Home - Dilema Kampung Halaman

Dilema Kampung Halaman

by lpm_arena

Oleh: Doel Rohim*

Masa liburan telah tiba, semua orang berbondong-bondong kembali ke kampung asalnya. Kegitan yang  sering kali disebut dengan mudik bak kebudayaan yang sulit dihindarkan dari masyarakat kita. Ketemu sanak sudara bernostalgia bersama menikmati asrinya desa menjadi salah satu kenapa alasan kebudayaan pulang kampung menjadi sulit ditinggalkan. Bayangan tentang kearifan lokal dan asrinya lingkungan pedesaan sangatlah indah bagi sebagian besar masyrakat metropolitan. Setelah beberapa lama disibukan dengan kegiatan dengan intensitas yang tinggi dengan lingkungan yang penuh polusi, ke-asrian dan kearifan kampung halaman menjadi magnet yang sudah menjadi tujuan.

Begitu indah bayangan kampung halaman seperti yang disebutkan di atas, tetapi semunya telah berubah. Perubahan sosial masyarakat yang sulit dihindarkan menjadi alasan kenapa kampung halaman tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Dalam pratiknya perubahan dalam masyrakat meliputi dua aspek, yaitu kultural dan struktural,  yang berimplikasi pada bagaimana masyarakat bersikap dan memegang nilai-nilai kearifan lokal. Masyarakat pedesaan yang lebih diidentikan dengan hal yang bersifat konservatif dan tradisional yang selama ini memegang erat nilai-nilai kearifan lokal,  pada akhirnya juga  sulit menghindari arus perubahan yang sedang terjadi, karena memang perubahan merupakan suatu kewajaran dalam dinamika sosial.

Perubahan dalam masyarakat pedesan, hal nyata yang dapat kita sanksikan tersebut adalah perubahan dalam bidang teknologi yang sudah demikian pesat berkembang di masyarakat. Mulai dari trasportasi dan pola komunikasi. Belum lagi perubahan yang terjadi pada tataran etik seperti nilai-nilai moral keagaman ataupun interaksi kebudayaan yang biasanya sulit kita pisahkan dalam masyarakat pedesaan. Itu semua hanya tinggal cerita lama yang tergerus oleh zaman, bahwa dulu di desa ada ini itu yang sekarang mulai ditinggalkan.

Terjadinya perubahan dalam masyarakat bagaimanapun juga dilatarbelakangi adanya interaksi antara masyarakat perkotaan dan masyarakat desa. Interaksi tersebut bisa saja melalui teknologi yang memberi pengetahuan baru terhadap masyarakat desa tentang pesatnya peradaban di luar dirinya. Tak pelak dari interaksi tersebut menciptakan modernisasi yang sudah menjadi hukum dari sebuah perubahan.  Dari modernisasi itulah transformasi sosial mulai terjadi pada masyarakat pedesaan, atau bisa kita sebut dengan pengkotaan masyarakat pedesaan.

Dari modernisasi tersebut perubahan secara signifikan terjadi pada masyarakat pedesaan, mulai dari bentuk fisik maupun non fisik. Dari bentuk fisik kita bisa lihat dengan menjamurnya bangunan bagunan semi modern yang sudah tidak lagi bedasarkan akar kebudayaan lokalitas masyarakat setempat. Hal ini bisa jadi diakibatkan dari kapitalisasi produk-produk yang disebar luaskan melalui teknologi komunikasi yang berkembang.  Intensitas masyrakat pedesaan  dengan sumber informasi kapital yang disebarkan secara masifpun bisa menjadi penguat bagaimana paradigma masyarakat juga cenderung  terbawa oleh konstruk pemikiran yang diinginkan oleh para kapitalis tersebut.

Fenomena  konkrit yang dapat menjadi contoh, di pedesaan yang terjadi dihampir seluruh Indonesia adalah berkembangnya pembelanjaan modern yang berbentuk franchisee seperti Indomart dan Alfamart yang sudah menjadi tren baru dari masyarakat pedesaan. Hal ini seperti yang dikatakan Max Weber yang menyebutnya sebagai disenchancnet of the world yang mana penyeragaman antara desa dengan kota yang mengakibatkan something special yang hilang pada masing-masing entitas desa yang ada.

Hal di atas baru perubahan yang terjadi dari bentuk fisik, dan dari bentuk perubahan non fisik kita bisa lihat dari pola interaksi dan komunikasi yang terjadi pada golongan muda di pedesaan. Secara fisik golongan muda berusaha memisahkan diri dari golongan tua yang dianggapnya tidak sejalan dengan arus modernitas yang berkembang. Dari hal lain kita bisa lihat dari bentuk pakaian yang mana golongan muda lebih cenderung berpenampilan trendy, sedangkan golongan tua berpenampilan alakadarnya idealnya orang yang ada di pedesaan.

Gambaran singkat di atas pada akhirnya menjadikan kita mengerti bahwa transformasi sosial menjadi hal yang nyata adannya. Dari situlah kita memahami bahwa kondisi yang disebutkan di atas mau tidak mau menjadikan sekat antara desa dan kota semakin tidak kentara. Pasalnya kondisi desa sudah tidak lagi tempat yang steril dari hegemoni kapital yang begitu kuatnya. Padahal desa yang kaya akan kearifan lokalnya seharusnya dapat digunakan sebagai filter akan arus modrenisasi yang membabi buta.

Begitulah gambaran kondisi kampung halaman kita sekarang, bukan sendi-sendi kearifan lokal yang kita dapatkan. Namun, budaya baru yang dipaksakan untuk diterapkan hanya untuk memenuhi kebutuhan beberapa golongan. Pulang kampung halaman (mudik) pun tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Selain bertemu sanak sudara, di desa nanti kita bisa mendapatkan pelajaran yang tidak dapatkan di perkotaan, hanya isapan jempol belaka. Sebab desa sudah kehilangan identitasnya, sebagai pertambatan dari kejenuhan masyarakat metropolitan akan jati diri sebagi manusia.[]

*Penulis pengamat pedesaan yang tinggal di sebuah pelosok desa di Pati.