Oleh: Imroatus Sa’adah*
“Kalau kita nggak kuliah, gimana kita bisa mendapat kerja dengan gaji tinggi?”. Sebuah pernyataan yang sering saya dengar dari beberapa teman. Bukan pernyataan yang salah, mengingat persaingan kerja semakin ketat. Butuh Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk merebut peluang kerja yang semakin sempit. Dan kuliah menjadi salah satu cara yang ditempuh oleh sebagian banyak orang.
Kalau menukil sabda Karl Marx, kerja merupakan hakikat yang sudah ada dalam diri manusia. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dalam bertahan hidup. Untuk dapat bekerja manusia belajar bagaimana dan seperti apa proses kerjanya. Kemudian muncul pendidikan sebagai wahana belajar bagaimana bekerja. Tapi hebatnya kita, di zaman yang serba bayar ini, untuk dapat bekerja saja mesti bayar, apa yang saya sebut sebagai upah kebodohan. Kebodohan kita inilah yang diakomodir melalui sistem bernama sekolah, kampus, dan lain sebagainya.
Pendidikan lahir untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Menciptakan manusia yang berotak jenius yang bisa memajukan bangsa, Indonesia. Bahkan, permasalahan kemiskinan mampu diselesaikan oleh pendidikan. Namun, kenyataannya, kemiskinan menjadi masalah bagi kemajuan pendidikan. Banyak orang miskin yang tak bisa bersekolah karena biaya pendidikan terlampau mahal.
Beruntunglah kita menjadi anak bangsa Indonesia, mempunyai presiden se-sederhana pak Jokowi, sukanya blusak-blusuk (tapi acuh pada rakyatnya yang terblusuk). Beliau telah menciptakan kartu pelajar untuk meringankan biaya pendidikan. Satu lagi program menteri pendidikan, Anis baswedan yang tak kalah heboh, yaitu pendidikan karakter.
Sepertinya bapak menteri kita ini ingin menjawab permasalahan kemiskinan melalui konsep pendidikan karakter. Ingin membentuk rakyatnya, terutama para akademisi untuk bersama-sama menyelesaikan masalah kemiskinan. Namun, perlu kalian tahu, program tersebut hanyalah omong kosong!. Abang-abang Lambe, kata orang Jawa.
Pendidikan karakter yang selalu digembor-gemborkan di seluruh penjuru institusi pendidikan hanyalah cara halus pemerintah untuk melancarkan kapitalisme pendidikan. Pendidikan untuk pasar, bukan untuk rakyat. Pantas saja, banyak mahasiswa yang tujuan kuliah hanya untuk bekerja. Padahal mahasiswa merupakan Agen of Change, mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Bukan hanya tanggung jawab untuk keluarga.
Sayangnya, mahasiswa sekarang cenderung egois. Memikirkan dirinya sendiri. Cepat lulus dan bekerja. Hanya itu yang ingin dicapai. Mereka pantang melakukan segala hal yang dapat menghambat keinginan tersebut. Seperti aksi demo. Selain demo dinilai anarkis, orang yang pernah ikut demo akan sulit mendapat pekerjaan. Itulah mindset yang kini mendarah daging di tubuh mahasiswa zaman sekarang. Saya ucapkan selamat kepada pemerintah, pengusaha serta jajarannya yang sudah berhasil menyebarluaskan mindset tersebut, membuat para mahasiswa jijik dengan demo. Bahkan tak segan-segan mengkutuk setiap aksi yang membela suara rakyat.
Demo hanyalah salah satu bentuk mengapresiasikan kepedulian terhadap rakyat yang tertindas. Melawan pemerintah yang sewenang-wenang. Namun, perlu diingat, demo merupakan cara paling ampuh menghancurkan keserakahan. Berkat demo, Suharto lengser dari jabatannya sebagai presiden. Membuat rakyat bisa bernafas lega. Mereka dapat merebut kebebasannya yang telah dirampas oleh rezim Orde Baru.
Lewat pendidikan karakter, pemerintah memunculkan kembali Orde Baru. Hanya saja caranya lebih halus. Pendidikan karakter dikonsep sebagai pendidikan yang bertumpu pada moral untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Mencetak akademisi yang santun dan berwatak sosial. Itulah konsep yang disiarkan pemerintah kepada nusantara. Namun, kenyataannya pemerintah mencetak akademisi yang egois. Mahasiswa dibuat sibuk oleh aktifitas akademik yang semakin mempersempit gerak sosial. Tugas menumpuk sengaja diberikan oleh pihak birokrat supaya mahasiswa sibuk dengan dirinya sendiri.
Sudah jelas, pendidikan karakter bukanlah pendidikan yang mencetak moral akademisi untuk turut serta mengentaskan kemiskinan. Melainkan, pendidikan karakter mendidik akademisi supaya berkarakter seperti pemimpinnya, serakah dan egois. Acuh terhadap nasib rakyat kecil. Jadi, apa kita masih bangga dan beruntung mengenal pendidikan karakter beserta pencetusnya? Jawablah dengan kesadaran yang sesadar-sadarnya.
*Penulis mahasiswa Ekonomi Syari’ah, FEBI UIN Sunan Kalijaga.