Home - Menuntut Tuhan untuk Berpikir

Menuntut Tuhan untuk Berpikir

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Faksi Fahlevi*

“Manusia itu tidak bebas, manakala tidak berpikir“ ( G.W.F. Hegel)

Semenjak peristiwa 1965 bangsa Indonesia harus berduka cita atas kematian banyak pemikir  besar yang kritis di Indonesia, karena diangap menentang rezim militer Orde Baru. Di saat yang sama pula ruh ketuhanan yang  maha esa terkubur bersama puluhan ribu orang yang terbunuh pada peristiwa G 30 S tersebut.

Setelah peristiwa berdarah 65 tersebut, seolah kita telah merayakan demokrasi yang berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa, karena mereka yang dituding PKI telah dimusnakan, dianggap tidak bertuhan. Tapi dalih pembunuhan tersebut menyalahi asas “kemanusian yang adil dan beradab”. Diakibatkan dengan sempitnya cara pandang mereka memahami ideologi Pancasila yang menjadi prinsip bersama, sebagai bangsa Indonesia, yakni bangsa yang heterogen.

Di sini mari kita luruskan secara seksama pengertian yang dimaksud dengan “Ketuhanan”. Ketuhanan bukanlah suara Tuhan yang datang dari langit dan diterima oleh militer dan borjuis, melainkan karena pantulan cahaya dari agama yang memahami kondisi sosialnya, yang pada akhirnya menjadi ruh yang disebut  Tuhan. Sebagaimana Tuhan menurunkan wahyu pada Muhammad,  bukan atas kehendak Tuhan untuk mengubahnya, melainkan masyarakat Makkah yang jahiliyah-lah sehingga wahyu Tuhan diturunkan untuk menjadi sandaran kesadaran manusia.

Kesadaran bertuhan merupakan konsensus politik antara ruh dengan ruh yang lain hingga menjadi “Tuhan yang esa”. Jika saja ada kelompok bertindak dengan kekerasan fisik, sama halnya ia tidak bertuhan, karena telah membunuh mahluk yang merupakan cerminan kesempurnaan Tuhan.  Oleh sebab itu dalam kitab Bulughul Marom disebutkan, “Dihalalkan bangkai  ikan yang ada di laut, kecuali bangkai manusia”, karena makhluk yang ada di air seperti ikan tidak bisa berpikir maka boleh dimakan. Adapun bangkai manusia wajib dihormati dan jika mati harus dibumikan dengan baik. Bukan ditelanjangi, diperkosa, digorok, dilempar ke sungai, dibuang ke sumur, hingga tak berdaya.

Oleh karena itu, haram hukumnya bagi siapapun saling membunuh antara makhluk, karena kita adalah satu untuk semua, dan semua untuk satu, yaitu kesejahteraan sosial antara sesama sebagai wujud yang satu. Di mana kesadaran dan kehidupannya harus selalu diselaraskan, tidak untuk merusak dan melukai, melainkan untuk menjalankan reformasi baru pada negara ketuhanan  yang berlandaskan pada logika konsensus politik.

Mereka yang tidak mau konsensus secara politik bergegaslah pergi temukan dunia baru, dunia di mana tidak sama sekali  logika dan filsafat digunakan.  Karena Tuhan dan filsafat adalah makna yang sama “kebijaksanaan”.  Dan barang siapa yang  menentang filsafat sama halnya dengan menentang Tuhan. Ia layak hidup di negeri fauna berkumpul bersama “Inggris” dan “Amerika” yang serakah menjajah kekayaan alam Indonesia.

Atas dasar keserakahan tersebut, Tuhan harus kembali bangkit dari keterpurukan sosial, kembali melihat bumi yang ditelan oleh  kemiskinan dan perbudakan ideologi. Maka butuh wahyu baru yakni konsensus artikulatif  untuk membangun performa baru dalam menjalankan kesejahteraan sosial. Merekontruksi sejarah traumatik 65, menjadi kesatuan dari dialektika ide absolut dalam menjalankan kendali normalisasi kebijakan negara yang berasaskan pada ide dari setiap agama-agama dan perwakilan dari warga negara.[]

*Penulis mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga asal Sumenep Madura.