Oleh: Wulan Agustina Pamungkas*
Mengutip sebuah pernyataan dari John Stuart Mill bahwa “setiap upaya membungkam hak berekspresi, baik terhadap orang perseorangan atau kelompok minoritas tertentu berarti meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi seluruh rakyat.” Sama halnya yang dilakukan oleh pihak birokrasi kampus UAD, pembekuan Persma Poros sama halnya dengan membungkam hak berekspresi, dan juga meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi seluruh warga UAD ataupun lebih daripada itu. Pembekuan tersebut juga mencerminkan kediktatoran pejabat di birokrasi UAD. Alih-alih menunjukan citra yang baik dari kampus, pembekuan semacam ini justru membuat citra yang buruk bagi kampus, menunjukan bagaimana kampus tidak pro demokrasi karena merampas kemerdekaan pers dari Persma Poros. Pembekuan persma sama dengan merampas kemerdekaan pers. Sedangkan merampas kemerdekaan pers berarti meniadakan dan menutup kesempatan pertukaran kebenaran dan meniadakan kesempatan menemukan ukuran yang benar dan tidak benar, yang baik dan tidak baik. Tidak hanya itu, merampas kemerdekaan pers berarti juga merampas kebebasan berkomunikasi, merampas kebebasan berpendapat, merampas kebebasan berpikir, merampas kebebasan menyampaikan dan juga menerima informasi. Sangat disayangkan hal semacam ini bisa terjadi di lingkup akademisi.
Sungguh menggelikan membaca beberapa pernyataan dari pihak birokrasi yang merasa tidak terima dengan pemberitaan yang diangkat oleh Persma Poros dalam buletin Poros edisi magang yang mengangkat “ isu pendirian fakultas kedokteran“ yang berisi tentang, kampus UAD yang saat ini belum maksimal dalam fasilitas, namun tetap membuka Fakultas Kedokteran. Sehingga pihak birokrasi memutuskan untuk membekukan Persma Poros. Jadi teringat sebuah kutipan dari Machiavelli “the end justifies the mean“ (tujuan menghalalkan segala cara) barangkali tindakan ini pula yang dilakukan pihak birokrasi demi mencapai tujuan yang diinginkan, mereka sampai-sampai rela mengkhianati demokrasi dengan merampas kemerdekaan pers dari Persma poros yang seharusnya mereka lindungi. Yah, ketakutan yang beralasan barangkali, pasalnya setelah empat tahun pihak kampus berusaha untuk mendapatkan izin pendirian Fakultas Kedokteran dan baru di tahun ini rencananya izin tersebut akan diberikan, sekali lagi baru “rencana” ! Dan pihak kampus memiliki ketakutan bahwa pemberitaan dari Persma Poros akan mempengaruhi bagaimana tim assessor dapat mencabut perizinan tersebut.
Tidak ada kebebasan pers tanpa demokrasi, pun sebaliknya, tanpa pers yang merdeka dan bebas demokrasi dapat dipastikan hanyalah sekedar demokrasi semu karena di dalamnya bersemayan ke-otoriteran dan diktator. Menjaga kemerdekaan pers sama halnya dengan memperjuangkan kehormatan. Ketika telah mematuhi aturan yang berlaku dalam kerja jurnalistik dengan menaati kode etik jurnalistik dan kaidah-kaidah jurnalistik dalam pembuatan atau produksi sebuah berita, sudah seharusnya dan memang wajib bagi kita (insan pers) untuk mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan yang sudah seharusnya kita miliki. Karena dengan begitu kita telah memperjuangkan kehormatan pers! Peristiwa yang dialami Persma Poros merupakan satu dari sekian banyak masalah yang kerap kali dialami oleh pers mahasiswa. Hal ini merupakan bukti bahwa rupanya pasca Orde Baru tahun 1998 pun pers masih dalam jerat otoritarianisme dan kediktatoran. Lantas formula apa yang tepat untuk mengubah sistem yang senjang ini? Guna mewujudkan sebuah kemerdekaan pers yang bukan lagi sebuah kemerdekaan semu? Barangkali jawabannya hanya lawan dan Revolusi!
Pers mahasiswa mari bersinergi, mari melawan, demi menjaga kemerdekaan pers, memperjuangkan kehormatan!
*Penulis mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Suka dan anggota Divisi Jaringan dan Komunikasi LPM Arena.