Oleh: Doel Rohim
Ilmu pengetahuan semakin hari semakin tumbuh luar biasa, berbagai penemuan yang mutakhir juga mewarnai gegap gempita kemajuan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan banyaknya pemuda yang setiap tahun hiruk pikuk ingin masuk keperguruan tinggi dengan label mahasiswa, dengan berbekal keyakinan mereka menenteng tas untuk meninggalkan kampung halaman. Semakin berkembang ilmu pengetahuan dan semakin banyak orang yang mendapatkan akses pendidikan, kemudian akan memunculkan pertanyaan terkait itu semua. Salah satu pertanyaan mendasar terkait hal itu adalah “untuk siapa semua kemajuan tersebut?” Hal ini yang sering kali luput kita perhatikan, berkelindan juga dengan untuk apa kita menemukan suatu alat baru menempuh pendidikan sampai setinggi langit kalau tidak memeiliki orientasi yang jelas kepada perubahan sosial?
Pemahaman tentang politik ilmu yang selama ini masih rancu di pola pendidikan kita, mau tidak mau menimbulkan ketumpulan pola berfikir mengenai keberpihakan ilmu penegetahuan terhadap permasalahan yang seharusnya diselesaikan. Hal ini tercermin bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan seharusnya membawa dampak langsung kepada kemanuasian, terutama terhadap kaum yang termarjinalkan. Malah sebaliknya ilmu pengetahuan hanya dinikmati segelintir orang yang dikomodifikasikan menjadi alat produksi untuk mendulang keuntungannya sendiri. Begitupun banyaknya orang yang mendapatkan akses pendidikan tinggi, bukan malah memberi dampak pada perubahan sosial, tetapi orang berpendidikan tersebut malah berusaha dicerabut dari akar rumputnya. Guna membantu menyukseskan agenda-agenda kepentingan dari pemilik modal yang mengaleniasi dirinya.
Salah satu hal yang dapat dijadikan contoh terkait hal di atas yang baru saja terjadi belakangan ini adalah kecerobohan salah satu organisasi mahasiswa daerah Rembang, yang dengan entengnya membuat acara besar dengan mengundang salah satu band besar dari Yogyakarta. Padahal dengan jelas acara tersebut disponsori oleh korporasi yang sedang menuai konflik dengan masyrakat kecil di daerah tersebut, yang menolak adanya pembanguan pabrik semen. Hal tersebut mencerminkan ketidakberpihakan orang dalam hal ini─mahasiswa yang notabenenya memiliki ilmu pengetahuan yang lebih dibanding lainya─ kepada masalah-masalah yang terjadi di lingkunganya. Jelas bahwa kemajuan ilmu pengatahuan dan banyaknya orang berpendidikan belum dapat menjadi pelopor perubahan sosial yang ada di sekitarnya.
Perhatian yang lemah, kebanyakan ilmu pengetahuan lebih condong untuk kepentingan ilmu pengetahuannya sendiri, menjadi permasalahan lawas yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Aliran positivisme dalam ilmu pengetahuan yang menilai bahwa ilmu untuk ilmu menjadi paradigma yang mengakar kuat sampai ke hal yang terkecil dari pola pendidikan yang kita amini sekarang, menjadi salah satu alasan ilmu pengetahuan hanya menjadi macan yang ompong terhadap permasalahan sosial yang terjadi.
Dari hal itu maka wajar kemajuan ilmu pengetahuan dan banyaknya orang berpendidikan hanya akan menjadi masalah baru, kalau tidak mau dikatakan benalu bagi masyarakat. Sebab kemajuan tersebut tidak didasari atas nilai-nilai kemanusian yang kuat. Nilai- nilai yang mengarahkan ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berpendidikan terhadap permasalahan yang sedang terjadi di masyarakatnya.
Pertanyaan yang besar yang belum bisa dijawab dari permasalahan ini adalah, lantas siapa yang dapat memberi solusi terhadap masyarakat kecil ketika ilmu pengetahuan dan orang yang berpendidikan yang di gadang-gadang dapat memberi secerca harapan terhadap masyarakat kecil, malah hanya sebagai penunjang kepentinganya sendiri? Yang di lain sisi juga ikut memberi permasalahan baru terhap masyrakat kecil. Walllahu A’lam.[]