Home BERITA Katrin Bandel: Sastra Tidak Dibatasi Tabu

Katrin Bandel: Sastra Tidak Dibatasi Tabu

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Karya tulis sastra macam apa yang mampu menghubungkan dan mendukung spiritualitas? Pertanyaan ini dilontarkan kritikus sastra asal Jerman, Katrin Bandel dalam diskusi sastra dengan tema “Luruh” Seni, Religi, Pengetahuan di Taman Budaya Yogyakarta, Jum’at (02/09) malam.

Selama ini sastra dan spiritualitas diposisikan dalam ranah yang berbeda, namun bagi Katrin Bandel yang juga seorang muallaf justru mengartikan sastra memberikannya ruang untuk mampu memandang diri, terlebih dengan tidak adanya konteks tabu di dalam sastra. “Karya sastra punya banyak kelebihan, tidak dibatasi banyak tabu, sehingga melatih kejujuran yang mungkin kalau di teks lain akan disensor.”

Karya sastra, tambah Katrin, memiliki cara ungkap yang sangat beragam. Dari novel-novel islami yang dirinya baca, salah satunya novel karya Habiburrahman El Shirazy berjudul Ayat-ayat Cinta. Katrin mengkritik di dalam novel ini tokoh yang diceritakan terlalu menunjukkan hitam putih. Dengan penggambaran yang semata-mata moralis, justru tidak mendukung pengamatan diri yang jujur. “Kalau saya lihat novel Ayat-ayat Cinta saya tidak menemukan itu (kejujuran, red.), terlalu hitam putih.”

Katrin membandingkan novel karya Habiburrahman El Shirazy yang ia anggap kurang mampu menyajikan kondisi objektif yang jujur, dengan novel karya Mahfud Ikhwan. Di dalam novel karya Mahfud berjudul Kambing dan Hujan yang menceritakan kisah percintaan seagama namun berbeda kultur, hubungan  yang menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Tulisan sastra macam ini yang menurut Katrin mampu menampilkan cerita yang lebih jujur.

“Karya sastra Indonesia kontemporer yang mewakili imaji ideal,” ujar Katrin yang juga penulis buku Sastra Pascakolonial dan Sastra, Sex, Gender.

Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Jadul Maula, dalam diskusi ini menyampaikan tema diskusi luruh sendiri, ia artikan sebagai bentuk peluruhan antara agama dan sastra, yang awalnya masih dikotak-kotakan. Pengkotakan ini justru sering menimbulkan permasalahan karena dianggap tidak bisa meluruh atau bersatu. “Banyak agamawan yang memusuhi seni seolah-olah ini dua entitas yang tidak bersinggungan, Itu muncul jika dipahami secara parsial.”

Pandangan hitam putih, akan cenderung menimbulkan pertentangan-pertentangan. Jadul mencontohkan, menggambar manusia atau membuat patung dikatakan  haram, padahal para ulama tidak memutlakkan ini. Kepedulian dengan sesama menjadi tujuan utama dari religiuitas. “Puncak dari religius itu kalau sudah bisa mengutamakan keselamatan manusia.”

Reporter: Anisatul Ummah

Redaktur: Lugas SUbarkah