuntut kepada Sudrajat dengan membawa bukti-bukti yang ada. Bagi Sudrajat, terjawab sudah tentang informasi surat-surat berharga atas aset-asetnya yang selama ini dicarinya. Ternyata surat-surat berharga itu berada di tangan Mariman. Sudrajat harus menebusnya. Tapi Sudrajat memikirkan jalan lain yang lebih menguntungkan dan gampang.
Tidak lama dari peristiwa itu. Di sebuah malam, rumah Mariman terbakar. Tidak ada barang yang tersisa, bahkan Mariman dan istrinya menjadi korban dalam peristiwa itu. Mereka berdua ikut terbakar dan mati hangus. Satu-satunya yang selamat dalam peristiwa itu hanyalah Danu, putra mereka. Tapi apakah Sudrajat tahu? Jiwa Sudrajat berkali-kali tergoncang saat benaknya mengingat peristiwa itu. Mimpi buruk selalu mendera tidurnya. Dia lantas bertekad mencari letak kuburan Mariman dan istrinya. Dia ingin menziarahi kuburan mereka. Dia ingin meminta maaf.
Itulah kisah masa lalu Sudrajat yang diceritakan padaku di malam itu. Malam yang tidak ada hujan dan juga tidak mendung tapi terasa seperti ada petir yang menggelegar di jantungku.
“Jadi karena itu, Tuan selalu berada di sini?”
“Begitulah,”
“Tuan merasa tidak bahagia?”
“Saya belum merasa bahagia jika belum bertemu dengan dia,”
“Dia? Siapa, Tuan?”
“Ya itu tadi. Mariman. Hmm… Bapak tahu kuburan keluarga Mariman? Saya tidak tahu dia dikubur di mana. Sudah tiga tempat pemakaman kudatangi tapi tidak juga kutemukan. Semoga di pemakaman ini akan kutemukan. Mungkin Bapak kenal dia?”
“Ya, saya kenal,”
“Di mana dia sekarang, Pak? Dapatkah Bapak memberitahukan di mana tempat makam mereka?”
”Ada syaratnya.”
“Apa itu?”
Wiryo membisikkan sesuatu ke telinga Sudrajat.
“Baiklah, saya akan menuruti permintaan Bapak,”
“Oya, tahukah Tuan, kalau Mariman punya seorang anak laki-laki yang hingga kini masih hidup?”
“Benarkah?”
***
“Danu, kamu merasakan panas, tidak?”
“Ya, Pak. Panas banget! Mau hujan, mungkin. Oya Pak, tadi siang ada pemakaman salah satu warga perumahan Permata Indah. Seorang pejabat rendahan yang mati dibunuh karena telah berani membeberkan tindak korupsi atasannya,”
“Terlepas terjerat hukum atau tidak, bapak yakin, kelak hidup pembunuh akan menemui derita tekanan batin yang dalam, semacam depresi tak berujung,”
“Bapak tahu dari mana?”
“Sudah banyak bukti, pada akhirnya mereka akan menjadi orang-orang yang patut dikasihani,”
“Bagiku, berlaku sebaliknya, tidak ada kata iba, mereka harus menerima hukuman yang setimpal. Yaitu mati juga!”
***
Genap tiga pekan Sudrajat menjadi pengunjung setia di kuburan ini dan sudah sepuluh hari di setiap menjelang malam, dia berkarib denganku, untuk saling memahami dan dipahami, untuk saling bercerita dan berbagi.
Seperti ada jiwa-jiwa yang gentayangan menanti keputusan. Malam ini seperti malam tak bernyawa dan terasa aneh, tiba-tiba bergemuruh lirih oleh suara mobil. Mobil merah itu kembali datang. Sebentar lagi pasti parkir di pojok kuburan dan akan berada di sana sampai fajar tiba. Hal itu juga berarti, sebentar lagi Sudrajat akan menemuiku. Menagih janji tentang kesanggupanku untuk memberitahu dimana letak kuburan Mariman dan istrinya.
Sudrajat, orang yang hidup bergelimang harta, baru satu bulan menjadi sebatang kara. Istri dan kedua anaknya mati dalam peristiwa musibah gempa bumi. Meski hidupnya bergelimang harta tapi kini kekayaan tidak berarti apa-apa. Kekayaan dan kenyamanan hidupnya selama ini tidak dapat membantu apapun. Hidupnya mendadak sepi. Kesepian kian menjadi di tempat ini. Seperti yang sudah kukatakan, kematianlah yang mengantarkannya pada kesepian itu. Karena kematian membisukan segalanya.
“Selamat malam, Pak Wiryo,”
“Oh, malam, Tuan. Wajah Tuan tampak pucat. Apakah Tuan sakit?”
“Saya bermimpi buruk lagi, Pak”
“Oya?”
“Iya, Pak. Karena itulah saya ke sini. Tolonglah, saya ingin segera menziarahi mereka, Pak,”
“Baiklah, Tuan. Mari kita sama-sama ke sana,”
“Bapak, mau ke mana?” tanya Danu tiba-tiba.
“Bapak mau mengantar ke kuburan saudara Pak Sudrajat ini,”
“Siapa dia, Pak?” tanya Pak Sudrajat.
“Anak saya, Tuan,” Jawabku sembari berjalan menjauh dari pos penjagaan.
Sampai juga kami di dua gundukan tanah merah. Dua kuburan, meski tanpa nisan tapi jelas tampak terbaca kalau kuburan ini sangat terawat dengan baik. Di dua gundukan tanah merah itu tidak ada nama yang dapat terbaca. Kami hanya memberinya sebuah tanda kecil di sana. Sebuah tulisan singkat: kisah tragis.
“Kuburan ini sangat terawat dengan baik. Apakah selama ini, ada yang berziarah ke sini, Pak?”
“Kamilah yang merawat kuburan ini, Tuan,”
“O, begitu,”
Dari sini aku melihat Danu berjalan ke arah kami. Seketika aku sadar sebaiknya dia jangan berada di sini saat ini. Bergegas kususul Danu.
“Ada apa, Nu?”
“Kuburan kerabat Pak Sudrajat sudah ketemu, Pak? Kalau belum, aku ingin membantunya,”
“Bapak ingin menceritakan suatu rahasia padamu,”
“Tentang apa, Pak?”
Wiryo membisikkan sesuatu ke telinga Danu.
“Baiklah Pak, aku tidak akan mengatakannya kepada pak Sudrajat,”
“Sudah hampir satu bulan pak Sudrajat mencari kuburan kerabatnya yang tidak jelas keberadaannya. Bahkan sebelumnya sudah tiga tempat pekuburan dicarinya. Dan sekarang di pekuburan ini juga tidak ada tanda-tanda ketemu. Dia sangat sedih. Dia mulai putus asa. Pikirnya jika tidak sampai ketemu, dia merasa telah berdosa terhadap leluhurnya. Dia merasa menyia-nyiakan kerabatnya. Karena itulah aku mempunyai ide kalau bapak telah menemukan kerabatnya itu. Lalu bapak memakai kuburan orang tuamu. Kamu tidak apa-apa, kan? Bapak kasihan padanya, tujuan bapak hanya ingin menolongnya, agar dia tidak semakin merana. Bagaimana pendapatmu, Nu?”
“Ya Allah, Bapak. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak boleh. Tujuan Bapak sangat mulia. Sama mulianya ketika Bapak memutuskan untuk merawatku dulu. Boleh, Pak,”
Seketika aku teringat masa mudaku yang sebenarnya juga kelam. Siapa yang telah mengetahuinya? Namun saat ini perasaanku menjadi tenang, karena peristiwa ini. Mungkinkah rantai kejahatan akan terputus dengan kisah ini? Ataukah justru akan menjadi sebaliknya, karena aku telah dianggap membuat bom waktu yang kelak akan meledak dan meluluhlantakkan semuanya?
* Cerpen ini terinspirasi dari puisi Joko Pinurbo dengan judul yang sama; Mobil Merah di Pojok Kuburan.
* * Petikan puisi Joko Pinurbo, berjudul Mobil Merah di Pojok Kuburan.
Yuditeha: Cerpenis yang punya hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Hujan Menembus Kaca (2011) adalah buku puisinya dan Komodo Inside (Grasindo, 2014) adalah novel pertamanya. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten Karanganyar- Surakarta.