Oleh : Muhammad Faksi F.
Filsafat bukan seni mempercantik kebenaran. Lebih bermartabat menyebutnya “ seni memperburuk kebenaran”. Tapi filsafat bukan dua duanya. (Al Fayyadl)
Kalimat diatas merupakan gambaran sebenaranya tentang apa itu yang disebut dengan upaya pencerahan. Pencerahan yang saya sebut bukan pencerahan yang telah terurai dalam manuskrip dunia barat pada abad tujuh belas. Melainkan pencerahan sebagai proyek besar untuk bangsa indonesia kedepan didalam ilmu pengatahuan. Dimana sebuah era baru yang penduduknya berkendak bebas aktif dalam hal konsensus rasional bertujuan dan dimana kekuasaan dikuasai elite politik perwakilan, dan hukum milik mutlak rakayat sipil.
Suatu kewajiban kita semua saya kira, apabila pencerahan menjadi suatu hal yang kita “Rindukan”. karena ia adalah suasana hati yang kuat dalam berpikir bebas, bertanya kritis dalam pencarian humanistik. Yang jelas rekonstruksi sejarah dan dominasi tradisonal keagamaan yang berselingku dengan korporasi kapitalis dalam tubuh negara wajib untuk kita ceraikan. Karena perceraian adalah unsur proyek terbesar dari pencerahan itu sendiri.
Mungkin kita semua sudah tahu bagaiman proses hubungan rumah tangga ketika bercerai. Jalur hukum adalah mutlak bagi dirinya (di Indonesia), dimana di antara dua pihak saling berpendapat diantara satu sama lain untuk menentukan kebebasannya di jalur hukum. Sedangkan kekuasaan negara oleh penegak hukum adalah menjaga kebebasan individu untuk hidup bebas dan bersosial. Itu yang saya sebut dengan hukum mutlak milik rakyat, dengan jalur consensus penceraian.
konsensus penceraian merupakan konsensus yang membunuh dua subyek, yang bercerai dengan maksud menghidupkan subyek baru . jika pandangan Tuan Tan Malaka menyebutnya “ Gerakan Pikiran, dimana yang seolah-olah bercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan dengan begitu membantalakan penceraian itu”. Akan tetapi buat Marx bukanlah semata-mata gerakan pikiran, melainkan hukum dari apa yang disebut dengan wirkliche logik der wirliche gegenstande, hukum berpikir yang sebanaranya, tentang benda sebenaranya.
Dalam proses penceraian ada dua hal kemungkinan untuk bisa memulai kehidupan yang baru atau yang bisa kita sebut dengan pencerahan. Pertama, adalah destruktif, yaiitu pembumihangusan konservatifisme dalam hal cara pandang dari mitos ke logos. Seperti halnya agama kategoris yang menuhankan ideologi ketimbang tuhanya, dan politik ekonomi kapitalis yang menyengsarakan kehidupan manusia, wajib di ratakan dengan tanah. Karena telah menyalahi humanisme.
Kedua, adalah Rekonstruksi, yang hal ini merupakan adabtasi dari teori evolusi sosial, yang tidak lain adalah upaya penyatuan kategori positif dan asumsi dasar tindakan (makna dan intensionalitas, peran dan norma, kepercayaan dan nilai, dan seterusnya) dengan elemen teori sistem fungsionalis (struktur dan fungsi, sistem dan proses, deferensiasi dan adabtasi dan seterusnya). Disini Jurgen Habermnas melukiskan apa itu “Rekonstruksi” berarti orang memisahkan teori dan menyatukan kembali dalam bentuk baru, agar dapat mencapai tujuan yang dicanangkan buatnya. Ini adalah cara yang bisa ditempuh dalam menangani teori-teori yang perlu direvisi dalam berapa hal, namun masih mengandung daya dorong.
Mendorong Kesadaran Pencerahan
Dari apa yang saya jelaskan diatas tentang apa itu pencerahan dan fungsinnya, tapi yang sangat sulit untuk kita terapkan hari ini adalah upaya mendorong setiap individu untuk sadar akan pencerahan pengatahuan itu sendiri sebagai alat politik nasional. Dan menolak tunduk pemahaman sejarah satu arah yang tidak bisa berpikir kritis dan maju.
Mungkin disini boleh saya menyebut ini adalah kegagalan gerakan dari pra kemerdekaan sampai paska kemerdekaan, yang sama sekali tidak mengkampanyakan proyek pencerahan pengatahuan sebagai trending topik yang perlu di kawal bersama. Mereka semua adalah gerakan prakmatisme sosial yang gagal menerjerjemahkan marxisme sebagai ajaran maupun sayab kanan yang ke-agama-agamaan.
Kita memang dilahirkan di mana rasioanalitas tidak tumbuh subur seperti SDA kita. Yang Pada dasarnya kita memang di ajarkan untuk berperang dengan pedang seperti Wiro Sableng untuk menumpas “kejahatan”. Dalam tubuh wiro tergambar jelas jika ia sama dengan gurunya sito gendeng “sableng dan gendeng” adalah cerminan masyarakat primitif dan tidak punyak kerangkah berpikir rasioanl, akan tetapi ia punyak akal budi untuk menumpas gemerlab dunia hitam.
Sama halnya dengan masa klonial, kita diajarkan berperang dengan menusuk lawan dengan bambu runcing untuk mengusir penjajahan. Orda baru, dan reformasi adalah sama, gerakan moralis yang tidak rasional, hanya sekedar turun jalan tapi tidak bisa meruntuhkan kontruksi wacaca global. Elite politiknya masih mentereng duduk dan menjadi tirani bangsa ini. penyebabnya Karena kita tidak punyak proyek pengatahuan masa depan, bahkan dengan rasionalitas yang minin kita berani membentuk organisasi yang bernamana indonesia.
Gerakan Nasional Pendidikan (GNP) dan Front Perjuangan Demokrasi (FGD) semisal, mereka gerakan prakmatis, dengan tuntutan ruang-ruang demokrasi dibuka dengan selebar-lebarnya, pendidikan murah untuk rakyat, tapi ia tidak berpikir bahwa dengan dimasukkannya anak-anak orang yang tidak mampu bahkan akan membelenggu kesadarannya, dan kodratnya semakin tidak bebas , karena pada dasarnya pendidikan kita masih rapuh tidak punyak orientasi humanistik rasioanl.
Saya tidak menyebut jika gerakan mereka adalah salah, mereka punyak cita-cita yang mulya, akan tetapi mereka terlalu sempit makna, bahwa semua apa yang ia bela adalah bermuara pada ekonomi sebagai kesadaran. mereka memperjuangkan kebebasan ekspresi dan pendidikan murah, agar supaya mereka sekolah di perguruan tinggi yang akesnya adalah perusahan asing. Disayangkan jika cita-cita gerakan pendidikanya seperti demikian. Nahkan, seharusnya Kita tidak bisa lagi banyak berharap pada Kampus-kampus sebagai ruang kesadaran rasional, dan hanya gerakan menjadi harapan menjadi pendidikan tandingan yang menciptakan rasioanalitas dan kajian-kajian kritis emperis. Adapun pencerahan sebagai tujuan akan menciptakan keberanian untuk melawan ketakutan, karena ketakuatan berpikir adalah probelemnya di bangsa kita hari ini.
Pencerahan kita adalah pencerahan penceraian atas nama ideologi, duduk bersama di warung kopi, stelah itu duduki kursi-kursi para bupati dengan mendatangkan aparat Jokowi, bicara satu pokok pembahasan sentral “artikulasi Rasionalitas dan tujuanya,” bukan ekonominya. Karena kekuatan ekonomi bisa maju apabila disokong kuat oleh kekuatan rasional masyarakatnya. Itula pencerahan.
#SavePencerahan
*Penulis adalah Pegiat Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS) dan anggota KMPD