Oleh: Doel Rohim*
Bulan ramadhan telah tiba, pada bulan yang satu ini banyak sekali fenomena yang menarik untuk kita perhatikan bersama. Salah satunya adalah menjamurnya ustad dadakan bak hujan di siang bolong, yang menghiasi televisi di hari-hari bulan yang dikonotasikan dengan kesucian ini. Banyak dari mereka menyuarakan tentang pesan-pesan tuhan bagi manusia yang belum menemukan jalan kebajikan.
Dengan dibumbui dengan mengutip ayat-ayat agama yang disesuaikan dengan tema yang telah ditentukan oleh panitia, da’i tersebut membius masyrakat yang secara tidak langsung bukan untuk menemukan jalan kebajikan yang diidamkan. Tetapi, malah menyempitkan pemahaman keagamaan dengan mengibaratkan bahwa agama hanya urusan langit belaka, tetapi bagaimna agama bisa membumi yang selama ini belum nampak menjadi bahan pembicaraan dari para ulama kita. Hal ini menajdi ironis di tengah gegap gempita para da’i televisi yang memamerkan kemewahan berpakaian dengan logat sok bijaksana tersebut.
Tetapi dari apa yang saya sebutkan di atas ada salah satu poin yang perlu kita perhatikan bersama mengenai fonomena yang sedang terjadi tersebut. Di antaranya adalah adanya fenomena tersebut mencerminkan adanya dinamika baru dalam keberagamaan kita. Salah satunya adanya sosok pemuka agama, dalam hal ini adalah ustad televisi telah mereduksi pemahaman kita terhadap apa itu ulama ataupun mubaligh. Dulu masyarakat kita hanya mengenal kiai yang hanya tinggal di pedesaan-pedesaan. Tetapi pandangan itu telah berubah bahwa ulama adalah ustad yang secara serampangan digeneralisir untuk melegitimasi status quo yang ditetapkan.
Harus kita akui memang, pandangan tersebut tidak selamanya benar, bahwa ustad yang ada di televisi tidak bermutu. Namun, tidak bisa disangkal juga bahwa kenyataanya memang begitu adanya. Padahal kalau kita bisa lebih memahami lebih dalam, bahwa dalam piramida pemahaman keagamaan kita, posisi ulama menajadi posisi yang strategis dalam upaya mencapai suatu perubahan. Hal ini tidak bisa kita sangkal bahwa agama masih menjadi ritus yang cukup kuat untuk menggawangi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Tetapi pandangan tersebut akhir-akhir ini hanya dijadikan gunjingan yang tidak memiliki makna yang mendalam. Yang pada kenyataannya ulama hanya dijadikan solusi terakhir dalam segala kebuntuan persoalan yang ada seperti masalah ekonomi, politik, dan keluarga. Yang lebih parah lagi ulama hanya dijadikan sebagai  iklan untuk mendongkrak produk yang dimiliki oleh kaum pemodal.
Hal ini sangat bersebrangan ketika berkaca pada sejarah panjang perjuangan ulama kita. Hampir dalam segala perubahan yang terjadi pada bangsa ini tidak bisa kita lepaskan dari peran ulama. Mulai dari ulama yang sangat radikal, seperti Haji Misbach yang menyuarakan suatu perubahan dengan lantangnya pada masa koloniallisme Belanda. Sebelumnya juga ada K.H. Rifai di daerah Batang yang juga getol menentang penindasan yang terjaadi pada saat itu. Selain itu golongan kiai di daerah Banten yang melatarbelakangi pemberontakan Banten tahun 1888. Dan banyak lagi golongan ulama dari Aceh sampai pedalaman Makasar hingga Maluku yang menyuarakan perubahan untuk masyarakat dalam konteks zaman tersebut.
Hal tersebut membuktikan bahwa peran ulama sangat vital untuk mengkonsolidasikan kekuatan massa untuk melakukan perubahan. Perubahan yang secara fundamental tentunya yang meliputi segala lini. Permasalahan sosial kemasyarakatan dan ekonomi politik yang selama ini masih banyak masalah yang belum juga terselesaikan.
Pada siapa lagi masyarakat menyandarkan persoalannya kalau bukan para ulama yang notabenenya mempunyai legalitas etik yang cukup kuat dan basis massa yang cukup setia. Ketika mahasiswa hanya sibuk dengan dirinya di dalam kampus, sedangkan para wakilnya yaitu birokrat usang hanya duduk nyaman di singgasana kekuasaan melupakan berbagai problem yang dihadapi masyarakat. Hanya pada ulama yang sejatilah harapan perubahan sosial disandarkan dalam mencapai kesejahtraan yang diidealkan. Wallahu A’lam Bishawab. []
*Penulis jamaah ARENA. Mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Suka.