“malam telah tanak, sampai kepulan ke berapa lagikah kita akan mengemas mimpi, memilin kenangan-kenangan yang patah, juga merapalkan doa-doa yang sumbang? tidakkah kau belajar pada pohonan yang mengacungkan alif ke langit, lalu mengekalkan lam ke akar-akarnya dan setiap jengkal batang, lalu semesta mendengungkan mim lewat daun-daun yang jatuh satu-satu menciumi pipi tanah”
Lpmarena.com, Penggalan puisi di atas merupakan puisi karya penyair kelahiran Brebes, Dimas Indiana Senja berjudul Nujum. Lima puisi Dimas berjudul Nokturno 1; Nokturno 3; Lengkung; Nujum; dan Kudus dibahas dalam diskusi sastra PKKH UGM bertema “Nokturno”. Diskusi dilaksanakan di Hall PKKH UGM, Kamis (23/06/2016). Menghadirkan penulisnya langsung dan dua pembahas.
Sastrawan Slamet Riyadi Sabrawi (pembahas I), mendedah tiga puisi Dimas. Dalam puisi Nokturno 1 tema sunyi yang dibawa Dimas, di Nujum bagaimana Dimas dengan ringan bicara Ali-Lam-Mim, dan di puisi Lengkung tentang masalah transenden, ini terkait kepengarangan Dimas sebagai seorang santri. “Kelebihan Dimas adalah bagaimana mengolah ini menjadi berbagai macam imaji,” kata Slamet.
Ada dua penyair yang berpengaruh dalam kepenyairan Dimas menurut Jalu Norva Ila Putra pembahas II, yakni Abdul Wachid B. S. dan Arif Hidayat. Ini ditunjukkan dari gaya penceritaan yang romantis. Jalu menambahkan, dalam lima puisi yang didiskusikan entah sengaja atau tidak, selalu diawali dengan penggambaran terhadap waktu. “Malam jadi dominasi. Selain waktu, kondisi juga digambarkan dengan detail,” ucap Jalu.
Selain itu Dimas menggambarkan apa yang dia lihat dan rasakan dengan runtut. “Mengingat kemarin yang dikatakan Cak Kus, ada penyair menulis seperti melompat-lompat nggak ada jembatan. Tapi di sini Dimas menuliskannya dengan runtut,” kata Jalu yang juga mahasiswa S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.
“Nujum” dalam Islam dianggap sebagai perbuatan yang kurang islami. Namun bagi peserta diskusi bernama Rolland mengartikannya berbeda. “Saya pernah berasrama, tapi di Katolik. Konsep nujum berarti sesuatu yang memberi inspirasi atau nasihat. Ketika saya baca puisi Nujum, saya tidak menemukan sesuatu yang meginspirasi atau nasihat. Malah ini kayak orang curhat,” kata Rolland.
Menanggapi Rolland, Dimas menjelaskan Nujum dibuat ketika malam tahun baru di Bukit Bintang. Nujum lebih berarti perbintangan, ilmu falaq. “Banyak hal yang ingin saya sampaikan. Saya menyampaikan sindiran di tahun baru, berapa perawan lagi yang akan tanggal?” ungkap Dimas reflektif.
Reporter dan Redaktru: Isma Swastiningrum