Lpmarena.com, German Corner merupakan sebuah tempat tukar menukar informasi, budaya, bahasa, dan berbagai hal tentang Jerman di UIN Sunan Kalijaga. Berdiri sejak tahun 2008, awalnya German Corner hadir berkat kerja sama antara UIN Suka dan Universitas Leipzig terkait pembelajaran Bahasa Arab. Lalu, kerja sama ini berlanjut dengan pengadaan proyek digitalisasi naskah. Di mana naskah-naskah kuno yang sudah tua, yang sudah rusak, direstorasi, dengan tenaga ahli dari Universitas Leipzig.
Seperti yang diceritakan oleh Faqih Masyad selaku Staf Akademik Pusat Bahasa sekaligus pionir berdirinya German Corner mengatakan dari proyek tersebut, muncul inisiatif dari Univeristas Leipzig untuk menjalin kerjasama yang lebih erat. Kerja sama diwujudkan dalam pengadaan buku-buku, materi-materi, dan sebagainya tentang Jerman yang diwujudkan dalam sebuah tempat yang dinamakan German Corner. Saat itu, didukung pula oleh Pembantu Rektor I Sukamto dan Direktur Pusat Bahasa M. Amin, serta Direktur Oriental Institute Eckehard Schulz dan Thoralf Hanstein dari Universitas Leipzig Jerman. German Corner resmi bertempat di Lantai Dua Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga.
“Kerjasama dengan menyelenggarakan seminar, pertukaran dosen, dan pengenalan metode yang diterapkan di universitas tersebut,” ujar Faqih saat diwawancara ARENA di Pusat Bahasa, Selasa (5/4). Di German Corner mahasiswa tidak hanya mempelajari Bahasa Jerman, tetapi juga terjemahan dan program Aupair (Homestay) di Jerman. Kerjasama, juga ada tukar menukar mahasiswa, menyelenggarakan konferensi. Fasilitas yang disediakan misalnya buku-buku dan DVD.
Namun, setelah delapan tahun berdiri, beberapa tahun belakangan ini eksistensi German Corner tidak lagi terdengar. Kurangnya perhatian dari pihak rektorat mempengaruhi perkembangan German Corner. Jejak rekam di beberapa tahun awal selama 2008-2010, masih terbilang aktif hingga sempat dibuka kelas belajar Bahasa Jerman. Akan tetapi sejak tahun 2013 sudah tidak aktif lagi. Ini dikarenakan sumber daya manusia yang tidak memadai, pergantian pimpinan yang kadang kala tidak menyatu, dan kurangnya perhatian dari pemangku kebijakan kampus dalam menunjuk para pihak untuk bertanggung jawab mengurus dan mengelolanya.
“Perhatian dari awal pendiriannya saja bisa dilihat. Di samping itu Sumber Daya Manusia-nya kurang, tidak ada yang dikhususkan untuk menjaga dan mengurusi. Posisi German Corner pun tidak jelas, coba lihat di struktur dan anggarannya juga tidak muncul. Jadi, siapa yang bertanggung jawab itu tidak ada,” tutur Faqih yang dulu lulusan Pendidikan Bahasa Jerman UNY, lulus tahun 2007 itu.
Selain kurangnya perhatian dari birokrat UIN Suka, Faqih juga kecewa lantaran perhatian dari kedutaan Jerman pun itu tidak begitu besar. “Selama ini seperti tidak diperhatikan, ada info atau kabar dikirimi, tapi cuma dibiarkan, padahal kita mempromosikan budaya Jerman, Bahasa Jerman,” kata Faqih. Dirinya juga pernah mendapat beasiswa ke Jerman selama tiga bulan, dari kedutaan Jerman, di sana Faqih membangun jaringan beberapa tempat. Namun, dari pihak kedutaan tidak ada tindak lanjut.
Kebutuhan bahasa
Keberadaan German Corner menjadi satu hal yang positif untuk memperdalam bahasa. Semakin banyak menguasai bahasa maka peluang untuk mendapatkan keilmuan itu juga akan bertambah. Namun, jika peluang tidak berbanding lurus dengan dukungan, maka hal itu dianggap kurang baik. Hal inilah yang digelisahkan Rizki Sodiqin, selaku Ketua Umum UKM Studi Pengembangan Bahasa Asing (SPBA).
“Adalah suatu hal yang kurang baik ketika ada seseorang yang ingin mengembangkan kebahasaan, tetapi itu tidak didukung,” ujarnya saat ditemui di Student Center, Rabu (6/4)
Menurut Rizki, minat terhadap bahasa Jerman itu tergantung kepada pribadi mahasiswa masing-masing. UIN Suka harus menciptakan atmosfer bahasa yang mendukung. Seperti di UIN Malang, untuk mahasiswa baru dalam satu tahun harus tinggal di asrama. Sehingga atmosfer bahasa itu bisa diciptakan. Berbanding terbalik dengan keadaan di UIN Suka. Pusat Bahasa hanya dijadikan sebatas formalitas saja. Terlebih lagi, tidak ada suasana integrasi-interkoneksi kebahasaan dengan pembelajaran. Hanya sebagian dari dosen yang menyinggung pentingnya belajar bahasa asing di pembelajaran keseharian.
Penguatan di internal kampus bagi Riski tentu harus diimbangi dengan membangun koneksi dengan universitas atau lembaga-lembaga di Jerman secara intensif. Sehingga menuntut untuk mempersiapkan dan meningkatkan peminatnya.
Ini diamini oleh Ana Riana, mahasiswa Ilmu Hukum bahwa pengembangan Bahasa Jerman itu penting. Apalagi ini berkaitan dengan pengkayaan bahasa dan keilmuan. Karena ke depannya bahasa sangat dibutuhkan sebagai media penyambung antar bangsa. Termasuk bahasa-bahasa asing lainnya.
Hal senada juga disampaikan Hanif M Ibrahim, mahasiswa Ilmu Hukum, adanya varian bahasa asing yang dipelajari oleh mahasiswa UIN Suka menunjukkan perkembangan dan pengkayaan kebahasaan itu sendiri. Sehingga ada kemungkinan German Corner diaktifkan kembali. “Idealnya, mahasiswa tidak hanya mengerti dua bahasa. Maka pengkayaan bahasa itu penting,” ujar Hanif, Selasa (5/4).
Di Yogyakarta sendiri, ada beberapa universitas yang sudah membuka pembelajaran tentang Bahasa Jerman, salah satunya Pusat Studi Jerman (Pusman) UGM. Menurut Faqih di Pusman orang UGM banyak yang melanjutkan studi ke Jerman. Alumninya juga menjadi pengurus. Namun, di UIN Suka sendiri alumni Jerman yang ada di UIN belum ada yang perhatian dengan German Corner.
Untuk saat ini layanan German Corner, khususnya tentang kursus Bahasa Jerman masih dibuka. Hanya saja Pusat Bahasa hanya melayani kursus kolektif yang terdiri sekitar 15 orang, jika hanya satu atau dua orang Pusat Bahasa tidak melayani. “Saya gak tahu apa kultur UIN kalau kursus itu orangnya memang tidak seperti tempat di luar yang ramai. Kalau ada yang berminat silahkan koordinir rombongan,” tutur Faqih.
Kemungkinan German Corner untuk bangkit lagi masih diharapkan oleh Faqih. Menurutnya Bahasa Inggris sudah tidak wah lagi. “Kadang saya sudah putus asa, tapi ada juga yang mau belajar Bahasa Jerman. Ke depan bahasa itu jadi kebutuhan nanti Pusat Bahasa perannya lebih. Nanti, bahasa-bahasa yang lain orang kan meliriki,” kata Faqih.
Magang: Rodiyanto
Redaktur: Isma Swastiningrum