Home - Idul Adha: Dramatisasi Kesejarahan dan Sinergitas Monoteis

Idul Adha: Dramatisasi Kesejarahan dan Sinergitas Monoteis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M. Wildan Sidqi Purwanto*

Dalam konteks ajaran semitik, kita tak bisa melepas peran seorang Nabi Ibrahim yang menjadi dalang lahirnya agama Yahudi, Kristen, dan Islam ke dunia ini (abrahamic religions). Terlebih jika kita kerucutkan lagi ke dalam faktualitas hari ini di mana umat Islam akan merayakan salah satu ‘pesta besarnya’. Ya, tepat tanggal 12 September 2016, hari raya yang identik dengan eksekusi penyembelihan hewan ini serentak dilakukan oleh seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia. Jauh-jauh hari dari tanggal itu, kita sudah bisa merasakan bagaimana euforia dan antusiasnya masyarakat Indonesia, tanpa mau tau lebih jauh peristiwa yang mendalangi lahirnya ‘pesta besar’ tersebut.

Beratus-ratus tahun dari hari ini, Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah, hidup menderita tanpa anak untuk waktu yang lama. Saat itu Ibrahim berusia 100 tahun, sedangkan Sarah 90 tahun, dan merupakan usia yang terlampau tua bagi perempuan untuk mengandung anak karena telah melewati masa haid (menopause). “Mungkinkah bagi seorang yang berumur 100 tahun dilahirkan seorang anak, dan seorang perempuan berusia 90 tahun melahirkan seorang anak?” (Kejadian 17:17). Namun Tuhan dengan segala kuasanya akhirnya memberi mereka anak yang kelak dinamakan Ishaq.

Menurut kepercayaan tradisional Yahudi dan Kristen, kegembiraan Ibrahim dan Sarah tak berlangsung lama, sebab Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran. Seperti firman Tuhan dalam Kejadian 22:2, “ambillah anakmu yang tunggal itu yang kau kasihi. Pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah ia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Aku katakan kepadamu”. Dalam buku Legends of The Jews, karya Louis Ginzberg, melalui Midrash, salah satu metode penafsiran kitab Yahudi mengatakan jika Ishaq saat itu berusia 37 tahun.

Perintah Tuhan tersebut tentu terlihat berat dan aneh. Berat karena Ishaq adalah anak tunggal Ibrahim dan Sarah yang telah mereka tunggu kelahirannya setelah sekian lama menikah. Aneh karena, pertama, perintah itu mengkhianati peri kemanusiaan dan penjunjungan hak hidup bagi tiap orang. Kedua, perintah itu bersinggungan dengan keyakinan bahwa Tuhan merupakan sumber kebaikan yang takkan melakukan kejahatan apapun apalagi membunuh. Ketiga, perintah itu sepintas meniru adat orang kafir yang mengorbankan manusia untuk memperoleh berkah dari sang dewa.

Orang Yahudi, Kristen, dan Islam sama-sama meyakini bahwa Ibrahim melakukan hal itu sebagai bentuk ketaatan, kepasrahan, dan keimanannya terhadap Tuhan. Namun perbedaannya muncul tentang siapa yang akan dipersembahkan atau dikurbankan, Ishaq putra Ibrahim dan Sarah, atau Ismail putra Ibrahim dan Hajar. Orang Yahudi dan Kristen meyakini yang akan disembelih adalah Ishaq seperti yang telah dijelaskan dalam Alkitab. Sedangkan sebagian umat muslim meyakini bahwa Ismail yang akan dikurbankan. Namun ketiga agama semit ini sepaham bahwa penyembelihan yang memberatkan itu telah Tuhan persiapkan, sehingga baik Ishaq atau Ismail terhindar dari kematian, yang mana secara tiba-tiba dengan kuasaNya, Tuhan mengganti anak yang disembelih itu dengan seekor domba jantan. Dalam Islam, peristiwa ini menjadi dasar terselenggaranya hari raya Idul Adha.

Menarik untuk diketahui lebih lanjut siapa yang sebenarnya dikurbankan, Ishaq atau Ismail. Charlotte Gordon dalam bukunya The Woman Who Named God, menjelaskan bahwa orang Islam modern menjadikan beberapa problem utama dalam teks Kitabiah atau Bibel sebagai dasar gagasan mereka untuk membela kepercayaan mereka bahwa anak yang dikurbankan adalah Ismail. Pertama, Tuhan memerintahkan kepada Ibrahim untuk mengurbankan anak laki-laki satu-satunya, namun dalam versi Kitabiah, Tuhan memerintahkannya ketika Ibrahim telah memiliki 2 anak laki-laki (Ishaq dan Ismail). Para pemikir Yahudi dan Kristen menjelaskan kontradiksi ini dengan salah satu dari  cara berikut; pertama, Ibrahim hanya memiliki satu anak dengan Sarah, perempuan yang diberi upacara perminyakan suci oleh Tuhan. Kedua, Ismail telah diusir dalam hal ini dan karena itu untuk semua tujuan dan maksud, ia bukan lagi anak Ibrahim. Atau ketiga, Ismail telah termasuk dalam berkat Tuhan tapi bukan dalam perjanjian-Nya tentang tanah yang dijanjikan.

Orang Islam mengatakan bahwa Alkitab telah keliru mengenai peristiwa ini. Dengan argumen bahwa Tuhan memerintahkan pada Ibrahim untuk mengurbankan anaknya sebelum kelahiran Ishaq, dalam artian ketika Ibrahim baru memiliki anak satu-satunya, yakni Ishaq. Argumen ini membawa orang Islam untuk memperlihatkan sikap kontradiktif selanjutnya dalam Alkitab yakni pertanyaan problematik terkait usia Ismail pada waktu pengusirannya.

Dalam Alkitab, usianya ketika itu masih seumuran anak kecil. Ibrahim tak bisa ‘meletakkan’ seorang anak belasan tahun di atas bahu Hajar. Hajar tak bisa meletakkan seorang yang dewasa di dalam semak. Dan seorang dewasa tak akan menangis seperti bayi. Ini menunjukkan bahwa Ismail belum bisa dikirim ke pada pasir ketika ia berusia belasan tahun. Maka para pemikir Islam mengatakan bahwa Ibrahim mesti mengusir Hajar ketika Ismail adalah seorang bayi.

Bagaimanapun argumen versi muslim penuh dengan tanda tanya, karena Ismail dikhitan pada usia 13 tahun dan tak jelas bagaimana peristiwa itu terjadi jika ia telah diusir. Para pemikir muslim menyelesaikan problem ini dengan menjelaskan bahwa Ibrahim adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang yang secara teratur mengunjungi anaknya yang masih kecil di Mekkah dan pada salah satu kunjungannya ia mengkhitan Ismail. Tradisi Islam menganggap bahwa Ibrahim mengunjungi Ismail tiap tujuh tahun sekali dan pada kunjungan pertama, peristiwa penyembelihan itu terjadi, sebagai ujian yang melibatkan Ismail, bukan Ishaq yang belum dilahirkan.

Gordon memberikan interpretasi lain -dalam konteks teosentris- tentang kisah dramatis tersebut. Ia mengatakan bahwa Ibrahim dalam menghadapi peristiwa itu telah membuktikan bahwa ‘rasa takutnya kepada Tuhan’ lebih besar ketimbang kasih sayang terhadap anaknya, secara implisit ia lebih berperan sebagai penyembah Tuhan ketimbang sebagai seorang ayah. Tuhan yang mendesak agar Ibrahim ‘memasrahkan anaknya’ kepada-Nya mengingatkan Ibrahim betapa Tuhan lebih penting ketimbang anaknya sendiri. Ini bisa kita pahami bahwasanya kelahiran ajaib Ishaq telah membutakan Ibrahim kepada realitas, pun termasuk eksistensi Tuhan. Gunung Moria mengingatkan Ibrahim bahwa ia tak lebih sebagai perantara kelahiran Ishaq. Karena secara definitif, Tuhan punya kekuasaan untuk memberi kehidupan dan kematian, sekaligus menjadi ayah hakiki bagi Ishaq.

Filsuf kenamaan Islam, Ibnu al-‘Arabi,dalam bukunya Fushus al-Hikam, menjelaskan dalam konteks esoterik terkait peristiwa ini. Ia beranggapan bahwa Ibrahim memahami bahwa ia diperintah Tuhan dalam mimpi untuk menyembelih anaknya sendiri. Namun dalam mimpinya, Ibrahim tak memahami arti metaforis dalam mimpinya, melainkan secara harafiah.

Menafsirkan secara esoterik seperti yang dipaparkan Ibnu ‘Arabi ini, sama sekali tak akan menimbulkan kesan bahwa perintah itu sangat berat, dan tak bisa dilogika. Dengan kata lain, bila Ibrahim memahami mimpinya dengan takwil, tentu tidak seberat perintah yang sama dipahaminya secara lahiriyah, karena objek yang harusnya disembelih itu adalah domba jantan, bukan anaknya sendiri. Pemahaman metaforis mimpi tersebut juga takkan menimbulkan kesan perintah yang aneh, karena, pertama, perintah itu tak bertentangan dengan humanitas yang menjunjung tinggi hak hidup tiap makhluk. Kedua, perintah tersebut tidak bersinggungan dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah sumber semua kebaikan yang muskil memerintahkan kejahatan apapun, apalagi pembunuhan. Ketiga, perintah itu tidak mengimitasi adat kaum kafir yang mengorbankan manusia untuk memperoleh berkat dari dewa.

Terlepas dari perdebatan pelik terkait kisah dramatis ini, lebih jauh kita memahami bahwa istilah kurban, atau qurb dalam bahasa arab berarti mendekatkan, secara terminologi sederhana berarti mendekatkan diri pada Tuhan. Ada baiknya ditengah arus hedonitas dan materialistisnya dunia ini, setidaknya bagi yang mampu, mari luangkan waktu, tenaga, dan harta untuk kembali menjalin cinta kasih dengan Tuhan melalui momentum Idul Adha ini. Terlebih sebagai upaya memerdekakan tetangga yang bahkan makan daging pun hanya setahun sekali. Singkatnya, mari berkurban![]

*Penulis mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga.