Home LIPUTAN KHUSUS Mencari Demokrasi Kampus

Mencari Demokrasi Kampus

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Dilantiknya Yudian Wahyudi pada 12 Mei 2016 lalu sebagai rektor definitif UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin masih meninggalkan pro dan kontra terhadap sistem pilrek yang baru. Sistem pilrek tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) 68tahun 2015. PMA ini merupakan berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian rektor di Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan.

PMA ini turun menggantikan PMA 11 tahun 2014 pasal 5 yang mengatur pengangkatan rektor melalui 4 tahapan, yakni penjaringan bakal calon dan penyaringan calon rektor yang dilakukakn oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh rektor. Hasil penyaringan ini kemudian diserahkan pada Senat untuk diberikan pertimbangan. Kemudian senat melakukan pemilihan calon rektor melalui rapat tertutup yang menghasilkan tiga calon berdasarkan dukungan senat. Tiga calon tersebut selanjutnya diberikan pada Menteri Agama setelah mandapat pertimbangan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kementrian Agama.

Namun dengan PMA yang baru ini, kewenangan senat dalam memilih tiga calon rektor dialihkan kepada Komisi Seleksi. Hal tersebut diatur dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa menteri membentuk Komisi Seleksi untuk melakukan penyeleksian calon rektor/ketua yang ditetapkan melalui keputusan menteri, dan oleh komisi ini calon rektor dapat diuji kecakapannya.

Muhammad Chirzin, Sekretaris Senat Universitas, mengaku pihak senat merasa keberatan dengan pasal 6 tersebut. Dia menyatakan  bahwa senat-senat dari UIN Jogja,  Aceh, Riau, Jakarta, Bandung, Makasar Banten, dan Surakarta, bersepakat bahwa PMA tersebut bertentangan dengan UU Dikti Nomer12 tahun 2012 bertepatan dengan pasal 6 huruf b, yang menyatakan bahwa perguruan tinggi dijalankan dengan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.

Dia  juga mengisahkan Azyumardi Azra mantan rektor UIN Jakarta dan mantan menteri agama profesor Malik Fajar yang menolak  permintaan menteri untuk masuk Komisi Seleksi karena hal ini dinilai tidak demokratis. Sebab, Senat yang semula memiliki wewenang untuk memilih calon rektor kini dialihkan kepada komisi seleksi. Alhasil, tidak ada pemilihan rektor di kampus.

Pada 29 Februari lalu senat melayangkan surat terhadap presiden RI berisi dugaan pelanggaran berat  yang dilakukan oleh menteri agama terkait PMA 68 yang dikeluarkannya.

Beberapa poinnya antara lain, PMA 68 dinilai bertentangan dengan UU DiktiNomer 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, tindakan menteri membentuk Komisi Seleksi yang berdasar pada PMA 68telah mengintervensi pencalonan rektor yang merupakan domain otoritatif Senat, dan mengabaikan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI.

Sementara itu Dirjen Bimbingan Masyarakatan Islam Kementrian Agama, Machasin menjelaskan bahwa sudah disosialisasikan sistem pilrek ini bertujuan untuk mengurangi bobot politik dalam tubuh kampus. Sebagai mantan Direktur Perguruan Tinggi Islam, Machasin mengaku mengetahui bahwa dengan sistem pilrek yang lalu, pada banyak tempat calonrektor yang diajukan pada menteri adalah yang mendapatkan dukungan dari mayoritas senat. Tapi tidak berdasarkan uji tes. Sehingga yang terpilih bisa jadi bukan yang terbaik.

Dia juga membenarkan pernyataan Nizar Ali bahwa banyak Guru Besar yang batal mencalonkan diri jika tidak mendapat dukungan di senat. “Orang seperti Pak Yudian kalau pemilihan senat nggak bakal lolos,” ungkapnya pada Sabtu 28 Mei 2015 saat ditemui ARENA di kediamannya.

Menurutnya, salah satu motif dukungan senat adalah kepentingan. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan organisasi atau yang lain. setelah rektor dilantik, jabatan-jabatan akan dibagikan kepada kelompok yang mengusungnya. “Jadi persis seperti partai,” katanya.

Dia juga menjelaskan asas demokratisasi kampus tidak harus selalu berarti satu orang memberikan satu suara atau one man one vote. Dan PMA ini mengubah sistem pemilihan rektor yang tadinya berbentuk ileksi atau dukungan menjadi seleksi. Dengan ini, guru besar yang tidak mendapatkan dukungan dari senat pun bisa terpilih asalkan memiliki kecakapan yang lebih dibanding kompetitor lainnya.

Bertentangan dengan itu, Chirzin menyatakan bahwa asas demokratisasi dan otonomi kampus yang tercantum dalam pasal 6 UU Dikti Nomer 12 tahun 2012 ialah rektor dipilih oleh civitas akademika, bukannya oleh menteri. “Apa salahnya demokrasi one man one vote untuk pemilihan rektor oleh anggota senat? Pilpres saja begitu,” ungkap dosen Prodi Ilmu Al qur’an dan Tafsirini.

Rektor UIN Ar Raniry Aceh, Farid Wajdi Ibrahim menyatakan bahwa pendapat umum mengatakan PMA 68 dinilai mengancam otonomi dan semangat demokratisasi kampus. Hal itu kemungkinan berkaitan dengan era reformasi dan demokrasi hari ini. Hampir semua jabatan dari tigkat desa hingga pemimpin negara dilakukan dengan bentuk pemilihan demokrasi liberal itu.

Sementara sebagai sentral pembelajaran demokratisasi suatu negara, sangat wajar jika di dalam kampus dihidupkan semangat berdemokrasi. Terlebih di kampus merupakan berhimpunnya para penganut berbagai teori.

“Tentu sangat layak dunia kampus merupakan tempat berkembangnya teori dan sekligus uji coba demokrasi,” kata salah satu guru besar yang mendorong adanya penyempurnaan PMA 68 kepada ARENA saat dihubungi melalui WhatsApp pada Selasa 28 Juni 2016.

Politik asosiatif

Chirzin mengaku bahwa polemik ini tak lepas dari konteks NU dan Muhammadiyah. Dia menjelaskan bahwa PMA 68 cenderung menguntungkan NU. Dengan PMA ini, Menteri Agama yang memiliki background NU leluasa memilih rektor yang dari kalangan NU. Dan gerakan politik Menag di kampus ini bersifat destruktif. Sementara pihaknya, menjaga institusi kampus dari gerakan tersebut.

“PMA 68 itu memang dibuat menyalahi konstitusi, demi menguntungkan NU,” jelas Chirzin.

Independensi kerja Komisi Seleksi juga diragukan. Seperti apakah menteri melakukan komunikasi dengan Komisi atau melakukan komunikasi dengan pihak kampus. “Kalau begitu omong kosong kata-kata menteri mengalihkan politik menteri di kampus menjadi politik di kementerian,” katanya.

Selain itu, tidakadanya transparansi kinerja Komisi Seleksi juga menjadikan publik tidak tahu apakah tiga calon yang diajukan pada menteri murni berdasarkan ranking atau berdasarkan musyawarah Komisi dan apakah menteri memilih calon yang terbaik .

“Tapi informasi yang saya peroleh rektorkita itu bukan yang ranking satu,” ungkapnya. Tapi Chirzin tidak bersedia menyatakan sumber informasi tersebut.

Hal ini dibantah oleh Machasin. Satu dari pengangkatan rektor tiga perguruan tinggi yang sudah menggunakan PMA 68 tahun 2015, yakni UIN Jogja, UIN Palembang , dan STAIN Curup, Sairozi yang backgroundnya Muhamadiyah terpilih menjadi rektor UIN Palembang. Sementara pernyataan Yudian bukan yang ranking satu hanya sebagai isu. “Jangan isu. Resmi tertulis nomer satu dia yang ditandatangani dirjen nomer satu. Kalau isu ya biasa saja,” katanya.

Tapi Chirzin mengungkapkan bahwa penetapan rektor UIN Palembang dan STAIN Curup menggunakan rekayasa. “Kalau tiga PTKIN rektornya NU semua, Menag tidak punya malu.”

Machasin menolak pernyataan bahwa PMA 68 diturunkan untuk menguntungkan NU. Dia menjelaskan bahwa PMA ini diberlakukan untuk semua perguruan tinggi keagamaan baik Islam atau bukan yang berada di bawah naungan kementrian agama. “Bukan hanya untuk UIN Jogja. Catat itu!” Bantah mantan Pengganti Sementara rektor UIN Sunan kalijaga.

Noorhaidi, Direktur Pasca Sarjana UIN SunanKalijaga menyatakan bahwa tudingan PMA 68 tahun 2015 ini untuk menguntungkan NU telah terbantahkan oleh fakta terpilihnya Sairozi, yang  merupakan orang HMI. Selain itu, baik menteri atau pun Komisi Seleksi mempertimbangkan aspek kompetensi calon yang dipilih. Sebab jika hanya dengan motif asosiasi politik, mungkin saja hasilnya akan seragam. “Tapi ternyata nggak,” kata Noorhaidi.

Dia menjelaskan dalam dinamika politik orang akan mengelompokkan diri pada kutub-kutub tertentu dengan framing yang beragam. Seperti keagamaan, aliran, organisasi, etnis, atau bahkan kedaerahan.

Kadangkala dalam kampus terjadi persaingan kubu politik sehingga menjadikannya seperti negara dan Noorhaidi memandang PMA 68 ini turun untuk mengurangi kontestasi yang tidak perlu tersebut. “Kadang- kadang kampus itu kayak negara itu lho, kayak partai-partaian lalu kemudian pertarungannya pertarungan kayak di sebuah negara, pertarungan politik.”

Dia menafsirkan demokrasi kampus bukan berarti memilih sebagaimana yang senat inginkan melainkan seluruh civitas akademika diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menyiarkan gagasan serta mempublikasikannya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak tertentu.

“Demokrasi di kampus itu suasana yang kondusif memungkinkan setiap orang untuk bekerja dan sebagainya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan itu.”

Farid Wajdi juga membenarkan di beberapa kampus memang terjadi pengelompokan, perpecahan, bahkan keributan. Namun, berbeda dengan Noorhaidi, dia berpendapat bahwa hal itu merupakan hal yang biasa sebagai fenomena demokrasi dan lebih banyak menunjukkan kesempurnaan dan hasil.

Di lain sisi, Muttaqin Subroto, salah seorang mahasiswa UIN Sunan kalijaga megatakan bahwa mekanisme pilrek tidak berefek pada mahasiswa. Sebab, sejak dari awal mahasiswa memang tidak diikutsertakan dalam pilrek. Namun melihat fenomena ini dia mengaku merasa tergelitik karena masing-masing pihak sama-sama mempunyai argumen yang cukup rasional.

Dia memandang baik tindakan menteri agama atau pun senat itu wajar. “Yang tidak wajar adalah ketika mahasiswa dimobilisir untuk mendukung salah satu pihak,” kata mahasiswa yang aktif di Kerluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) tersebut.

Senada dengan Subroto, Senat Mahasiswa Universitas, Viki Artiando Putra tidak begitu mempermaslahkan PMA 68. Dia justru merasa heran kampus lebih sibuk pada poersoalan politik identitas ketimbang daya tawar rektor untuk memperjuangkan harga pendidikan yang murah. Sebagai perwakilan mahasiswa dia tidak begitu mempersoalkan siapa yang menjadi rektornya. Viki akan mendukung siapapun rektornya asalkan dia mampu memperjuangkan pendidikan yang murah untuk mahasiswa. “Kalau sampai hari ini harga UKT itu nominalnya itu terus naik dan sangat mahal sekali  bahkan berkembang sepuluh kali lipat, ya, akan terus saya lawan bagaimanapun caranya.”

Reporter: Syakirun Ni’am

Redaktur: Lugas Subarkah