Home - Kemerdekaan yang Hilang

Kemerdekaan yang Hilang

by lpm_arena

Oleh: Doel Rohim*

Teriakan bergelora menyuarakan kata merdeka berkumandang di hari yang dinggap sebagai kebabasan suatu bangsa. Yaitu bangsa yang telah lama dirundung nestapa karena hak rakyatnya direnggut dan dibungkam untuk  bersuara. Hingga pada akhirnya bangsa itu benar-benar menproklamirkan kemerdekaannya. Dengan nada berat seorang pemimpin yang terkenal dengan semboyan peyambung lidah rakyat memberanikan diri untuk menyatakan bahwa bangsanya telah merdeka.

Kata merdeka muncul bukan lantas beban berat sebagai bangsa menuju negara yang berdaulat tercipta begitu saja. Tapi kata merdeka harus tetap menjadi satu rangkaian kata yang utuh, butuh keberanian untuk mempertahankan dengan imbas ribuan nyawa menjadi korban. Pertempuran 10 November menjadi bukti  betapa keberanian itu tak bisa terbantahkan lagi hanya untuk melihat satu rangkaian kata merdeka tetap menjadi milik Bumi Putera. Revolusi yang hanya bermodal keberanian dan teriakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang harus dibumihanguskan, menjadi pelecut semangat untuk memulangkan para keparat penghisap hak hidup rakyat. Dan akhirnya pulanglah mereka dengan rasa yang menganjal setelah ratusan tahun tahu bagaimna kayanya negeri jajahan.

Kemerdekaan sudah di tangan, harga diri sebagai bangsa yang merdeka juga sudah mulai dirasakan. Revolusi juga tak berhenti pada proses pemulangan, tapi revolusi juga berlanjut pada segi ekonomi atministrasi  dan pertanahan dalam negeri. Walaupun segi politik masih silih berganti, tetapi itu semua tak benyak memberi arti. Karena pada akhirnya demokrasi terpimpin menjadi solusi yang dipilih oleh pemimpin yang suka silih berganti istri.

Peroses terus berlangsung, revolusi digenjot untuk menata segi ekonomi yang hampir ambruk. Hubungan diplomasi dijalin, pakta perekonomian tanpa syarat juga dimulai. Kampanye anti kolonialisme dan imperialisme disuarakan di setiap pelosok bumi, membuat gerakan non blok menjadi pilihan di saat perang antar kekuatan besar sulit dihindari. Itulah salah satu catatan sikap bangaimana negeri yang baru seumur jagung ini tidak mau menjadi santapan empuk para penggila kekuasaan mutlak atas muka bumi.

Pada akhirnya di fajar  yang mulai merah bertepatan akhir dari tahun sebuah tragedi terjadi, sebuah peristiwa yang menjadi awal bagaimana anak dari negeri ini tega membantai saudara sendiri. Dan lucunya bukan lagi beralasan karena ada penindasan atas ketidakadilan, tapi alasan yang teramat remeh yaitu nikmatnya kekuasaan. Di luar kepentingan ekonomi politik dari sebuah negeri yang menganggap dirinya besar tak tertandingi. Nyatanya pembantaian itu terjadi dan dilakukan oleh anak bangsa, saudara bahkan keluarganya sendiri.

Akhirnya, catatan sejarah revolusi  dari bapak penemu dasar  pancawati telah berhenti, dan diganti oleh anak desa penggiat perang yang ahli di medan pertempuran tapi sangat buruk dikaderisasi. Yaitu sang jendral yang mempunyai senyum lembut, tapi  berhati busuk. Pada masa inilah kata merdeka seolah hanya menjadi simbol tak berarti. Semua orang lebih lantang untuk meneriakan kata merdeka, tapi dari semuanya tak sadar bahwa kemerdekaannya telah dijual untuk ditukar dengan bantuan dana dari bank dunia. Mengakibatkan investasi modal asing masuk dengan leluasa, ekonomi disetir menurut kepentingan para bangkir. Rakyat hanya menjadi penonton setia dari kekayaan alam yang tinggal cerita.

Represifitas sang penguasa tunggal tak terhindarkan, suara rakyat disamaratakan ideologi tunggal dipaksakan untuk terus ditaati. Mengatakan kebenaran dituduh membangkang terhadap pemerintahan, berpikir kritis dituduh komunis. Kesemuanya dilakukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan yang hampir tiga dekade terus berjalan.

Cerita sang jendral akhirnya selesai di medan kekalahan dari ekonomi global yang membuat krisis di pelosok negeri. Gerakan mahasiswa mendapat momen berharga  untuk dapat menumbangkan kediktatoran. Rakyat kelaparan, harga sembako tak terkendali, tetapi sang jendral cerdik sudah terlanjur menimbun harta kekayaan dengan mengantongi anak cucu seabrek perusahaan.  Dan berakhirlah cerita dari sang penguasa dengan catatan kelam yang tinggal cerita, karena aparat tak mampu mengadilinya.

Masa revormasi telah tiba, setelah sekian tahun akhirnya kebebasan berekspresi mulai dikumandangkan dengan lantang. Kata merdeka sekali lagi muncul di tengah optimisme para aktor bangsa untuk membangun negeri  yang sedang dirundung dilema ekonomi dan persatuan atas keutuhan bangsa.

Dari situ benih kata merdeka menjadi akhir cerita, setelah era baru kebebasan yang tak terkendali mengkonsolidasikan setiap orang untuk saling membenarkan apa yang dia yakini. Menjadikan kata merdeka bukan lagi merepresantikan satu persatuan, tapi kemerdekaan yang digunakan untuk melakukan suatu hal sesuai kehedak hati.

Pada saat itulah kata merdeka sudah tak lagi menglora seperti saat kata merdeka menyambut proklamasi. Silih berganti pemimpin negeri ini tak berarti banyak. Semboyan merdeka masih sama, hanya sebatas kata seruan, tapi tak banyak mengandung arti dan esensi. Bahwa sebenarnya kata merdeka itu menandakan adanya keberdaultan suatu negeri atas ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tapi apakah kata merdeka di saat ini mengandung arti itu semua. Saya rasa belum, banyaknya penganguran, ketidak-merataan pembanguan dan ketergantungan pada percaturan ekonomi global, dan yang paling  ironis  masih banyak anak bangsa di negeri ini belum mengenyam pendidikan. Menjadi bukti kemerdekaan hanya sebagai simbol kosong  yang sering kita serukan, tapi tak pernah dihayati.

Namun betapapun itu secara yurisdis bangsa ini telah merdeka, tapi kemerdekaan itu entah kemana  sekarang, Sebab nyatanya kemerdekaan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa belum sepenuhnya dirasakan oleh jutaan anak bangsa. Tetapi yang perlu diingat bahwa kata merdeka harus kita rekonstruksi kembali. Untuk menemukan esensinya dalam konteks sekarang dan mengambalikan gelora semangat kemerdekaan untuk mewujutkan negeri yang berdaulat adil dan makmur.[]

*Penulis mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga.