Lpmarena.com, Di rentang tahun 2015-2016, muncul kasus-kasus yang membelenggu aktivis pers mahasiswa (persma) di Indonesia. Seperti persma diintimidasi akibat mengangkat isu-isu sensitif tentang ’65, persoalan tambang, atau mengkritik kebijakan kampus. Hal ini disampaikan Abdus Somad, sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dalam acara launching majalah ARENA berjudul Marjinal.
“Pers mahasiswa banyak diintimidasi oleh kepolisian, tentara. Di beberapa data yang saya baca dari kasus itu yang paling banyak tentang intimidasi,” kata Somad di Parkiran Timur UIN Sunan Kalijaga, Jumat (13/5).
Kasus Lentera misalnya, dari kasus tersebut belanjut tak hanya soal majalah yang dibredel, tetapi juga kasus itu telah masuk ke kejaksaan atau meja hijau. Ini berawal dari Berita Acara Pemreiksaan (BAP) kepolisian terhadap tiga orang dari Lentera. “Aktivis persma di Lentera terancam hidupnya di pengadilan. Saat kita menghubungi kejaksaan yang menangani kasus mereka, kejaksaan bilangnya mungkin akan dipanggil lagi,” ungkap Somad, tapi hingga saat ini kasus tersebut masih meggantung.
Somad menjelaskan di kasus lain, kawan persma di Ternate, Maluku dituding tentara, dianggap menyebarkan isu ideologi tertentu. Ditambah lagi kekerasan tidak hanya terjadi secara struktural, tapi juga mulai mengarah ke fisik, seperti aktivis persma ditangkap dan mengalami pemukulan di perut, dada, kepala, dan kaki. Lagi-lagi, kasus tersebut tidak ada tindak lanjutnya .“Dari kasus-kasus itu persma sedang darurat kekerasan. Buat kawan-kawan yang belum merasakan dampak dari kekerasan yang terjadi di persma, kawan-kawan sudah merasakan dengan melihat kenyataan sendiri sangat mengerikan,” ujarnya.
Bagi Somad, sekarang ini baik birokrasi kampus maupun institusi pemerintah telah banyak menyerang persma karena persma cukup ditakuti. Saat ini dan akan datang persma akan mengalai represifitas, karena persma selalu rasa ingin tahunya sangat tinggi dan ingin melakukan perubahan. “Dari sana bekal keberanian dan semangat juang mereka menjadi momok yang cukup mengerikan bagi kampus dan institusi pemerintahan,” kata pemuda yang juga aktif di LPM Poros UAD ini. Di mana di persnya sendiri bergejolak tentang pembekuan dan pembredelan.
Bagus Dwi Danto, musisi yang aktif menyuarakan lagu-lagu kritis dalam kesempatan launching Marjinal juga meggatakan bahwa teman-teman persma lebih objektif dalam meilhat persoalan, berbeda dengan arus media utama yang tidak seberani persma. Danto pun ikut prihatin atas pembredelan Poros UAD. Kampus yang harusnya tempat bersemainya pikiran kritis, malah mengalami tindakan represif kampus. “Kita harus ngomong karena banyak yang harus dibicarakan. Semua punya tanggung jawab ikut berkontribusi dengan apa yang kita bisa. Pena dan tulisan jadi alat yang baik untuk perubahan sosial,” ujar Danto.
Untuk itu Somad memiliki harapan pada kawan-kawan persma untuk bersatu dan semakin berjejaring. “Kita menyadari bahwa tindakan intoleransi semakin marak. Semangat untuk bersolidaritas sangat dibutuhkan untuk saat ini dan masa depan. Ketika ada kasus tidak dikerjakan sendiri,” tutup Somad.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum