Oleh: Anisatul Umah*
Seni, kata ini pertama saya dapat saat duduk di bangku sekolah. Saat SD, pelajaran seniku adalah belajar menulis seperti puisi, pantun, dan gurindam. Naik ke jenjang SMP saya menghafal pengertian seni, seingat saya saat ulangan kesenian ada soal yang menanyakan pengertian seni dan jawabannya adalah karya yang estetis dan bermakna, iya, jawaban itu ada di buku LKS. Ujian praktiknya cukup banyak, tapi yang paling saya ingat adalah tari, karena tangan saya kaku untuk mengikuti gerakan jari tangan tarian Jawa seperti ngrayung, nyekiting, nyempurit, ngonto baskoro, boyo mangap, dan nggegem. Menginjak SMA, pandangan seniku berbelok ke arah musik, maklum saja, saya sekolah di madrasah dan setiap bulan puasa selalu ada lomba hadroh dan pentas musik dengan lagu islami.
Nah, sewaktu kuliah saya mulai open mind tentang sejarah seni, khususnya di Indonesia, bahwa ternyata sejarah kesenian sangatlah luas. Hal yang belum saya dapatkan saat sekolah. Berawal dari diskusi seni di sekre ARENA bersama Teater Eska pada Kamis, 21 April lalu, saya akan menuliskan beberapa hal tentang seni.
Periode kesenian selalu berbarengan dengan periode politik. Maka, akan selalu ada keterkaitan antara kesenian dan politik. Kesenian merupkan soft media yang dapat digunakan pemerintah untuk membuat suatu legitimasi. Dengan memasukkan ideologi melalui karya seni, dengan lembut pengaruh ideologi akan merasuk ke masyarakat.
Ada dua narasi besar yang membentuk dialektika seni di Indonesia pascarevolusi ‘45. Pertama, seni untuk rakyat, kedua, seni untuk seni. Seni untuk rakyat adalah kesenian yang bertujuan untuk membangun kesadaran di masyarakat untuk berjuang dan melawan atas ketertindasan. Artinya seni kerakyatan adalah seni yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Seni untuk rakyat di kenal dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat berakronim dengan Lekra yang berdiri pada 1950.
Seniman Lekra dapat kita lihat dari karyanya yang tidak pernah lepas dari kerakyatan. Tokoh yang paling terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Lekra dikenal sebagai seniman sayap kiri Indonesia, karena disebut kiri Lekra dianggap berafiliasi dengan komunis. Demi kepentingan politik rezim Orde Baru, pemerintah membuat hegemoni anti komunis. Ketika hegemoni anti komunis muncul, di mana komunis dianggap sebagai musuh negara, tentu hal ini juga berdampak ke seniman Lekra yang dianggap sama dengan komunis. Anggapan Lekra adalah komunis, menciptakan pandangan bahwa Lekra musuh negara yang harus di bumihanguskan. Pemerintah Orde Baru menggunakan peristiwa G30S sebagai legitimasi untuk menciptakan stigma bahwa komunis adalah atheis dan musuh negara.
Pasca peristiwa G30S 1965, Pramoedya Ananta Tour selaku seniman Lekra menjadi tahanan politik selama 14 tahun. Meskipun menjadi tahanan politik dan dilarang menulis Pramoedya tetap menulis, menghasilkan karya tetralogi yang ditulis di Pulau Buru. Kekerasan budaya dialami oleh seniman Lekra melalui pelarangan buku-buku Lekra.
***
Seiring dengan pelarangan komunis dan Lekra, aliran seni untuk seni muncul. Aliran seni untuk seni memiliki arti bahwa karya seni memiliki tujuan semata-mata untuk keindahan, terlepas dari kepentingan rakyat. Aliran ini bernama Manifestasi Kebudayaan atau biasa disebut Manikebu berdiri pada 1963 dengan tokoh seperti H.B Jassin.
Produk kesenian dijadikan pemerintah Orde Baru sebagai alat untuk melegitimasi kekerasan G30S di mana tiga juta rakyat yang dianggap sayap kiri dibunuh. Cerpen menjadi salah satu media seni untuk melegitimasi. Manipulasi gagasan humanise didasarkan pada konflik psikologis para tokohnya, untuk membuat pembaca bersimpati kepada para pembunuh ketimbang pada korbannya.
Selain Cerpen, media seni lain yang digunakan sebagai alat legitimasi adalah film. Melalui film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer dengan cerita berdasarkan sudut pandang militer. Pemerintah Orde Baru melegitimasi peran politik militer yang mendominasi peran politik dengan Soeharto sebagai pahlawan yang berhak menjadi pemimpin dan melegitimasi pembunuhan massal komunis melalui penggambaran bahwa komunis adalah pembunuh yang sadis.
Film ini menggambarkan bahwa komunis merupakan kekuatan iblis yang harus dihancurkan, sehingga naiknya Orde Baru dijustifikasi sebagai cara pengahancuran kekuatan iblis di Indonesia. Tentu saja dengan stigma ini, pembantaian 1965-966 adalah hal yang lumrah dan memang seharusnya dilakukan demi menghancurkan kekuatan maha dahsyat dari iblis yang menjadi musuh negara.
Seperti yang saya sampaikan di awal, bahwa sejarah sastra selalu berbarengan dengan sejarah politik, ya memang benar. Bahkan terlepas dari kepentingan pemerintah Orde Baru, ada kepentingan lain yang berasal dari ide-ide kebebasan intelektual dan artistic AS, seiring dengan kepentingan ekonomi-politik AS.
Organisasi Congress For Cultural Freedom (CCF) gencar mempromosikan pemikiran kebudayaan barat dengan dukungan Central Intelegence Agency (CIA). Banyak tokoh yang dari lingkaran aksi PSI yang dipengaruhi CCF seperti Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, dll. Termasuk generasi yang lebih muda seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Taufiq Ismail. CCF Juga pernah memberikan beasiswa ke Eropa, pada tahun ’65 kepada Goenawan Mohamad dan Arief Budiman., tentu saja dengan tujuan mendoktrin kebudayaan barat, menyesuaikan kepentingan politik luar negeri.
***
Keberadaan aliran Lekra dan Manikebu masih bisa diraba keberadaanya sekarang. Saut Situmorang dan Goenawan Mohamad menjadi figur dari Lekra dan Manikebu dewasa ini.
Gambaran seni Lekra dapat dilihat melalui media boemiputra yang didirikan oleh Saut Situmorang dan Katrin Bandel, sedangkan Manikebu dapat dilihat dari karya-karya di komunitas Salihara yang didirikan oleh Goenawan Mohamad. Saut Situmorang adalah kritukus sastra dan penyair, sedangkan Goenawan Mohamad adalah sastrawan Indonesia dan salah satu pendiri Majalah Tempo.
Lekra dan Manikebu memiliki medianya masing-masing. Namun, media yang dimiliki Manikebu lebih dominan daripada Lekra. Bisa dirasakan bahwa sastra kanan dan kiri lebih kuat sastra kanan. Bukan tanpa alasan, media menjadi tombak utama yang mempengaruhi seni saat ini.
Ketika membahas tentang kesenian, orang akan merujuk majalah Horizon sebagai standarisasi sastra saat ini. Majalah Horizon merupakan majalah sastra yang berisi sastra kanan. Ketimpangan media, sangat berpengaruh terhadap standarisasi seniman saat ini. Orang baru bisa dikatakan seniman apabila karyanya sudah dimuat di Horizon. Banyak karya seni pinggiran yang belum terjamah untuk di baca masyarakat, karena karyanya tidak ditemukan di media massa.
Akhirnya, tetaplah berkarya. Namun, jangan melupakan sejarah kesenian di Indonesia. Kita perlu tahu adanya ketidakadilan sejarah pada zaman Orde Baru. Terus diskusikan hal ini agar lebih banyak masyarakat sadar sejarah kesenian Indonesia. Agar masyarakat tahu bahwa pernah ada ketidakadilan dalam sejarah kesenian.
Karena sekarang sudah bukan zaman Orde Baru di mana aliran kesenian Lekra dilarang demi kepentingan politik. Kini kita sudah bebas berpendapat, mau berkesenian atas nama rakyat atau atas nama seni. Tapi penting diingat saling kritik dalam sastra harus tetap ada, untuk membangun kesusastraan Indonesia. Sengotot apapun mempertahankan argumen dalam berkesenian sah-sah saja, asal semuanya diselesaikan di ranah seni, bukan polisi.
Daftar Pustaka: Herlambang Wijaya, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Bagaimana Orde Baru Meelegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film), Serpong, Tangerang Selatan: Margin Kiri, 2013.
Gambar: www.humblerooster.com
*Penulis adalah jemaat garis keras LPM Arena