Dalam kereta tanpa kepala itu kepala-kepala saling terantuk kantuk, siku saling bertemu. Celoteh anak-anak bertegur seru melebur deru. Seorang ibu bergayut cemberut di wajahnya yang kusut. (Prameks I, Slamet Riyadi Sabrawi)
Lpmarena.com, Puisi Prameks I di atas merupakan salah satu puisi dari enam puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi yang dibahas dalam diskusi sastra PKKH UGM. Hadir sebagai pembahas sastrawan Bernard Batubara (Bara) dan mahasiswa Ilmu Sastra UGM, Yudo Suryo H. Diskusi dilaksanakan di ruang timur PKKH UGM, Kamis (28/07).
Yudo menganggap enam puisi karya Slamet, yakni: Di Atas Ketinggian 20.000 Kaki Tangan Sepi; Jalan Kramat VII Di Dua Kantor Redaksi; Menuju Senyap; Prameks I; Sajak Peragu; dan Sapi, Kuda dan Seekor Puisi sebagai sebuah catatan. Yudo mencoba menangkap makna dari kata-kata sederhana yang digunakan Slamet. “Memang terkesan pribadi, tetapi kedekatan orang lain bisa merasakan yang sama. Ada semangat yang sama dan dibangkitkan melalui puisi-puisi itu,” katanya.
Lebih dalam lagi enam puisi Slamet tersebut akan mendapatkan kebaruan maknanya ketika dikaitkan dengan karya lain atau peristiwa lain yang lebih besar. Yudo memisalkan peristiwa ‘98 yang menjadi titik tolak, di mana peristiwa tersebut dapat dikembangkan menjadi karya sastra yang lain. “Karya tidak hanya dinikmati secara estetik, tetapi juga ada fungsi yang lain,” ucapnya.
Berbeda dengan Yudo, Bara menghayati puisi dengan sangat personal, yakni kesan apa yang didapat setelah membaca puisi. “Setiap kali saya baca karya entah itu cerpen atau puisi, kali pertama yang menyentuh bukan makna, tapi kesan. Saya lebih senang baca efek apa yang muncul,” ucapnya.
Bagi Bara, kesan pertama puisi-puisi Slamet Riyadi Sabrawi penuh dengan rima. “Rimanya penuh. Penyairnya seperti senang memanggungkan puisi, karena yang penuh rima enak dibaca, dipanggungkan. Kalau dideklamasikan pas,” kata penulis buku Angsa-Angsa Ketapang ini.
Ada dua kriteria yang Bara pakai dalam membaca suatu karya, khususnya puisi. “Pertama, apakah saya menyukai puisi itu? Kedua, apakah puisi itu bagus?” tanyanya. Suka dan bagus memiliki definisi yang berbeda.
Suka lebih bersifat subjektif. Meski dengan kata-kata basi yang dirangkai dengan majas-majas yang tidak kreatif, seseorang bisa menyukai jenis puisi tersebut karena puisi itu bersentuhan dengan batin seseorang. Sedangkan bagus lebih objektif, berkaitan dengan makna, juga teori-teori sastra. Puisi yang bagus bagi Bara tidak akan pernah selesai dimaknai. “Penulis punya tendensi spesifik. Kamu boleh buang puisi yang orang lain anggap bagus,” ujarnya.
Contoh puisi Slamet yang berhasil membuat Bara suka adalah puisi berjudul Prameks I. Bercerita tentang seseorang yang berada di dalam kereta Prambanan Ekspress. Puisi tersebut membangkitkan memori Bara akan kisah cintanya dengan seorang perempuan saat pertama kalinya ia naik kereta Prameks. Yang mana sekarang perempuan tersebut telah menikah dan memiliki anak, tapi bukan dengan Bara. “Ada suasana nyata, saya bacanya suatu potret. Kenapa berkesan? Karena berhasil menyentuh saya di level personal,” Bara berkisah.
Puisi bagus bagi Bara sangat mungkin dihasilkan pembacaan berbeda-beda pada setiap orang. Makna baru akan muncul dikali berikutnya ketika kita menyukai puisi. Pemaknaan terhadap sesuatu pun berbeda-beda sesuai dengan pengalaman, pikiran, dan tendensi seseorang.
Bara menambahkan puisi merupakan bahasa kode. Kemajuannya menggerakkan zaman. Bagus tidaknya puisi terletak pada lapisan yang dia miliki. Tergantung tendensi orang yang membacanya. Jika orang mencari hal politis suatu puisi, ia akan mendapatkannya. Jika mencari tentang estetika, moral, sampai teknikal pun pembaca akan menemukan.
“Puisi kayak rumah. Pengen di ruang tamu boleh, di dapur boleh, di toilet boleh. Puisi yang jelek, ketika orag baca akan masuk di ruang yang sama,” jelasnya.
Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum