Di kalangan masyarakat Jogja telah terbangun stereotip bahwa mahasiswa papua itu suka bikin onar, pemabuk, dlsb. Kuatnya stereotip ini menyulitkan kehidupan bagi masyarakat asal Papua. Mereka kesulitan ketika mencari tempat tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat umum.
Saat ditemui ARENA di warung pinggiran kampus 2 UPN Babarsari, Franz, salah seorang mahasiswa asal Papua menceritakan pengalamannya berbaur dengan masyarakat umum di Jogja. Ia menuturkan pengalaman saat dirinya mengiktui penelitian di salah satu pasar yang ada di kabupaten Sleman.
Dalam penelitian itu Franz mendapat perlakuan khusus oleh masyarakat di sana. “Ada pandangan gak enak pas dateng ke pasar,” ujar Franz.
Dengan adanya perlakuan-perlakuan semacam itu, penelitian yang seharusnya Franz laksanakan bersama teman-teman yang lain, gagal ia ikuti. “Saat penelitian itu aku gak ikut masuk ke dalam bareng teman-teman,” ucapnya mengingat kembali pengalamannya.
“Gak jadi ikut aku, takutnya malah ganggu proses penelitian di dalam,” tambah Franz.
Belum berakhir dengan kegagalannya mengikuti proses penelitian, perlakuan yang sama ia terima saat menunggu jalannya proses penelitian di luar pasar. “Ya terpaksa aku tunggu di parkiran, malah lebih parah, aku mungkin kelihatan kayak maling di situ, sendirian pula, teman-teman masih di dalam sana,” tambahnya
Franz mengungkapkan bahwa hal yang ia alami juga banyak menimpa mahasiswa lain yang berasal dari Papua, “Dari cerita teman-teman, itu ada yang susah cari kos, interaksi dengan masyarakat, ya macam-macam lah,” terang Franz.
Menurutnya, dalam masyarakat ada kelompok-kelompok yang anti terhadap mahasiswa maupun penduduk yang berasal dari Papua yang tinggal di Jogja, baik itu yang menetap sebagai pekerja maupun sekedar berkunjung ke Jogja untuk berwisata.
Franz menambahkan bahwa, Jogja telah dianggap Papua kedua bagi masyarakat asal Papua, baik mahasiswa maupun pekerja, dengan keramahan dan budayanya. Namun Jogja kini sudah tidak lagi nyaman dengan diskriminasi di dalamnya.
***
Awal kedatangan masyarakat Papua di Jogja di awali oleh pengiriman mahasiswa di tahun 1972, yang kemudian diberikan sebidang tanah oleh Sultan HB IX untuk ditempati. Sebidang tanah itu kini menjadi asrama mahasiswa Papua di jalan kusumanegara, Banguntapan, Bantul. “Menurut data alumni, sejak tahun 1972 mahasiswa asal papua sudah mulai datang ke jogja. Pada saat itu masih belum ada asrama papua, hanya ada tanah yang diberi oleh sultan.” Ungkap Aris Yehimo, presiden mahasiswa papua di Jogjakarta saat ditemui di asrama mahasiswa Papua, jum’at 13 Mei 2016.
Aris menjelaskan bahwa pada awalnya hanya ada komunitas biasa, yaitu Jawiyapa (Jaya Wijaya Papua), sebagai wadah bagi mahasiswa asal Papua yang ada di Jogja kala itu. Kebanyakan mahasiswa yang dikirim berasal dari kabupaten Nadire, Timika, Panai, Wamena, dan Jayapura. Jumlahnya masih sedikit kala itu, yang kebanyakan mengambil jurusan ilmu pemerintahan dan ilmu hukum.
Jumlah mahasiswa asal papua di Jogja mencapai ribuan dan pertumbuhannya terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini tercatat jumlah mahasiswa papua sekitar 7000-8000 mahasiswa dan sudah merata dalam pengambilan jurusan, baik ilmu kesehatan, ilmu keguruan, ilmu hukum maupun ilmu pemerintahan.
Peningkatan yang signifikan ini terjadi karena adanya dorongan olehpara alumni yang kembali ke daerah kepada anak-anak papua yang ingin melanjutkan pendidikan, terlepas dari program pengiriman pelajar yang diadakan oleh pemerintah daerah.
Dari sekian banyak masyarakat asal papua yang berada di jogja, sebagian besar dari mereka mengalami diskriminasi oleh masyarakat jogja seperti apa yang telah dialami oleh Franz.
Stereotip yang berkembang dalam masyarakat menguat dengan terjadinya kasus cebongan, kasus pengeroyokan atas anggota Kopasus oleh orang-orang yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang terjadi di Sleman pada Maret tahun 2013.
Aris juga menambahkan bahwa masyarakat umum masih menyamaratakan orang-orang yang berasal dari daerah timur adalah warga Papua saja, “Masyarakat di sini tidak bisa bedakan, mereka taunya ya orang timur itu orang papua.”
Hal ini juga diperburuk dengan adanya informasi yang tersebar di jejaring sosial, melalui WhatsApp atau pesan SMSpada bulan April 2016 tentang adanya kasus kriminal yang terjadi di sekitar asrama papua yang terletak di jalan kusumanegara, Banguntapan, Bantul.
Menurut Aris, selama ia menjadi pengurus dan tinggal di asrama papua tidak pernah ada tindak kriminal yang terjadi, “Selama jadi pengurus, disini aman-aman saja, gak ada kasus, baik dari kami ataupun masyarakat sekitar,” jelas Aris.
Informasi yang termakan oleh masyarakat ini berdampak negatif dan menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat umum sendiri, salah satunya adalah Subagyo, salah seorang pedagang di sekitaran jalan kusumanegara. “Pas ada kabar kayak gitu yo khawatir jelas, apalagi sini dagang sampai malam,” kata Subagyo.
“Abis dapet kabar kayak gitu, takut juga, malah terpaksa muter atau lewat jalan lain kalau pas pulang malem,” tambah Danu, salah seorang warga Sokowaten, Banguntapan.
***
Stereotip yang terbangun ini berdampak pada masyarakat asal Papua maupun masyarakat umum di Jogja dalam kehidupan sosial keduanya.
Masih ada ketakutan dalam masyarakat umum ketika berinteraksi dangan masyarakat asal Papua, menurut Susilo, salah seorang warga sekitar STPMD “APMD” Yogyakarta mengatakan, “Ya kalau anak-anak mahasiswa Papua sini, banyak yang sudah bisa bergaul di masyarakat. Tapi kalau saya sendiri sih ya masih agak jaga jarak sama mereka,” jelasnya.
“Ya agak takut sih kalau ketemu orang-orang timur, bawaanya takut aja, mungkin karena perawakannya yang kayak gitu, agak serem sih kalau belum kenal banget mah,” tambah Aminah, salah seorang warga Baciro, Banguntapan.
Masyarakat yang terpengaruh kuat oleh stereotip, lebih keras menanggapi kasus ataupun kabar yang berkaitan dengan masyarakat asal Papua, “Kalau mau jadi perusuh ya jangan tinggal di Jogja,” ucap Andri, salah seorang warga Baciro, Banguntapan.
Meski demikian, beberapa orang Jogja lebih arif menanggapi kabar ataupun kasus yang terkait dengan masyarakat asal Papua, salah satunya Marseno, warga Sokowaten, Banguntapan. Ia mengatakan bahwa tidak semua orang yang berasal dari daerah timur baik itu Papua atau manapun adalah perusuh, pemabuk, atau pembuat onar, “Tidak semua orang timur itu bertindak negatif, masyarakat sini juga ada yang gak bener kelakuannya, orang itu kudu bener-bener kenal, gak bisa disamakan semua,” ucap Marseno.
Untuk meredam stereotip yang semakin kuat di masyarakat, pihak mahasiswa papua mewacanakan kedepannya akan mengadakan beberapa agenda bersama masyarakat. “Ada kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan untuk upaya mengurangi stereotip. Tapi saat ini kami masih konsolidasi di internal kami dulu, jadi kalau ada dari kami yang buat onar, kami tegur dulu, kalau tidak bisa, kami beri pukul mereka, toh kalau tidak sadar juga, terpaksa kami pulangkan mereka ke Papua.” Kata Aris.
Reporter: Ilham Habibi dan Mar’atus Sholihah
Redaktur: Lugas Subarkah