Home - RIUH. Pesta Pora Khaos.

RIUH. Pesta Pora Khaos.

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Jika kau jatuh dan seorang merangkulmu, mengatakan: ‘ambil hikmahnya’, ludahi saja dia.” Bodhi.

Keriuhan selalu punya banyak tepi: kesepian, kesendirian, kemuakan, hingga nihilisme. Riuh semacam kondisi porak poranda makna yang tak henti-hentinya digali atau dibinasakan. Konsep inilah yang setidaknya tersirat dalam Pameran Tunggal Izyudin Abdussalam bertajuk “RIUH” di Asmara Art and Coffee Shop (ASCOS) Yogyakarta.

Izyudin yang kerap dipanggil Bodhi memamerkan sebanyak 37 karya, yang terdiri dari 20 karya baru dan 17 karya lama. Dibuatnya antara tahun 2015-2016 ini mencoba mematerialkan segenap keriuhan yang bersarang di kepala Bodhi. Otaknya yang begitu berisik yang kata dirinya sendiri nyaris mendekati gila.

Ke-37 karya lukis tersebut sebagain besar dibuat Bodhi dengan teknik pelukisan yang boleh dibilang binal: sketsa, warna, dan hancurkan. Kehancuran diperlihatkan Bodhi dengan mengasak-asak hasil lukisannya yang telah jadi dengan garis atau kuas yang coret-coret. Penghancuran ini dibuat Bodhi dengan tujuan penghilangan makna setelah kemenjadian. Usai penghancuran, proses akhir di setiap lukisan Bodhi, ia melahirkan teks-teks (puisi) yang lahir dari garba binalitasnya. Lukisan dan teks puisi menjadi paket komplit seorang perupa dan penyair.

Keriuhan yang ditawarkan Bodhi membawa pengunjung pada “kuasa atas diri”, diri yang menurut Lacan merupakan subjek yang terbelah. Diri dengan pengaruh id yang meluap-luap. Misalkan dalam karya lukisannya berjudul Tumpang Tindih. Di mana ia menulis: di dalam tubuhmu telah bersemayam / segala jenis makhluk / segala / segala … Tubuh dan pikiran manusia terdiri dari hal apa pun, dari “kadal-polisi-kyai-belatung-pohon-napoleon-gendruwo-setanalas-anjing!-dan lain-lain”, sebutlah semampu kita, dia tak habis, bertambah dan semakin bertambah.

Di seri lainnya dalam lukisan berjudul Gembala-Gembala, Menjinakkan, Kumpulan Mereka, Sabda, dan Manifesto kita diajak untuk lepas dari rantai yang membelenggu kita akan suatu tatanan sistem yang hirarkis yang dikutuki para Marxis: hamba – paduka, jamaah – imam, buruh – tuan, yang ditindas – penindas, hingga yang kecil – yang besar. Cermati saja penjelasannya yang begitu paradoks dalam Kumpulan Mereka, yang kritik ini hadir untuk menyindir hal-hal yang besar, yang biasa diperlombakan MURI:

Ah, kita lebih cenderung mengejar yang besar-besar. Adakah festival lopis terkecil? atau batik dengan ukuran mikroskopis? Berlombalah kita untuk segala yang besar, dan yang kecil tak pernah menarik. Mungkin hanyalah masalah ukuran. Mungkin juga tidak. Dalam realitas, yang besarnya kalah banding tak lagi jadi idaman. Mulai dari ukuran kelamin, hingga benda—benda semacam lopis, yang besar selalu di puncak hirarki. Sejak kapan mitos tentang ukuran ini ramai? Junjungan manusia atas segala hal yang besar membuat setiap hal yang renik tak jadi menarik. Lopis kecil ditinggalkan, kelamin mini dicemooh, dan orang kecil-wong cilik, selamanya jadi figuran.

Belum banyak orang yang menyadari sebenarnya dirinya adalah gembala. Gembala yang berpura-pura besar, berpura-pura bebas, berpura-pura mencintai, berpura-pura sakit, gembala-gembala yang berobsesi. Di sebuah tatanan yang tak nampak, gembala-gembala itu digiring, dikondisikan, dininabobokan. Gembala, harus sadar bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Dan iman yang serendah-rendahnya adalah upaya-upaya kamuflase atau upaya mengambil jarak dari predator. Bodhi dalam iman itu mencoba berteriak, “Bebaskan diri kalian dari gembala-gembala!”.

Sikapnya adalah mengambil posisi dengan jalan Menyeberang, Kejar Mengejar, People Suck!, Jatuh Saja, atau Sudah Mampus. Di lukisan itulah Bodhi mencoba memberi rambu-rambu yang waspada akan sepi dan gelap yang tiba-tiba, akan kecemasan perihal ketaatan, hingga manunggalnya ‘aku’ dengan kemalasan.

menyeberang

(Foto: “Menyeberang”)

kejar

(Foto: “Kejar Mengejar”)

Kekacauan semakin parah ketika orang-orang tumbuh menjadi generasi internet. Kita yang sekarang tumbuh di jaman generasi keemasan teknologi nan multitasking, di mana orang bangun tidur saja sudah membuka HP. Semua hal nyaris telah tersedia di gadget. Yang semrawut dengan keajaiban yang ditawarkan oleh teknologi. Yang membuat jarak menjadi terlipat. Masyarakat terjebak dalam simulasi-simulasi dan mitos-mitos hingga tercipta fenomena yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas. Di mana antara yang nyata dan maya sudah sulit dibedakan. Ini menjadi gambaran besar tema kekacauan Bodhi yang ia rangkum dalam lukisannya berjudul Menunggu Notifikasi, Menunggu Kabar, Meladeni Resah, Dimensi Ketujuh, Simbol, Terjamin, Jarak, Kekasih  dan Sembunyi.

Efek dari teknologi yang menggila ini pun tak main-main. Bodhi menjelaskan dalam gamblang di lukisan Kerumunan Curiga, Pelamun, Biarkan, Merajuk, Tenggelam, Rindu, Forget, Pasrah dan Luka. Sebagai jawaban atas sikap yang selalu menjadi pengikut, sikap sibuk memperkarakan yang tidak perlu, sikap mengotak-atik semesta yang acuh, sikap mengeluh pada luka yang tak kunjung sembuh, lalu kita berharap kedatangan seorang Juru Selamat yang turun di bangjo.

Tak pelak keniscayaan akan “nihilisme” yang dielu-elukan Nietzsche mania pun ikut disuarakan Bodhi. Di mana telah terjadi keruntuhan akan nilai dan makna di setiap segi kehidupan─filsafat Nietzsche ini dulunya tak mendapat tempat. Serupa Nietzsche, sepertinya Bodhi ingin membuat aliran baru dalam melukis. Dengan teknik ‘hancurkan’ disertai aforisma yang puitis, Bodhi mempertanyakan ulang segala hal yang mapan itu dengan gaya yang nakal, sarkas, sinis, atau bisa jadi romantis? Apa yang dilakukannya merupakan bagian dari nihilisme aktif yang mencoba membunuh tuhan-tuhan kecil dengan pembalikkan nilai-nilai kanon yang memfosil.

Nihilisme pun erat kaitannya dengan tuhan. Pun dalam RIUH Bodhi masih tetap membawa nuansa relegiusitasnya. Tengok saja dalam lukisan berjudul Gusti Mboten Sare, Berkehendak, dan Rengkuh Doa. Bodhi yang mengasihani tuhan sebab tuhan itu abadi dan karena keabadian itu dia bosan, setiap detik kerjaannya hanya mendengar kutuk dan harap. Ya Tuhan… Jika kisah manusia abadi serupa tuhan ini ada, mungkin nasibnya juga membosankan, kelelahan, tak beda jauh dengan tokoh Jesse di novel Tuck Everlasting bualan Natalie Babbitt.

Limbo

limbu

(Foto: “Limbo Merah”)

Sejak lulus SMA, oleh kawan-kawannya Bodhi pernah dianggap “gila”. Kegilaan yang berkonotasi dengan kenakalan remaja. Kegilaan itu berlanjut hingga dirinya kuliah di Jogjakarta. Salah satu kegilaan terparah yang tidak ingin ia ulangi lagi adalah menggunakan obat-obatan terlarang hingga ia overdosis (OD). Bodhi jedot-jedotin kepala dan ia ditolong oleh temannya bernama Ferdhi, sosok kakak yang memarahi dan mengingatkannya saat mau mati.

“Sebelum kayak gitupun aku ada rapat, kawan-kawan ada rapat dan aku gak ikut. Aku paling nakal, paling kecil di perkumpulan teman-teman itu. Ngapain sih rapat-rapat kayak gini? Banyak pertanyaan-pertanyaan,” kisahnya ketika penulis melakukan wawancara di Suave Café, Kompleks Pringwulung pada Kamis (4/8) malam.

Pengalaman overdosis hingga ia hampir mati itulah yang membuat Bodhi bisa memvisualisasikan sebuah dunia yang gelap, sebuah proyeksi kematian versinya sendiri. “Waktu tepat subuh tiba-tiba aku kayak gaya meditasi. Trus kata temanku wajahku bercahaya, dan lain-lain. Nah, memang di posisi itu aku tenang banget. Subuh itu sampai matahari muncul, aku udah gak ada efek-efek lain lagi. Aku gambar itu, aku coba visualkan,” kenangnya.

Proyeksi kematian tersebut dituangkan Bodhi dalam seri lukisan Lombi, yakni Lombi Merah, Lombi Biru, dan Lombi Putih. Di fase merah Bodhi melukiskan tentang kematian, fase biru menggambarkan tentang transformasi kehidupan yang sebenarnya tidak bermakna, dan di fase putih memperlihatkan tentang manusia memiliki warnanya sendiri, dan terserah mau diperjuangkan untuk apa.

Bodhi                                         

Bodhi merupakan mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (STSRD) Visi Yogyakarta angkatan 2011. Berasal dari Pekalongan 23 tahun yang lalu, karir melukis Bodhi ia mulai sejak SD. Dari kecil Bodhi sering mendengar banyak suara-suara atau melihat banyak visual-visual yang dirinya tidak mengetahui apakah sebenarnya orang lain melihatnya juga.

“Aku nglukis itu nyebut diri indigo. Gila, aku mikir aku indigo dan sebagainya. Karena aku selalu mikir setiap orang spesial. Aku sendiri anggap itu sebagai kelebihanku untuk menenangkan diri sendiri. Kalau gak, aku gila,” tuturnya.

Di Pekalongan pun, di daerahnya sana, ia sempat mendirikan Rumah Hujan kepada anak-anak pesisir Pekalongan. Bodhi dan kawan-kawannya mengajarkan gambar, puisi, dan musik pada anak kecil. Lalu komunitas tersebut anggotanya mengalami seleksi alam. Yang menjadi masalah anak di pesisir ternyata usia sepuluh tahun mereka harus pergi ke laut dan muridnya habis. “Waktu semester I masih melaju dari Jogja ke Pekalongan. Aku datang kok muridnya gak ada, ternyata melaut,” ujarnya.

Selain Rumah Hujan, ia dan kawan-kawannya juga mendirikan Rumah Srengege di Kota Gede. Yang mengajari anak-anak menggambar dan mengerjakan PR. Namun komunitas ini hanya berdiri beberapa tahun saja, karena ada pihak tertentu yang merasa terganggu dengan keberisikan Rumah Srengenge. Lalu ia dan kawan-kawannya juga membuat komunitas Ruang Gulma Collective di Bantul sampai sekarang, juga rumah desainnya Flyingpants.Lab. Selain itu Bodhi juga sempat aktif di Needle and Bitch dan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Objek gambarnya banyak hal, dari kegelisahannya hingga fenomena sosial, misal penggusuran yang terjadi di Rembang atau Kulon Progo.

“Ya posisiku di teman-teman yang berjuang di Kulon Progo sebenarnya cuma bantu gambar. Karena aku sendiri kalau disuruh diskusi gak tahan. Aku tahan paling 10-15 menit, setelah itu aku keluar. Karena aku gak bisa diam orangnya, aku pikir diskusi itu hal yang membosankan dan kita diam. Aku pikir ini ngapain? Kurang ajar, gali-gali apa kek,” katanya.

Medium yang digunakan Bodhi dalam pameran pun tak kalah hiruknya. Bukan bermaksud memanfaatkan apa yang ada, tapi ia mencoba menciptakan apa saja dengan barang yang ada di depannya. Dari akrilik, pulpen, pensil, crayon, canvas, koran, sampai kertas nasi semuanya ia coba. Eksperimen medium ini pun bisa kita temui di pameran RIUH.

Yang unik pula, Bodhi lebih suka pameran di jalan, yang ada mobil, motor, dan pejalan lewat. Ketika penulis mengkritik tempat pameran di ASCOS yang belum begitu representatif, karena banyak meja dan kursi yang mengganggu penglihatan pengunjung, Bodhi menanggapinya dengan santai. Baginya tak masalah. Ia lebih suka ruang yang kecil, intim, tidak dingin, dan hidup. “Aku bayangkan misalnya di TBY, ya kayak gitu kan kayak gedung kosong. Kalau ada pameran aku akan bikin kalau bisa di Burjo malah,” ujarnya.

Kelebihan Bodhi tak hanya tampak di gambar, desain, sastra, atau sebagai Pemred Majalah Weldgood Magazine saja, tetapi juga di musik. Bersama kawan-kawannya ia aktif  bermusik di Talamariam, Sembilu, atau proyek pribadinya di Rupagangga. Saat ini ia juga menjadi vokalis di grup musik Buktu, semacam grup musik noise yang memproduksi suara bising─dalam pembukaan pameran RIUH hari Senin (1/8), Buktu juga tampil.

“Produk akalku sendiri yang aku gak tahu mau digimanain. Akhirnya kalau aku capek di tulisan, aku akan lari ke gambar, kalau aku capek ke gambar aku ke musik. Nah, tiga itulah yang aku pikir karakternya sebenarnya sama, selalu penuh banyak hal,” terangnya.

Pemuda yang menyukai karya-karya Ali Antoni dan Anto Arda ini mengaku  bahwa dirinya tidak bisa diam. Paradoksnya juga, jika kebanyakan seniman hidupnya bohemian tidak teratur, Bodhi masih sempat-sempatnya membuat list kegiatan sendiri per harinya. Misalnya untuk menulis, bermain musik, menggambar, mengurus majalah, atau hal-hal yang berhubungan dengan artistik.

“Gilalah pokoknya, kadang ingkar. Tapi pasti ada yang tertulis aku harus begini. Itu untuk hidup, karena kadang aku itu jarang nolak sesuatu. Nah, itu bodohnya aku. Jadi cuma tak iyain, ternyata jadwalnya tabrakan,” ucap sembari tertawa.

Setiap saat Bodhi mengaku bisa berkaya, tapi paling sering berkarya pada jam 12 malam lebih. Sebab ia menganggap, berkarya apapun baik di gambar, musik, atau menulis, ketika dikerjakan di jam-jam biasa tidak maksimal. “Jam 12 ke atas kita bisa dengar suara detak jam. Suara jantung. Banyak hal yang kita lewati setiap hari ketika orang lain tidur,” jelasnya.

Re-Riuh

Secara keseluruhan pesan yang ingin disampaikan Bodhi dalam RIUH adalah jangan mendamba hidup yang harmonis. Jika manusia sudah meganggap semua baik-baik saja, tenang, adem, Bodhi ingin mengembalikan dasar hidup manusia, yakni khaos. Manusia memang berantakan dan manusia lupa bahwa sifat tuhan itu segalanya.

“Cuma lihat tuhan itu mulia, aku pikir tidak fair. Dia juga ada di tinjamu, di arakmu, di obat-obat narkobamu. Dia juga ada di diriku, dirimu, di semua orang. Karena itu kesemrawutan inilah yang ingin aku sampaikan,” cetusnya.

Bodhi menolak keharmonisan absolut. Segala sesuatunya memang khaos dan manusia bebas dengan keterikatan makna absolut yang menghadangnya. Dalam kondisi (membajak konsep Meillassoux) sebagai hyper-chaos/gila-kacau dalam menilai waktu yang ber-faktisitas dan ber-kontingensi. Waktu itu tidak tetap, waktu itu terus menjadi. Tugas kita menghancurkan kemenjadian.

Sketsa, warna, garis yang dipilih Bodhi melambangkan permusuhannya akan finalitas. Ia membuat garis demarkasi sendiri. Meski begitu, Bodhi tak bisa memungkiri seseorang yang menikmati karyanya dalam pameran secara tidak langsung turut mendukung terjadinya reinterpretasi akan makna. Yang dari penghancuran makna ikut berpartisipasi membentuk makna baru akan lukisannya yang ia namai beraliran post-realis daripada surealis tersebut. Metode ini sangat mudah, misal dengan meminjam konsep dialektika Peter L. Berger: melihat sesuatu yang sama dalam waktu yang bebeda, akan menghasilkan maksud yang berbeda.

Sadar atau tidak, bagi saya Bodhi tengah merintis jalan pedih seorang seniman.  Pikiran Bodhi rusuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab yang secara organik serupa lalat yang menempel di kepala. Karya Bodhi saya katakan seperti kalimat acak yang saya temukan di lukisan berjudul Forget, “Maaf setiap brengsek tetaplah demikian adanya.” Dan bagi saya, Bodhi memang perupa, penyair, dan pemusik yang brengsek!

Judul Pameran RIUH │ Perupa Izyudin ‘Bodhi’ Abdussalam │ Tempat Pameran Asmara Art and Coffee Shop, Jl. Tirtodipuran No. 22 Yogyakarta│ Penayangan 1-20 Agustus 2016

Isma Swastiningrum, penikmat canvas, random bermain dari pameran ke pameran. Manusia setengah riuh. Suka membuat gaduh dengan dirinya sendiri.