Home - MARJINAL: Wacana Kaum Pinggiran

MARJINAL: Wacana Kaum Pinggiran

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M. Faksi Fahlevi*

Aku nyaris merasa sia-sia, diabaikan olehmu, tak dianggap oleh dunia, tak berarti apa-apa bagi negara…(Indrian Koto)

“Perihal  Cinta dan Kemarahan” begitulah judul puisi yang menjadi pengantar dalam tulisan ini, yang ditulis oleh Indrian Koto, yang diterbitkan oleh  majalah LPM Arena “Kancah Pemikiran Alternatif” edisi terbaru 2016 yang mengangkat tema “Marjinal”.

Marjinal adalah suara keluh kesah dari hilirnya persoalan negeri ini yang secara politik ia adalah kalangan terpinggirkan, dirugikan, dikucilkan, terpojokkan, diasingkan, dan terdiskriminasikan oleh kuasa pengetahuan negara liberal hari ini. Sebagaimana dirasakan oleh masyarakat pinggiran pantai Rembang, yang dilaporkan oleh tulisan Ahmad Jamaluddin berjudul Jaring Kebijakan Menteri Kelautan sebagai menu suguhan pertama.

Di mana nelayan kecil tidak boleh meraup keuntungan lebih, apalagi kekayaannya melebihi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi. Oleh karenanya dikeluarkannya kebijkan Peraturan  Menteri (Permen) No. 2 Tahun 2015: “Pelarangan penggunaan cantrang serta 16 alat tangkap ikan lainnya yang biasa digunakan oleh nelayan.”

Begitulah pemerintah menganiaya rakyatnya. Ia hidup  di dua alam, air dan daratan (amfibia), setelah lama menjadi penguasa di laut, ia juga berkuasa di daratan, tapi ia juga punya cita-cita hidup di atas udara dan bisa terbang seperti elang. Sayang ia tak punyak sayap. Tapi ia manusia yang diberi kelebihan dari makhluk lainnya yaitu berpikir. Oleh karenanya ia buat pesawat, yang sekaligus tempat ia hinggap. Di bagunlah bandara dengan banyak menghabiskan darah dan merampas aset kekayaan petani desa. Siapa yang bisa mencegah ke sombonganya, militer dan bala tentaranya dengan sigap akan memangsa yang mengusiknya.

Marjinal bukan minoritas yang tak punya harga diri, tanah dan air disekitarnya adalah harga mati. Indrian Koto kembali bersyair: “Bersama Chairil; Kami hanya laron, terpanggang tinggal rangka, sayapku terbakar tetapi tidak binasa”, gemuruh perlawanan dan terompet perang kembali dibunyikan, tanda perlawanan sudah dimulai, sebagaimana dilaporkan oleh Imroatus Sa’adah dalam tulisannya Migrasi Burung-burung Besi. Usaha perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Kulonprogo WTT, Temon, atas lahannya yang menjadi sasaran “New Yogyakarta Internasional Airport” sekitar 640 hektar, di antaranya dari lahan cabai, semangka/melon, dan sayur-sayuran.

Pemerintah selalu punya dalil, dengan undang-undang ia seolah-olah menjadi wakil tuhan yang tidak bisa diganggu gugat hukumnya. Akan tetapi bagi rakyat sebaliknya, tanah adalah hukum keberlangsungan hidup: “Ia tidak akan mundur satu langkapun…!!! Sebelum bandara gagal. Lebih baik mati perang…..daripada mati kelaparan,“ seru masyarakat Temon.

Matinya keadilan seperti yang diserukan WTT tidak hanya berdampak pada kondisi desa, kotapun semakin terkepung dengan bangunan tinggi dari belbagai investasi. Pedagang kecil semakin kecil dan terkucil, sastra menjadi ilusi, dan gerakan mahasiswa bagaikan patung besar yang menjadi ikon dari kota terpelajar. Tak ada tindakan, tak ada perlawanan, yang ada adalah mahasiswa jalanan yang menjalankan ritualitasnya di kelas dan jalan panjang sejarah 66 dan 89. Jogja berhotel nyaman, mahasiswapun tak ada nyali untuk melawan. Ia boleh disebut dengan borjuis kecil.

Begitulah peristiwa sekilas tentang Marjinal, yang membuat saya tak bisa tidur suntuk semalaman, hanya sekedar merenung dan berpikir. Dan di tulisan terakhir, akupun sadar sebagai ARENA juga bagian dari orang ter-Marjinal di antara UKM yang berprestasi, kami hanya sibuk diskusi dan buat berita yang katanya orang birokrasi adalah provokasi dan menjelek-jelekkan kampus. Saya ucapkan terima kasih kepada Ahmad Jamaluddin, setidaknya saya sadar jika ARENA tidak berprestasi, dan tidak ikut perlombaan di mana-mana. Cakinya membuat saya tergugah.

Terkhir saya cuma pengen memperkuat pernyataan dari Abdus Somad, di rubrik persma: Menerawang Eksistensi Pers Mahasiswa di Era Digital, bahwasanya ARENA adalah gerakan perlawanan atas tirani yang disuguhkan oleh penguasa, di mana ada ketertindasan “kemanusian”. ARENA akan menjadi pena wacana terdepan yang mejadi tameng rakyat marjinal. Dan bukan pula sebagai lembaga yang  mendidik  anggotanya untuk ikut lomba, melainkan dididik untuk menghardik penguasa dan mendidik rakyat marjinal untuk berkuasa.

 

*Penulis Wakil Pemimpin Umum LPM ARENA 2015-2016.