PAGI 19 Februari 2016, Shinta didatangi intel yang mengaku dari Polsek Banguntapan. Intel itu mengatakan setelah solat Jumat, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah akan didatangi ormas. Satu jam berikutnya teman-teman Shinta memberitahu ada broadcast yang mengajak untuk berjihad, untuk menutup pondok.
Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Shinta melaporkan ancaman tersebut ke Kapolsek. Kapolsek pun memerintahkan jajarannya untuk mengamankan Pondok. Sekitar pukul 12.00 aparat sudah berada di lokasi. Tidak hanya Polsek, pada saat itu datang pula Camat, Komandan Rayon Militer (Danramil), dan wartawan. Tak lama, Front Jihad Islam (FJI) datang bersama massanya. “Mereka berkata mau mengklarifikasi tentang fikih waria, mau tabayun, silaturahmi gitu,” Shinta menceritakan. Pada saat itu tidak terjadi kerusuhan karena ada aparat yang menjaga.
24 Februari, Shinta yang merupakan Ketua Pondok pesantren waria Al-Fatah dipanggil ke kelurahan untuk menghadiri rapat warga. Rapat itu menindaklanjuti kasus Pondok Pesanren Al-Fatah. Pada saat itu Shinta tidak diperbolehkan mengajak teman-teman dari LSM dan LBH untuk mendampingi. Pihak kelurahan mengatakan mereka tidak mengundang FJI, tapi ternyata di situ sudah ada 30 massa FJI, lebih banyak dari massa ketika mendatangi Pondok. Rapat warga di kelurahan tersebut juga dihadiri oleh Camat, Danramil, Kapolsek, RT, RW, Pengurus Muhammadiyah, serta warga.
Dalam pertemuan itu Shinta menjelaskan kepada warga yang hadir tentang apa itu waria. Shinta juga menjelaskan kepada warga bahwa ia lahir dan menua di daerah tersebut. Jadi menurut Shinta, warga semua tahu bagaimana masa kecilnya, hingga ia setua sekarang. “Yang namanya waria itu tidak pernah saya buat-buat. Saya juga tidak pernah melakukan perbuatan kriminal.” begitu Shinta menirukan apa yang sudah ia ucapkan saat rapat.
Saat itu Shinta juga menerangkan tentang fikih waria, yaitu fikih yang berisi tentang kebutuhan teman-teman waria tentang bagaimana kedudukan waria di dalam islam. “Kita nggak pernah tahu bahwa fikihnya orang difabel, orang yang memakai kursi roda ketika kursi rodanya menginjak kotoran kemudian dia akan solat apakah sah atau tidak solatnya.”
Menurutnya, orang yang bukan difabel tidak pernah berfikir samapi kesana. Hal ini berlaku juga bagi waria, orang selain waria tidak pernah memikirkan bagaimana perawatan jenazahnya, bagaimana busananya, bagaimana ibadahnya.
Shinta mengatakan bahwa pihaknya tidak bermaksud membuat fikih sendiri, mereka mengkaji hal-hal tersebut dibantu oleh akademisi dan ulama. Mereka sadar bagaimana kemampuan agama yang dimiliki sehingga mereka menganggap bagaimana mungkin mereka bisa membuat fikih sendiri.
Setelah Shinta selesai menyampaikan argumennya, FJI angkat bicara, yang pada intinya menolak adanya waria dengan argmen Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan. Dalam forum tersebut, FJI menuntut agar pondok itu ditutup. Sedangkan dari wakil-wakil kelurahan beserta jajarannya, juga menyatakan hal senada.
***
HUJAN masih mengguyur deras sore itu ketika ARENA mendatangi Pondok pesantren waria Al-Fatah, rabu (23/03). Letaknya berada di gang kecil di daerah Celenan, Jagalan, Kotagede. Dari luar tampak dua buah motor dan sebuah sepeda terparkir di garasi berpintu kayu yang terbuka. Seorang waria yang mengenakan daster putih selutut keluar dari salah satu ruang di rumah tersebut. Waria bernama Nur atau biasa dipanggil Bu Nur itu kemudian mempersilakan ARENA masuk.
Sejarah Pondok pesantren waria Al-Fatah berawal ketika gempa tahun 2006 di Yogyakarta. Saat itu, teman-teman waria berkumpul dan mengadakan acara doa bersama untuk teman-teman waria yang menjadi korban. Dalam doa bersama tersebut teman-teman waria mendatangkan seorang Kiai bernama Hamroli. Doa bersama tersebut akhirnya menjadi pengajian rutin yang dilaksanakan setiap Senin Wage.
Dalam pengajian tersebut, Hamroli mengusulkan untuk tidak sekedar mengaji, tapi belajar lebih dalam. “Kenapa kok kalian mengaji aja? Bagaimana kalau kita belajar juga, belajar bersama. Mengkaji, mengkaji apa kedudukan waria dalam Islam itu seperti apa.” Begitu Shinta mengulangi apa yang diucapkan oleh Hamroli. Sehingga tahun 2008, teman-teman waria pun membentuk Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang bertempat di Notoyudan, dengan Maryani sebagai ketuanya waktu itu.
Maryani meninggal dunia tahun 2014, sedangkan rumah yang ditempati sebagai pondok hanya kontrak, maka Shinta yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua menanyakan kepada teman-teman waria akan dilanjutkan atau tidak pondok itu, teman-teman waria sepakat ingin tetap melanjutkan. Kemudian Shinta yang saat itu menjabat juga sebagai ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo) menawarkan beberapa tempat yang akan digunakan untuk pondok, diantaranya adalah Sekertariat Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Sekertariat IWAYO, serta rumah pribadi Shinta. Atas kesepakatan bersama, April tahun 2014 rumah pribadi Shinta digunakan sebagai Pondok. Ada 42 orang waria dari 223 waria di Yogyakarta yang tergabung di Pondok Pesantren Waria Al- Fatah. Ada yang bekerja sebagai pelayan toko, pengamen, salon, tukang masak, dan lain-lain.
Shinta menjelaskan bahwa tujuan dari Pondok pesantren Waria Al-Fatah sendiri adalah memberikan ruang yang nyaman bagi teman-teman waria untuk beribadah dan belajar tentang agama. Karena menurutnya ketika teman-teman waria beribadah di tempat umum akan merasakan ketidaknyamanan. Adanya pondok juga memberikan dampak positif terhadap teman-teman waria, menurut Shinta teman-teman waria yang tadinya emosional menjadi lebih tenang, yang tadinya galak menjadi lebih santun. Pondok itu juga mencoba membangun interaksi kekeluargaan sehingga timbul rasa kesetiakawanan.
Banyak aktivitas yang dilakukan di pondok, selain solat berjamaah, mengaji, dan belajar agama, mereka juga mengadakan kegiatan sosial untuk memperingati hari-hari besar Islam. “Pada dasarnya kita itu punya tiga pilar besar, pertama mendidik teman-teman waria tentang agama islam, kedua mendidik masyarakat supaya mereka paham bagaimana waria, siapa waria, dan yang ketiga mengadvokasi pemerintah supaya pemerintah memberikan hak-hak waria sama seperti hak-hak warga yang lain, hak-hak warga negara Indonesia.”
Ketika ditemui ARENA, Aditia Arief Firmanto, Kepala divisi Sipol LBH Yogyakarta mengatakan, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah harus dipertahankan karena pondok merupakan sarana pembelajaran bagi teman-teman waria yang ingin belaajar agama, mencari Tuhannya. Ini sudah dilindungi oleh konstitusi maupun di konvenansipil dan politik terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara.
“FJI yang mengatakan ponpes ada miras, jadi tempat karaoke, dan narkoba itu adalah alasan yang mengada-ada dan mencari cari kesalahan saja. Harus dibuktikan dulu apakah ada bukti yang dituduhkan, kalau tidak ada namanya fitnah dan itu melanggar hukum pidana.“ Ucap Aditia.
LBH Yogyakarta ikut mengadvokasi Pondok pesantren Al-Fatah. Beberapa langkah yang sudah dilakukan di antaranya melaporkan kasus ini ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan dan itu sudah dilakukan beberapa bulan yang lalu. Kemudian ke Polsek Banguntapan yang menolak laporan karena adanya ancaman yang dilakukan oleh FJI melalui WhatsApp yang inti dari isi pesan broadcast adalah penolakan dan penyegelan pondok.. Pihak pondok yang didampingi oleh LBH Yogyakarta juga akan melaporkan Kapolsek Banguntapan karena menolak laporan dari seorang warga negara yang membutuhkan perlindungan dan keadilan hukum ke Polda DIY.
***
SETELAH kedatangan FJI, teman-teman waria menjadi tidak pernah datang ke pondok, mereka takut untuk datang ke pondok sehingga pondok menjadi sepi. Bu Nur yang bekerja sebagai tukang masak yang menerima pesanan makanan, belakangan ini mengaku jadi sepi pesanan. Masyarakat takut kalau pesan di waria dikira mendukung wacana lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). “Biasanya sehari ada yang pesan makanan, sekarang nggak. Masyarakat jadi takut.”
Shinta mengatakan sampai sekarang, LBH masih ikut mengadvokasi dan mengawal kasus ini, LBH ikut melaporkan kasus ini ke Komnas Perempuan, Kapolri, dan Komnas HAM. “Bahkan dari BPJ mau datang kesini, Bu Ratu itu menjadwalkan kalau tidak datang kesini, kita mau diundang untuk bertemu dengan Bu Ratu untuk sharing hal ini.“
Waria yang masih berada di pondok saat ini ada empat orang, Sementara teman-teman waria lain beribadah di rumahnya masing-masing. Aktivitas pondok hanya berhenti untuk sementara, sebentar lagi kan bulan puasa dan aktivitas pondok akan tetap jalan.
Bagi Shinta, adalah sebuah ketakutan yang tidak masuk akal jika takut kepada FJI. Jika dibalut rasa ketakutan bagaimana bisa bekerja, bisa beraktivitas. Menurut Shinta, FJI tidak punya hak untuk menindasnya dan teman-teman waria yang lain.
Reporter: Wulan Agustina Pamungkas
Redaktur: Lugas subarkah