Oleh: M.Faksi Fahlevi*
Tentang mitos singa yang tak lagi melegenda...
Politik dasar atau dasar politik terserah antum menyebutnya apa. Tapi yang penting, singa si raja hutan dari negeri savana tersebut terus menjadi hikayat rakyat untuk mengidealkan sosok pemimpinnya. Tak kalah pentinganya, singa juga sebagai cerita legenda sebagai hiburan pikiran yang lagi “kosong”. Pikiran yang tenang bisa membuat diri terhibur seperti semasa kita kecil dulu, tak penting politik maupun makan sebagai kebutuhan hidup.
Tapi kita lupa, jika cerita adalah realitas yang nyata, sebagai dasar politik manusia. Cerita adalah ruang imajinasi dari terjemahan tak sadar untuk berpolitik. Mari sahabat-sahabati, kanda-ayunda, dan bung-jeng bercerita dengan bijak sebagai orang dewasa, bukan seperti anak kecil lagi yang hanya paham secara fenomenologis tanpa mehami secara aksiologis.
Cerita dasar, dasar politik
Ketika saya masih sekolah dasar (SD), saya diperkenalkan oleh sang guru. Jika singa adalah raja hutan, sedang kancil adalah hewan kecil, penipu yang cerdik. Dengan kecerdikannya ia mampu mengalahkan buaya, seperti diceritakan di dalam banyak cerita anak-anak. Kancil dan singa memang belum bertemu dalam dongeng semasa saya kecil. Tapi kini kancil dan singa bertemu, fenomena sosial baru yang kurasakan hari ini. Yaitu politik kegaduhan.
Singa si raja hutan, hewan jenis mamalia ini jika kita telisik mempunyai kehidupan berkelompok dengan peran masing masing. Singa jantan mempunyai tanggung jawab dalam menjaga dan melindungi sekelompok serta kekuasaanya, sedangkan untuk singa betina mempunyai tugas dalam berburu. Singa betina ini paling hebat berburu dibandingkan dengan hewan lainnya.
Kelebihan lain yang saya ingat dari singa baik betina maupun pejantan adalah kemampuanya untuk mengaum yang bisa terdengar hingga jarak delapan kilometer. Auman singa itu menunjukkan dominasi serta peringatan pada musuhnya. Begitulah sang raja hutan menjaga wilayah dari serangan musuh-musuhnya, ia tidak saling membunuh terhadap mangsanya sendiri. Pemimpin singa betul-betul menjadi representasi dari kehidupan sekitarnya. Ampun pak pemimpin…!! Jangan mangsa kami, karena kami adalah bagian dari Anda, jangan cari popularitas dan keuntungan dari kami.
Singa sebagai cerita, pada akhirnya menjadi teori politik yang menginspirasi banyak pemikir, seperti halnya Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes. Sifat manusia menurut Machiavelli ibarat two sides of the same coin dalam menghadapi persoalan politik. Di mana manusia menggunakan dua cara berbeda, ‘cara manusia’ dan ‘cara binatang’ seperti yang tertulis dalam The Prince.
Sedangkan manusia, menurut Hobbes adalah singa (Homo Homini Lupus), teori ini muncul karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah. Tapi itu semua di masa lalu, sebelum industri membentuk kepribadian manusia yang utuh.
Singa modern: refleksi politik kampus UIN Suka
Singa di savana mulai punah disebabkan pembukaan hutan dan limbah pabrik, dan akibatnya ia semakin buas memangsa manusia yang merusak sekitarnya. Sementara singa kampus mulai kehilangan taringnya walaupun kini di sekitar keberadaanya diganggu oleh musuh-musuhnya. Aneh, padahal singa bukan manusia. Mungkin dia adalah manusia setengah singa dalam setiap bayangan kepalsusan ideologi kapitalisme. Iki absurditas bung DEM!
Saya tidak paham apa yang menjadi penyebab ini semua, kenapa singa begitu lumpuh dan kaku? Meski suara auman atau gaungnya masih nyaring terdengar di jalanan, bakar ban sebagai semangat perlawanan, katanya, untuk menjaga wilayah dan kekuasanya. Begitulah berapa alasan yang kerap kali ia sampaikan ke media ARENA, ungkap singa jantan. Hingga makhluk halus bukan hanya hewan, semuanya berbirit-birit lari ketakutan. Lucunya, tapi tidak pernah ada hasilnya. Memang terdengar klam, tapi “ide kebaikan” tak pernah bohong.
Refleksi sejenak ke sejarah singa dari mitos ke logos. kita sering terheran dengan simbol-simbol mitologi China karena di mana pun di dunia, raja dari segala binatang adalah singa, bukan macan. Konon, menurut legenda China pada zaman dahulu kala, singa termasuk salah satu shio dari 12 binatang dalam kepercayaan masyarakat China.
Karena singa itu terlalu kejam, Dewa Utama mau menyingkirkan singa dari struktur shio. Tetapi Dewa Utama tidak bisa begitu saja melakukannya karena singa adalah raja dari segala raja binatang. Kalau singa mau disingkirkan, perlu binatang baru untuk mengontrol binatang-binatang yang ada.
Pada akhirnya dewa-dewi pun mati. Mitologi China diganti dengan mitologi modern, Cogito Ergo Sum sebagai slogan kehidupan baru. Tokoh yang dilahirkan bukan Descartes melainkan pertama kali adalah si kancil hewan kecil yang mengajarkan pemikiran rasionalisme Descartes. Hinga peradaban rasio ini yang melahirkan industrialisasi kita hadapi hari ini. Singa betina tidak lagi pandai berburu memangsa musuh, tapi beralih pada bakat berburu baju baru serta sandal baru dan Hand Phone baru. Belanja-belanja…!!! Meski setidaknya, belanja juga berburu.
Modernitas telah berjalan jauh, si kancil semakin licik dan semakin berkuasa, baik dalam kuasa pengatahuan maupun peradaban yang dibentuknya. Kematian singa di negeri savana, membuat hutan dan hewan lainya semakin punah karena kehilangan tanah akibat industrialisasi. Mampukah postmodern sebagai potret kehidupan sekarang kembali membangunkan singa dari kematiannya, seperti Nabi Isa menghidupakan orang mati? Ya, itulah yang disebut mitos. Politik kita masih belum ke logos, hanya dari Dema ke Demo
Jika tidak bisa membangkitkan diri dalam kegelapan ideologi tunggal kancil, saya akan lebih suka kekosongan seperti pandangan kaum marxisme utopia, tidak ada pemimpin di dalamnya, yang ada hanya kebijakan sosial berbasis kerakyatan. Oleh Soekarno disebut prinsip gotong royong.
Macan muncul sebagai pembebas atas dirinya dan orang lain, walaupun macan bukan makhluk terpandang dalam dunia manusia layaknya singa. Kini ia perlu menampakkan diri untuk melanjutkan legenda singa yang sudah habis, saya kira tak ada salahnya.
Macan adalah kucing besar, bagian dari keluarga besar spesies kucing. Ia tak segan mempelajari keahlian bertarung meski dari kucing kecil. Justru darinya macan semakin kuat menjadi ksatria gagah berani. Semua binatang yang menantang akan tumbang atau mendapati luka parah. Macan yang selalu menang dalam perkelahian menjadi terkenal karena kepiwaianya. Ia bukan cerminan sikap postmodernt, macan adalah mahluk kritis dan emansipatoris dengan sistem demokrasi terbuka. Ia tidak egois seperti singa yang cenderung ideologis dan masih takut sama seniornya. macan pembelah makhluk dari semua mahluk yang ada di jagat raya ini.
Sudah dulu cerita singa dan kancilnya ya, semoga bermanfaat lain kali tak ceritain lagi tentang nabi-nabi, ambil hikmahnya. Semoga kita tidak seperti singa, apalagi seperti kancil yang denger-denger diam-diam calon walikota Jogja. Jadilah macan yang humanis.
*Penulis aktif di Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS).