Oleh: Lailatus Sa’adah*
Memasuki bulan ramadan, ada satu tanggung jawab sosial yang mengikat umat Islam setiap kali bulan ramadhan tiba. Kewajiban tersebut ialah mengeluarkan zakat fitrah. Tak sekedar menjadi sebuah ceremonial, kewajiban ini berlaku untuk semua kalangan dan semua angkatan, baik yang baru terlahir di dunia hingga yang meninggalkan dunia ketika perutnya masih kosong sebab puasa. Pemberian zakat, baik berupa uang ataupun bahan pokok ini tidak seenaknya dapat diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh si pemberi. Yang saya ketahui sejak di bangku sekolah dasar ada delapan golongan yang pantas memperoleh harta zakat ini. Siapa saja mereka? Saya yakin kawan-kawan sudah mengetahui nama-nama yang masuk golongan ini. Yang ingin saya tekankan, salah satu di antaranya yakni zakat diberikan kepada kaum proletar atau kaum miskin. Sebagai umat yang taat, muzaki sebutan untuk pemberi zakat tidak akan berani meninggalkan perintah berzakat ini. Terlebih ketika disodorkan kepada mereka perintah zakat dalam sebuah ayat Al Quran dalam surah Al-Baqarah:183 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ketika akhir bulan ramadhan telah tiba, maka lembaga-lembaga pengumpul zakat kian menjamur di lingkungan umat Islam. Baik itu lembaga resmi bentukan pemerintah, atau sekadar lembaga mandiri yang dipimpin tokoh agama masyarakat. Mereka semua berdalih menyalurkan harta zakat pemberi untuk mustahik, sebutan bagi mereka yang berhak menerima zakat. Tujuan zakat bulan ramadhan ini, sepengetahuan saya menjadi pembersih jiwa dan raga agar suci kembali seperti bayi yang baru lahir. Saya pernah membaca artikel tentang kadar pemberian zakat bagi kaum proletar, mereka menuliskan bahwasannya kadar zakat ini disesuaikan dengan hasil pengumpulan zakat dan proporsi penerima zakat di wilayah yang ditargetkan. Jika zakat yang diberikan kepada mustahik ini lebih besar dari kebutuhannya, Hal ini merupakan keuntungan bagi mustahik tersebut. Namun, ketika zakat yang diberikan kepada kaum proletar ini tidak mampu mencukupi kebutuhannya, hal ini menjadi persoalan lain karena kewajiban setiap umat beragma ini telah dilaksanakan.
Perintah zakat ini bisa dikatakan sebagai tindakan pembebasan agama terhadap umatnya dari kesengsaraan yang dianggap membelenggu mereka. Namun, akhir-akhir ini para intelek sering berdebat mengenai peran agama dalam masyarakat yang sebenarnya. Bahwa membaca agama secara material historis benar-benar sangat minim. Bahwasannya saat ini agama sedang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan teoritikal daripada kegiatan praktisinya. Saya kira memang ada benarnya jika dikaitkan dengan ceremonial keagamaan yang sering dilakukan umatnya sekadar untuk memenuhi kewajiban. Seperti halnya yang saat sedang terjadi pada momen ramadhan.
Belum lagi ketika memasuki lebaran, ada hal menarik ketika saya membaca sepenggal kalimat broadcast dari WhatsApp yang saya ikuti berbunyi: “Semua pengamat memprediksi dipastikan di akhir kompetisi, ketupat dan opor ayam akan bertengger di posisi teratas klasemen,” Setelah saya membaca broadcast tersebut, saya berpikir bagaimana sebenarnya sambutan umat Islam menjelang lebaran. Benarkah semua orang Islam berlebaran dengan opor ayam? Bagi kaum menengah opor ayam di hari lebaran tidak akan mempengaruhi anggaran belanja mereka. Kalangan kaum borjuis pun tidak akan keberatan membeli daging ayam. Apalagi sekadar ayam, daging sapi 3-5 kg bukan masalah yang serius bagi kantong mereka. Dalam realitas sungguh tidak adil, ketika semua orang sama-sama berjuang menahan lapar dahaganya selama satu bulan penuh, tetapi upah dari tiap orang berbeda. Lebih tepatnya bukan upah, tetapi obat lelah setelah sebulan berpuasa.
Bagaimana mungkin, agama yang dianggap sebagai praktisi pembebasan bersikap acuh tak acuh pada nasib umatnya. Tentu sebagai umat yang masuk dalam golongan beragama ini tidak akan menerima begitu saja, jika agamanya dianggap membiarkan kesengsaraan umatnya. Kenyataannya, tujuan pembebasan zakat untuk kesengsaraan kaum proletar ini dinomorduakan. Ironis memang, ketika iming-iming opor ayam saat lebaran kian marak dan harapan kaum proletar untuk ikut serta menikmati lezatnya daging petelur ini hanya menjadi angan-angan belaka. Maka jika agama masih ingin dianggap sebagai praktisi pembebasan, perlu adanya tinjauan ulang mengenai tujuan dan praksis zakat itu sendiri. Sekali lagi, ini bukan menyalahkan agama, lebih tepatnya menyadarkan para muzakki akan momen yang hanya terjadi sekali tiap setahun ini. Agar umat beragama tidak terkesan mengedepankan ego daripada menuruti hati nuraninya.[]
*Penulis mahasiswi Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, sibuk kliping data di LPM Arena.