Oleh: Khairul Amri*
Bukan main sulitnya hidup tanpa catatan sejarah. Hendak berbuat lebih, tapi terbata-bata, takut salah, dan boleh jadi keliru memahami kenyataan. Bertanya yang muda kepada yang tua tentang hakikat nama suku dan asal usulnya. Tidak ada yang mampu tawarkan jawaban meyakinkan. Orang tua pertama jawab ini, orang tua kedua jawab itu. Begitu seterusnya. Hanya mampu menerka dan menerka. Tidak lebih. Sayangya, terka-menerka tanpa pembuktian tidak bisa hantarkan manusia pada gerbang kebenaran. Tabiatnya selalu seperti itu.
Sebab ketidaktahuan sejarah, di ruang pendidikan, yang muda diajari sejarah yang bukan sejarahnya sendiri, berkenalan dengan tokoh yang jauh dari kehidupannya, sementara sejarah sendiri luput dari perhatian. Peristiwa silam dan semua yang ada di dalamnya satu-persatu pergi. Beberapa tetap bertahan dan berubah; tradisi, saksi bisu, dan saksi hidup. Sebagian, kalau bukan kebanyakan, meyakini tradisi suatu keharusan, kurang, bahkan tidak sempurna hidup bila ditinggalkan.
Juga yang bertahan sementara adalah saksi hidup berikut pengalamannya. Orang tua duduk menjadi raja peristiwa. Sudah berumur makanya banyak pengalaman. Yang muda tentu kurang banyak pengalaman. Masa silam tidak banyak ia ketahui, cuma sesekali dengar hikayat leluhur di alam terbuka. Masa yang ia alami saja yang kuasa ia ceritakan. Sebatas itu. Ajaran dan capaian makna silam tersimpan dalam benak orang tua, menghilang bersamaan dengan datangnya kematian jika tak tercatatkan.
Ya, orang tetap bisa hidup tanpa banyak tahu sejarah. Tetap bisa cari kerja, berkeluarga, dan bepergian ke luar kota. Baru akan tercengang saat tahu bahwa ada negeri yang sedemikian rajin catat sejarah, belajar darinya, kemudian mencipta. Ketika ditanya dan diajak bicara asal-usul serta lainnya kuat dugaan akan sulit memberi jawaban. Beda pengalaman tidak jadi urusan. Perjuampaan dua pengalaman yang timpang kualitasnyalah yang jadi pemicu persoalan.
Bagaimana bisa memberi jawaban kalau buta kenyataan sosial otentik, satu lagi cacat  akibat gaibnya rekaman sejarah. Jika semua hal terkait manusia, yang pernah ambil bagian dalam ruang dan waktu, tidak terbatas pada peristiwa besar dan agung, disertakan sebagai bagian dari sejarah, maka benar kiranya manusia tidak bisa lepas dari sejarah.
Atas dasar itu, manusia hidup dengan sejarah. Segenap benda di sekelilingnya merupakan benda sejarah. Sejauh pengamatan, mendekati kepastian, bahwasanya tidak ada pemaknaan tunggal atas benda sejarah. Seorang menilai fungsi tertinggi koran sebagai sumber informasi, lainnya sebagai pembungkus nasi. Tergantung bagaimana sejarah membentuk penilaian masing-masing. Benda sejarah bisa bertahan lama, pemaknaan atas bendanya yang berangsur berkurang lantas raib ditelan zaman.
Dalam keterbatasan, hanya daya cipta yang mampu jadi tumpuan. Tapi bukankah kualitas daya cipta juga ditentukan oleh  semesta sejarah? Alhasil, pemikiran dan rencana pada akhirnya rapuh, kalau bukan patah, bila sejarah tidak dilibatkan. Artinya, pemikiran dan rencana gagal melayani kehendak.
Alamat baik bagi siapa saja yang memiliki banyak catatan sejarah. Dengannya manusia bisa ‘kembali’ ke masa silam, masa yang tidak ia alami. Dengannya pula manusia mampu mengatasi tubuhnya yang enggan mengikuti kehendak melewati kemestian. Hukum alam memang tidak membolehkan tubuh merasakan langsung peristiwa lampau. Tetapi lewat catatan sejarah, pikiran bisa safari kemana-mana, tidak kena pembatasan, lagi pula lapang rencana kerja.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.