Lpmarena.com, Sebuah drama satir tentang makna pencarian dan pertanyaan besar dalam hidup hadir dalam pentas teater berjudul Persoalan Hidup dan Beberapa Pertanyaan Payah. Disutradarai Lailul Ilham pentas ini merupakan repertoar kedua yang ditampilkan Teater Eska dalam Pentas Tiga Bayangan, Sabtu (2/4), sebagai pemanasan sebelum dilakukanya produksi.
Persoalan Hidup dan Beberapa Pertanyaan Payah, plot dimulai dengan seorang kaya (Habiburrahman) yang berpenampilan kantoran sibuk mempersiapkan diri untuk kerja. Demi kesuksesan hidup menurutnya harus ia jaga. Di tengah jalan perkotaan ia bertemu dengan pemulung (Abdul Ghofur) yang baru saja terbangun dari tidurnya. Pemulung itu menertawakan si kaya dengan hidup yang ia jalani. Hal yang sama pun dilakukan si kaya yang mentertawakan hidup si pengemis yang tidak siap menjalani hidup.
Cerita berlanjut dengan datangnya orang religius (Efendi) yang merasa tidak siap untuk mendatangi undangan ceramah. Namun, ia merasa harus tetap bertanggung jawab untuk mendatangi undangan itu. Konflik pun mulai memuncak ketika pemulung bertanya kepada si kaya dalam dialognya: “Jika hidup yang siap itu adalah kamu? Maka lebih baik mati saja aku? Pikiranku tidak secacat tubuhku, hanya keinginanku yang terbatasi tubuhku! Pikiran orang lain sepertimulah yang membuatku cacat”.
Banyak penonoton yang terfokus pada ending naskah ketika si pemulung, ustad maupun orang kaya kembali turun ke bawah panggung ke tempat si pemulung. Salah satu yang mempertanyakan ending itu dalam diskusi yang digelar seusai acara penonton bernama Fitri. Ia bertanya, “Apakah pesan yang coba disampaikan baik orang kaya, maupun ustad harus kembali kepada rakyat (pemulung)?”.
Ilham sebagai sutradara menjawab tidak. “Ending murni merupakan naskah, berakhir di sana. Adapun dihadirkanya tiga karakter, murni untuk mendatangkan baik berasal dari kelas sosial berbeda mereka memperdebatkan hal yang sama yakni siap dan tidak siap menjalani hidup,” katanya.
Masalah tiga tokoh, bagi Ilham ia tak berpikiran menghadirkan kelas sosial, tapi dari ragam sosial. “Saya tak kepikiran itu yang di bawah miskin, murni tokoh itu muncul dari kondisi sosial yang beragam. Membuat mereka berinteraksi tentang suatu hal yang sama,” tambahnya.
Secara garis besar naskah ini memiliki kekuatan di dalam dialog antar tokohnya. Hal ini wajar, karena panggung adalah salah satu dari teks, penulis naskah sudah mati di sana ketika pentas dipertunjukan. Setiap penonton menangkap pesan masing-masing dari apa yang mereka lihat.
Hanya saja menurut Paox Iben, selaku penikmat merasa penempatan panggung kurang pas. “Pertunjukan di tengah drop, energi yang coba disampaikan aktor tidak mengena kepada penonton,” katanya. Dari sudut pandang estetika pertunjukan sudah menarik, tapi dalam hal semiotika warna biru di kiri atas panggung memiliki pesan yang tidak sesuai dengan pertunjukan.
Reporter: Miftahur Rahman
Redaktur: Isma Swastiningrum