Orang Miskin Indonesia
tak ada yang lebih tabah daripada orang miskin Indonesia
bukan hujan bulan Juni
yang merahasiakan rindunya pada bunga-bunga
bukan air mata kita
yang jatuh pelan menemani luka-luka
tiap hari mengisap nestapa
memeluk gersang memanggul durja
tanah kelahiran tersihir neraka
tanah rantauan hanya lautan bara
tapi, bukankah tiap hari tetap kau lihat mereka
menyunggingkan senyum lantas tertawa?
Bantul, 3 Januari 2015
Orang Miskin
yang lalu hanya badai
air mata di negeri ini tetap berderai
mula-mula seperti gerimis pelan
kemudian menjelma deras hujan
di pipi-pipi orang miskin ini
air mata menjelma sungai
sepatah kalimat yang tak selesai
digumamkan sekejap waktu demonstrasi
yang tak pernah dihiraukan
tanah pijakan hanya duri
makanan pokok menyerupai bara api
sementara kesenangan, sedari dulu cemeti
bantul, 3 Januari 2015
Keroncong Murcakle
—kepada segala yang pernah dilahirkan di dunia
sungguh, adakah kemerdekaan
jika penindasan adalah fakta dan
ketidakadilan menjadi kebiasaan?
di sini, tempat di mana persatuan tak bergema lagi
aku memandang orang-orang tiran
seperti daun-daun gugur,
satu per satu, kemudian hancur
dan setiap daun, tak pernah mengajari tunas
untuk jujur
dan membuka mata, bahwa setiap angin
punya kebebasan masing-masing
aku melihat semacam gelagat
manusia berjalan cepat, mencari kebahagiaan sendiri-sendiri
tanpa menengok belakang, yang lain sedang di tempat
sedang bersusah payah melepas dari berbagai jerat
sungguh, benar adakah kesejahteraan
jika hedonisme dilumrahkan, dan kapitalisme diabadikan?
terkadang aku seperti mendengar nyanyian-nyanyian
serupa jerit tangis yang panjang;
di sini negeri kami, tempat rakyat ditindas perih
pemerintah tak peduli
negeri kami jalang, gusti!
sebagaimana matahari yang tak pernah usai
menghitung waktu
nyanyian itu tak kunjung selesai
tak kunjung beranjak seperti masa lalu
ke arah langit yang (barangkali) marah
ku tengadah
“tuhan kami, tuhan yang merestui lahirnya bangsa ini
berikan nasib baik bagi yang hendak berubah
bagi yang hendak menggalakkan keadilan di bumi.”
sebab aku dengar semacam kabar
orang baik tanpa nasib baik di tanah ini
akan dibunuh dan dibungkam!
Karpet Merah, Oktober 2015
Dam-Seng
: kepada nenek
: dari kakek
demi darah yang tumpah,
mengucur dari potongan-potongan kepala manusia
aku mencintaimu serupa domba-domba pada penggembala
tak punya jumlah kata untuk menyatakannya
sebab di sini amis, manis!
orang-orang berlalu seperti masa lalu
seperti juga diriku, yang menunggu giliran meninggalkanmu
bilamana tempurung kepalaku terlepas
jangan mengingat; kita pernah memetik genjer
menaruhnya di ember, memasak dan memakannya sampai tandas
toh, tubuhku akan juga terpendam, sakitmu semakin dalam
di sungai yang mengalir tanpa air ini
nyawa hanya daun kering di ranting-ranting
Tuban, 2015
Dam-Seng; jembatan tempat pembantaian PKI, Senori, Tuban.
Pos Penitipan Asap
maaf, negara tetangga
kami tak lagi punya tempat
sekedar menaruh asap
hari-hari pun gugur
seperti udara yang mengabur
dan kalian dilarang bertanya kenapa
matahari cuma sekedar blur
Asap Knalpot
katamu, orang-orang semakin mengabu, dipta
di kota, di tempat yang biasa
bersatulah deru debu
dan dering klakson melengking
katamu, orang-orang bicara dengan tiiit, dipta
dan bahasa hilang
barangkali di balik kesombongan
Kutub, 2015
Daruz Armedian, mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga ber-UKT tinggi. Email: armediandaruz@gmail.com.