WALAU DALAM DOA
Sudahkah kau panjatkan doa?
Pada mereka yang hidup sengsara
Tak punya tempat tinggal
Nasi putih tanpa lauk
Mereka yang hilang dari ramai kota
Diasingkan dari perseteruan pejabat negeri
Sudahkah kau panjatkan doa?
Pada mereka yang meraung kasakitan
Yang dalam sehari tak menyentuh nasi dan air
Menabur duka pada jalan-jalan kota
Meneduh dibawah pohon bila hujan tiba
Kedinginan memangsa mendatangkan kesakitan
Tak punya uang untuk membeli obat
Sudahkan kau panjatkan doa?
Sebab pejuang tidak hanya mereka yang bertarung di medan perang
Mengorbankan sanak keluaga
Mebiarkan peluru menghantam tubuh
Menembus pada tulung-tulang
Meraka yang berdoa pada yang malang dan sengsara
Adalah sama-sama pejuang di mata Tuhan
Mereka yang berjuang dalam pertempuran akan menjadi ingatan yang tak usang oleh ingatan-ingatan manusia
dan yang berdoa pada yang sengsara untuk terbebaskan dari kesedihan
Adalah ingatan Tuhan untuk mengirimnya ke surga
Bersatu dengan mereka yang bertempur di medan perang
Yogyakarta, 2016
PENULIS BUKU “INI BUDI” YANG MENYISAKAN KENANGAN
: Kepada Siti Rahmani Rauf
Beberapa tahun silam
Di bangku sekolah dasar ada kenangan
Yang masih tersisa dalam ingatan
Tentang seorang guru SD ku yang memarahi dengan girang yang menjelajahi kepalanya
Kemarahan melihat aku terbata membaca tulisan setengah buram di papan
I-n-i b-u-d-i                ini budi
Ini-budi                      ini budi
I-ni budi                     ini budi
Bacaan yang memperkenalkan aku pada tulisan yang tak langka lagi ku baca
Bahkan telah ku pahami dan mengerti
Yang sebelumnya harus kutangisi dari ejekan teman sebangku
Aku tak ingin mengira dan meduga
Bahwa pada setiap puisi
Yang dimiliki oleh penyair adalah hasil jelmaan dari bacaan yang dulu mereka bata
Ini budi
Ini ibu budi
Ini ayah budi
Seorang kyai yang mendapat penghormatam lebih dari presiden
Seorang dosen yang menakuti mahasiswa dengan nilai jelek
Takut di demo karena penyampaian materi kuliahnya tak dimengerti mahawasiswa
Para guru yang memrahi muridnya yang tak bisa mengeja tulisan
Pun mereka telah mengenalnya “Buku Ini Budi”
dan jabatan mereka adalah hasil dari jelmaan bacaan-bacaan yang dibata hingga di tangisi
Pagi telah hilang pada kerumunan orang-orang
Menyedikan keranda dengan perbincangan sejarahnya
Ada yang kepasar membeli bunga kamboja
Sebagai petanda kematian
Tak ada yang mengenal kematian
Selain pada rupa yang menua
Dan usia yang telah menghabiskan banyak angka
Jika telah sampai dimana segala yang indah terlewati
Pagi hilang dalam ingatan
Matahari tak mengucap selamat datang
dan selamat tinggal
Senja pun tak kuncup datang dalam helai nafas terakhir
Pun dengan kematian yang datang dalam waktu yang tak diinginkan
Yogyakarta, 2016
CATATAN PERTEMUAN PADA KEKASIH MADURA-JOGJA
Â
Dari Madura-Jogja
Aku membawa kisah
Tentang aroma garam di persampingan jalan, ku bawa untukmu, kekasih
Darahku membeku
Kau alirkan dengan segenap kebahagiannmu
Kucipta doa, kau amini
Kota yang mulai menua
Anak-anak kecil di jalan berwajah luka
Para PKL memikul duka lara
Wakil rakyat saling sikat menyikat
:Si miskin menjadi penonton
Meraung kesakitan di jalan
Â
Hidup adalah pertemuan tentang keangkuhan para cendekiawan, ilmuan, dan agamawan, bahkan mereka yang tak punya pendidikan ikut terlibat di dalamnya
Dan sejauh mana dirimu menerimaku sebagai kekasihmu?
Sedangkan aku si miskin hidup bergelandang
Tapi tak usah khawatir
Aku masih punya hati dan naluri
Yogyakarta, 2016
Rudi santoso, lahir 30 November 1993 di Sumenep Madura. Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Salah salah satu pendiri komunitas Seni dan Sastra Blangkon Art Jogja. Buku antologi puisinya Sajak Kita (2015), Secangkir Kopi (2014), dan Surat untuk Kawanan Berdasi (2016), antologi cerpen muda Indonesia (Gema Media 2015), dan beberapa puisinya telah terbit diberbagai media cetak lokal dan nasional.