Oleh: Doel Rohim*
Dalam perjalanan sejarah, peran pemuda (mahasiswa) sudah tidak bisa kita bantah lagi. Mahasiswa selalau hadir membawa secerca harapan di tengah keruwetan zaman dan ketidakpastian akan kesejahteraan. Momen seperti itu mesti identik dengan apa yang namanya gerakan mahasiswa, gerakan yang melebur dengan rakyat dan bersatu untuk mewujudkan kesejahtran yang ideal.
Namun belakangan ini atau lebih tepatnya setelah heroitas ’98, usai gerakan mahasiswa di Indonesia yang mempunyai trilogi peran dalam memandang fungsi mahasiswa, yaitu, sebagai agent of cange, social control, dan iron stock telah kehilangan jatidirinya di tengah hilangnya musuh bersama kediktatoran Soeharto. Gerakan mahasiswa terpecah belah hilir mudik di tengah animo pasar yang selalu memberi tawaran yang menjanjikan. Akibatnya hilanglah semboyan yang menghantarkan gerakan mahasiswa pada catatan sejarah yang gemilang.
Sungguh ironi memang, di tengah keabsudtan dunia kampus sekarang ini yang hanya menjanjikan sebuah tempat kursus untuk mencari pekerjaan, tak lebih pembodohan yang dilakukan secara masif dan sistematis. Gerakan mahasiswa dirundung nestapa akibat kehilangan orientasi perjuangan yang dilakukan. Aktivis gerakan mahasiswa lebih disibukan dengan agenda politik praktis yang dilakukan dngan pola relasi senior dan junior, sehingga marwah perjungan rakyat tak nampak atau bahkan hilang.
Hal ini diperparah dengan kondisi kampus yang mencerminkan (tak ubahnya) biro penyalur bagi para buruh bersetandar nasional dan international yang ditundukan oleh kepentingan kapital. Hegemoni kesadaran dilakukan oleh instansi pendidikan (birokrasi kampus) melalui indoktrinisasi pendidikan formal yang terlalu isolatif terhadap mahasiswa. Mengakibatkan mahasiswa apatis dengan gerakan mahasiswa, bahkan antipati dengan apa yang gerakan mahaiswa perjuangan. Dengan alasan kuliah empat tahunlah, absensi 75 persenlah, dan apalah-apalah lainnya.
Kondisi gerakan mahasiswa kini juga mengalami pengkerdilan idealisme. Hal ini bisa dirasakan dalam pemilihan konten isu-isu yang diusung gerakan mahasiswa. Dilihat dari bentuk manifestasi politik gerakannya yang lebih memilih isu-isu yang ada hubungan relasi atas kepentingan gerakannya. Mulai dari isu pendidikan, pengusuran lahan, dan isu yang berkembang dalam kampusnya masing-masing. Sehingga kesan eklusifitas antara gerakan yang satu dengan gerakan yang lainnya kelihatan jelas. Hal ini berdampak pada partikular-partikular gerakan mahasiswa yang tidak bisa berjalan maksimal di tengah penyelesaian isu yang mereka angkat, karena ketidakmampuan gerakan mahasiswa membagun koordinasi atas isu bersama yang menjadi satu untuk diselesaikan.
Begitulah cerminan bagaimana gerakan mahasiswa berada dalam kondisi yang memprihatinkan sekarang ini. Keadaan yang mengkondisikan gerakan mahasiswa pada keadaan mati suri, hidup tidak matipun tak mau. Hal ini bisa kita ambil contoh dari gerakan-gerakan aksi yang dilakukan yang lebih bersifat temporal dan non orientatif yang kadang hanya seremonial yang menghabiskan banyak biaya. Terkecuali bagi gerakan yang masih memilih jalur idealis dan trasformatif. Tak banyak memang, tapi minimal.
Momen hari pendidikan ini banyak tugas yang harus dikerjakan oleh gerakan mahasiswa, di tengah kondisi yang kurang lebih kita bicarakan di atas. Dibutuhkan sebuah itelgensia dalam melihat kondisi yang beredar sekarang ini, ketika kompleksitas permasalahan gerakan mahasiswa secara kusus dan masalah pendidikan secara umum sebagai pilar kaum intelektual yang mengapdikan gerakannya pada rakyat yang termaginalkan. Salah satu yang bisa dikerjakan adalah harus adanya sinergitas antar gerakan yang memungkinkan adanya isu bersama yang dapat menjadi pendorong untuk mengumpulkan massa yang sebanyak-banyaknya yang siap bergrilya menghimpun kekuatan perlawanan.
Adanya refleksi atas gerakan juga perlu dilakukan, untuk menrekontruksi doktrin yang mulai lapuk diterpa realita perubahan yang menuntut kontekstualisasi atas strategi yang akan dilakukan. Hal inilah yang kadang mendistorsi pemahaman atas makna refleksi itu sendiri, bagaimana tidak refleksi yang seharusnya digunakan untuk pembacaan masa lalu yang berusaha dikontekstualisasikan di era sekarang malah hanya digunakan untuk mengingat-ingat keberhasilan masa lalu tanpa ada pembacaan yang mendalam dalam melihat realita yng berkembang sekarang. Inkonsistensi gerakan dalam mengawal permasalahan yang ada juga menjadi problem tersendiri, maka dari itu butuh rumusan gerakan yang mempunyai visi kerakyatan yang mempunyai misi yang jelas dalam mengawal permasalahan yang ada.
Dalam Hardiknas kali ini gerakan mahasiswa seharusnya sadar bahwa dirinya ditunggu masyarakat yang mulai bingung mengadu kepada siapa, ketika wakilnya di gedung parlemen sudah tidak bisa diharapkan untuk menampung aspirasi masyrakatnya, gerakan mahasiswalah sebagai jembatan penghubung untuk menyuarakannya.
Dan diakhir tulisan Das Resterlied, Friendich Schiller, sastrawan dari Jerman yang mengatakan bahwa “Hidup yang tak dipetaruhkan, tak akan dimenagkan” menjadi kado Hardiknas pada 2 Mei 2016.[]
*Peulis mahasiswa Sejarah Kebudayaan dan Islam, Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijga.